Aku udah lama banget gak ke sini dan ketemu orang-orang di sini. Aku ngerasa takut. Takut mengecewakan. Takut ditolak. Takut gak cukup baik. Takut gak diterima. Tapi kamu insist kita ke sini dan sekarang kita sudah di sini.
Ini rumah yang besar sekali buatku. Terlalu besar sampai aku merasa di sini sangat dingin, padahal warna-warna di dinding yang penuh dekorasi klasik, lampu-lampu cantik, dan perapian sebesar itu, semuanya seakan ingin menunjukkan kehangatan dan keramahan. Tapi tetap saja dingin, kaku, bikin takut.
Seperti biasa, seakan tau isi pikiranku, kamu bilang: gapapa. Baiklah. Gapapa. Aku mengembalikan perhatianku kepada kita yang sedang berjalan memasuki paviliun demi paviliun, mengikuti seorang penjaga rumah berpakaian formal yang mengantarkan kita sedari tadi. Kita belum sampai-sampai juga ke ruangan yang dituju. Ini betul-betul rumah yang besar. Dan, aku diam-diam semakin panik.
Di bawah anak tangga menuju ruangan yang sudah penuh orang itu, langkahku sempat terhenti. Aku gentar sekali naik ke sana. Tangga yang maha lebar dan maha tinggi itu pun seakan-akan mengintimidasi. Kamu yang sudah beberapa anak tangga lebih dulu, sepertinya sadar aku tertinggal di belakang. Kamu meminta penjaga rumah yang flamboyan itu untuk menunggu. Kamu kembali untuk menjemput aku dan kamu mengulurkan tangan. Kamu bilang lagi: gapapa. Baiklah. Aku memegang tangan kamu. Aku percaya sama kamu.
Lama sekali kita berjalan, kamu gak melepas tangan aku. Ketika pintu dibuka, semua mata memandang di balik tirai. Aku bisa merasakan tanganku makin dingin, sementara tangan kamu makin hangat. Aku mematung karena sulit berpikir jernih, lalu kamu, seperti biasa, seperti tau pikiranku, kamu membisikkan namaku, tepat di telinga.
Di situ, gue bangun.
kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?
Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.
Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!
