window

Pagi Pada Lubuk Fatmawati

5:55 / Sapu lidi mendesis di antara batu-batu dan aspal yang sendu. Cemara yang tirus itu seperti menangis pelan-pelan, apalah sebabnya. Dedaun rela mengayun. Karat di bilah-bilah teralis jendela berkarib dengan dua burung biru. Ini pagi yang lembap. Ini pagi pada lubuk Fatmawati.

Mengapa aku masih hidup. Itu pertanyaan rutin yang biasa aku sampaikan selepas bangun pagi. Kepada siapa, entah. Mungkin kepada lusinan pigura yang memagari kenangan kita. Mungkin kepada sepasang lampu hias kesukaanmu di samping dipan. Mungkin kepada perkakas masak yang sudah tidak lagi terpakai. Atau mungkin kepada dua burung gereja yang beriap-riap di atap. Tanpa jawaban.

Bau pucuk melati dan uap teh hangat selalu membentuk kepul-kepul yang beraroma tubuhmu. Setelah teh manis ini, apabila sudah tidak gerimis, aku akan menyapu halaman. Pagi ini sepi, langit seperti mati. Mendung menggelantung. Abu-abu.

Anak-anak kecil lahir ke dunia dan semakin banyak. Karyawan bank yang tinggal di ujung jalan sana, anak keduanya sudah lahir. Kemarin, mereka baru saja merayakan sebulanannya. Istrinya mengantar nasi kuning dengan rendang dan seloyang kue cokelat. Semoga si anak pertama, bocah yang adatnya buruk itu, semoga saja tidak mendengki pada adiknya.

Sementara, yang mati pun juga bertambah. Salah satu tetangga kita mati dan anak-anak mereka akan menjual rumahnya. Kalau tidak salah, kepada pasangan muda yang akan membongkar total rumah tua itu. Berarti, jika tidak salah ingat, tersisa rumah kita saja yang setia kepada jaman. Aku bangga pada kayu yang mengisi kusen pintu, ambang jendela, dan seisi rumah kayu kita –– bilah-bilah hidup yang selalu menyimpan ingatan-ingatan dari yang hidup –– ketimbang pelat-pelat celup yang dingin. Bagiku tidak terasa seperti rumah. Semoga anak-anak kita tidak sembrono.

Bunga-bunga mulai ada lagi. Seperti kertas warna-warni. Aku lelah dan merasa malas menyiram bunga. Untunglah musim hujan sudah tiba kembali.

Beras tinggal sedikit. Mungkin, hari ini aku harus ke pasar. Mungkin, aku juga akan membeli buah dan sayur. Aku susah buang air belakangan ini. Aku akan berjalan kaki ke sana, karena terakhir kali membayar ojek, uang kembalianku dibawa kabur tiga puluh ribu. Betapa hidup di Jakarta sungguh mahal.

Aku rindu semur sapi yang harum dengan daging sengkel yang empuk. Hanya kamu yang bisa memasak dengan sempurna. Kolesterolku memang tidak bertambah baik, namun aku rindu sekali masakanmu. Dan, karena kamu, aku bisa bedakan sapi yang diolah betul dan yang tidak. Dan, aku paham benar, selera bukan hanya tergugah karena bumbu-bumbu dan gajih. Tidak, bukan hanya itu. Kamu pun paham.

Enam tiga puluh. Aku harus bergegas mandi dan ke pasar.


Kemarin, tersiar kabar bahwa Kakek Fatmawati – begitu waga setempat menyebutnya – meninggal karena jatuh di kamar mandi. Jenazahnya ditemukan kurang lebih sehari setelah perkiraan waktu kematian. Kepergian Kakek Fatmawati menyusul mendiang istrinya, Nenek Fatmawati, yang telah mendahuluinya beberapa tahun silam.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Published by

Unknown's avatar

oendari

panggil aja oendari. atau botin. penyanyi dan penulis lagu di @bighellorecords. enci-enci tongkrongan di @roemahiponk. cek aja di instagram. silakan follow.

Leave a comment