20 Juli 2015. 21:58.
Kembang cantik Padma mekar di puncak Ciumbuleuit.
Akhirnya bisa liburan lagi walaupun cuma sebentar. Akhirnya bisa senggang dan lepas dari yang tegang-tegang macam deadline. Jauh dari ricuh kota besar, jauh dari rutinitas harian, jauh dari missed calls, jauh dari pesan singkat dan surat elektronik orang-orang. Sendiri dan jernih (mudah-mudahan).
Hari-hari sebelum ini, belakangan, gue merasa sangat penat dan sangat terburu-buru. Untuk segala sesuatu. Sebetulnya, gue meyakini bahwa ini bukan cuma soal deadline. Banyak pikiran dan banyak masalah pribadi yang sedang gue pikirkan. Tapi, gue gak akan mengeluhkan hal-hal itu di sini, karena gue tau, gue hanya satu dari sekian miliar manusia di muka bumi yang punya pergumulan. Nah, lucunya, kepusingan gue belakangan ini sebenarnya juga karena disponsori oleh banyaknya curhatan sahabat. Salah satunya adalah soal asmara yang mandek di tengah jalan. Klise ya. Tapi, ternyata seklise-klisenya ini, sahabat gue segitu berberat hati. Mungkin karena dia pikir, perempuan yang sedang banjir-banjirnya ditangisi adalah kekasih yang paling sejati. Ya, kan, gak ada yang tau.
Sahabat gue, sebut saja dia Galih. Dan, dia merasa sudah ketemu dengan Ratna-nya, jodoh paling tepat, yang paling dipujanya. Tetapi, karena satu masalah pelik menyangkut orang ketiga yang muncul hanya untuk cari keuntungan diri sendiri, dan bahkan bukan untuk keuntungan Galih, apalagi Ratna, si Galih jadi kelimpungan. Karena Ratna sudah keburu merasa dikhianati dan akhirnya pergi. Tanpa sempat jelasin apa-apa, sekarang tinggalah Galih seorang diri dan patah hati. Terus si Galih ini jadi curhat ke gue.
Sudah empat bulan Galih diputusin Ratna. Ya, itu tadi, kampretnya adalah tanpa Galih bisa menjelaskan apa-apa. Mana bisa jelasin. Selama empat bulan kemarin, Galih gak bisa sama sekali menghubungi Ratna. Telepon dan SMS diblok. Facebook dan Path diunfriend. Twitter diunfollow. Line dihapus. Email juga gak dibales. Kalaupun Pos Indonesia masih bisa cukup dipercaya dan Galih masih berniat kirim surat atau kartu pos, gue yakin Ratna juga pasti gak bakal bales. Namun, sekali setelah empat bulan, kemarin akhirnya Ratna bales pesan Galih. Beberapa menit. Beberapa pesan. Galih langsung berapi-api. Sampe dicapture obrolan mereka, berlayar-layar, dan dikirim ke gue. Lalu, oh, Galih. Meskipun gue tau bahwa Galih seneng banget karena pesannya terbalas, dari semua pesan yang gue baca, gue juga tau, bahwa Galih semakin patah hati.
Tidak seperti Galih yang merasa bahwa hal-hal apapun yang mereka miliki belum seharusnya selesai, Ratna merasa bahwa empat bulan lalu, segalanya tentang tiga tahun kebersamaan yang mereka punya, sudah berakhir. Dan Ratna kekeuh soal itu. Entah Galih menutupi kesedihannya dengan tetep ketawa-ketiwi di depan gue, atau memang gak ngeh aja bahwa Ratna saat ini sudah gak bisa diraih lagi, Galih tetep berharap banyak. Dan, tetap yakin bahwa keputusannya untuk memupuk dan menumbuhkan harapan adalah keputusan yang tepat.
Kalau aja dengan ceplokin telor ke jidatnya Galih bisa munculin hologram bertuliskan “MOVE ON, GALIH!”, gue udah borong semua telor di Indomaret deket sini (sayangnya, mas-mas Indomaretnya gak terima kartu debit ataupun kredit karena mesinnya lagi rusak dan gue gak bawa cash banyak cuma buat beli telor segitu banyak). Tapi, ya Tuhan, Galih. Move on boleh kali.
Gue memang bukan yang paling jago urusan me-move-on-kan diri sendiri. Banyak hal juga yang sebetulnya tidak baik buat gue, tapi sulit gue lepaskan. Gue sulit berhenti merokok yang dulu pernah merebut kehidupan kakek gue. Gue sulit lepas dari kekuatiran berlebihan yang menghalangi gue keluar rumah tanpa eyeliner dan eyeshadow di atas mata gue yang monolid ini, walaupun untuk pake barang kampret itu gue harus menghabiskan minimal dua puluh menit setiap hari. Gue sulit menghilangkan kebiasaan cemas dan panik ketika ada gangguan terhadap jadwal gue walaupun gangguannya paling cuma beberapa menit, paling lama beberapa jam. Gue sulit menentukan barang mana yang mau dibuang ketika tiba harinya bersihin kamar dengan alasan klise “mungkin nanti bakal dipake lagi”, padahal barang-barang sampah yang macem demikian semakin numpuk bertahun-tahun. Itu. Hal-hal itu mengikat gue sampai sekarang. Tapi, semakin bertambah usia, gue semakin belajar, bahwa banyak faedahnya ketika gue memutuskan untuk “cut off” hal-hal yang gak lagi berguna buat kehidupan gue; hal-hal yang memberatkan; hal-hal yang menyeret-nyeret hati dan pikiran gue sehingga gue sulit bergerak bebas; hal-hal yang membuat gue merasa tidak merdeka. Dan, gue rasa, Galih perlu tau soal ini.
Ratna udah pergi, Galih. Dan, elo gak tau sampai kapan. Dan, elo gak tau akan balik lagi atau enggak. Dan, elo gak tau hati lo akan luka sedalam apa dan berdarah-darah seberapa, kalau lo tetap berharap banyak di situ. Angkat pantat, beranjak, gerak, Galih. Kehidupan masih menawarkan banyak hal baik buat elo. Banyak hal baik yang bisa dilakukan selain menangisi dengan diam-diam Ratna yang entah bakal hadir lagi di hidup lo atau enggak satu waktu nanti dan tidak sekarang. Gue sadar bahwa move on gak gampang, karena meskipun kedengarannya aneh, rasa sakit itu nagih, dan mungkin (gue dan) elo adalah sedikit di antara sekian manusia yang suka tenggelam di dalam rasa sakit dan hobi banget melukai jiwa sendiri. But that’s no good, Galih. You deserve to be happy. Ya gak sih?
Buat gue, setidaknya sekarang, setelah mengalami beberapa hal dalam hidup (tsah!), move on itu penting. Terutama untuk hal-hal yang membuat hidup gue tidak ke mana-mana. Patut diakui, kadang cuma karena merasa sudah terlanjur tenggelam di dalam rasa sakit dan terlalu nyaman gegoleran di dalam kubangan bernama patah hati, gue merasa bangkit kembali jadi terlalu susah. Sampai gue merasa bahwa “kenyamanan” yang gue rasakan sekarang tidak akan jadi “kenyamanan” yang gue harapkan untuk ada di dalam masa depan gue, di dalam hidup gue pada waktu-waktu mendatang. Entahlah. Gue rasa, Galih betul-betul perlu tau soal ini.
Galih adalah sahabat yang sangat baik dan penyayang buat gue. Meskipun tampangnya kayak Chuck Norris blasteran Hongkong, hatinya adalah Hello Kitty asli Indonesia dengan keramahan khas Priangan. Oleh karena itu, gue hanya berharap tahap kehidupan dia yang ini, yang pahit dan kampret ini, adalah cuma sekadar waktu buat Galih merasakan yang sama seperti gue. Bahwa, akhirnya Galih bisa liburan lagi walaupun mungkin cuma sebentar (atau lama, entah). Liburan dari segala capek-capeknya dan tai-tainya jatuh cinta. Bahwa, akhirnya Galih bisa senggang dan lepas dari yang tegang-tegang lagi, setelah sebelum putus kemarin, Galih dihantui dan bahkan dikejar-kejar oleh perasaan takut kehilangan (walaupun akhirnya jadi kehilangan beneran).
Gue hanya berharap, secantik kembang padma yang sedang banyak mekar di puncak Ciumbuleuit malem ini, hidup Galih juga semakin mekar dan bertumbuhkan ribuan mahkota. Lahir dari air kehidupan yang berlumpur-lumpur masalah, kemudian berjuang melipat-lipat dirinya, berubah bentuk menjadi bunga cantik yang makin kuat. Makin kuat. Makin kuat. Dan, makin kuat. Supaya kemudian, kebijaksanaan lahir dari pusatnya.

