Saya menulis ini di dalam kesendirian malam, hanya berteman “Bintang di Surga”.
Dulu, sebuah album berjudul “Bintang di Surga” milik Peterpan terjual jutaan kopi dan menyabet penghargaan sana-sini. Lagu-lagunya diputer di mana-mana. Radio, televisi, angkot, sampai warnet. Saya sendiri gak pernah beli album fisiknya Peterpan. Bukannya apa, gak punya duit. Namun, memang sehebat itu Peterpan, sampai Saya, yang gak punya albumnya aja, terpapar lagunya dari mana-mana.
Saya, yang pada jaman itu masih anak bocah, gak ngerti sama sekali ketika denger lirik “Bintang di Surga”. Namun, memang patut diakui, Boriel adalah jagoan perihal menulis lagu dan dianugerahi dengan gaya nyanyi yang cuma punya doski. Di bawah terik matahari Jakarta, dengan bersimbah keringat yang aromanya biadab, Saya pulang sekolah jalan kaki sambil humming-humming sendiri. Ah, apalah itu terik matahari kalau kepala sudah terlampau penuh oleh auman Ariel Peterpan, maungnya Bandung.
Omong-omong, sampai sekarang, itu auman gak berubah. Tetap ganas.
Bintang di Surga berikan cerita.
Buat Saya, gak cuma nama yang adalah doa. Setelah makin banyak menulis lagu, Saya pun kini percaya bahwa lagu adalah doa. Dan, yang menyanyikannya terus adalah pendoa yang setia, termasuk Saya.
Saya baru punya album fisik “Bintang di Surga” beberapa belas tahun setelah albumnya rilis. Bahkan, setelah lebih dulu menikmati album “Suara Lainnya”, yang sukses bikin Saya jatuh cinta dan penasaran pada band Bandung yang pada waktu itu menyandang nama Ariel, Uki, Lukman, Reza, David.
CD “Bintang di Surga” baru Saya miliki kemudian, dihadiahi seorang sahabat pada hari ulang tahun Saya yang entah keberapa, Saya juga lupa. Sebut saja Abram Lembono, karena memang itu namanya. Entah beberapa bulan lamanya, dua lagu dari album ini Saya repeat terus untuk menemani nyetir. Salah satunya adalah “Bintang di Surga”. Satu lagi juga ajaib, tapi, ah, Saya bahas nanti saja. Karena, saat ini, Saya jadi punya keterikatan yang lebih spesial sama lagu “Bintang di Surga”. Kenapa?
Karena, nyatanya, Bintang di Surga memang telah memberikan cerita. Setidaknya, buat Saya.
Tidak ingat tahun berapa, tapi semua memang dimulai dari Abram Lembono, yang memberikan Saya CD “Bintang di Surga” yang lama bersemayam di CD player mobil pertama Saya, yang menemani Saya bolak-balik Jakarta-Karawaci selama bertahun-tahun. Seperti yang sudah Saya bilang, track “Bintang di Surga” adalah salah satu lagu di album tersebut yang memang Saya repeat terus sepanjang perjalanan untuk mengiringi Saya nyanyi-nyanyi, sampai akhirnya bunyinya meleyot dan, mau tidak mau, CD tersebut pensiun.
Tidak lama setelah itu, Abram Lembono memperkenalkan Saya dengan sahabatnya dari SMA. Namanya Ivan Gojaya, yang kini sering Saya sebutkan namanya dalam banyak tulisan dengan sebutan Iponk. Mereka sama-sama sekolah di Bandung, lalu merantau ke Karawaci pas kuliah. Kami berkenalan kemudian mengerjakan proyek musik bersama untuk beberapa tahun berikutnya. Band. Salah satu referensi utamanya: Peterpan. Namun, proyek tersebut mangkrak di tengah jalan. Bubar. Kehidupan kami bertiga terpisah ke jalan masing-masing. Abram pindah ke Jakarta. Iponk semakin sibuk dengan studionya. Dan, Saya, ya gitu-gitu aja.

Lalu, tibalah tahun 2014. Saya kembali dipertemukan dengan Iponk oleh satu proyek film layar lebar yang terbilang tiba-tiba. Pada tahun yang sama, Abram Lembono juga tiba-tiba hadir kembali dengan membawa satu proyek dari Musica Studio’s, proyeknya Eyang Titiek Puspa. Entah kenapa, kami bertiga dikumpulkan kembali oleh hidup. Sebagian dari kita mungkin menyebutnya dengan istilah: kebetulan.



Dalam proyek Eyang Titiek, Saya menjadi salah satu penulis di dalam salah satu lagu Duta Cinta berjudul “Lagu untuk Bunda”, lagu di mana Abram juga menjadi salah satu komposernya. Selain lagu tersebut, ada banyak lagu lain dalam proyek satu album di mana Iponk menjadi produsernya. Pada hari penandatanganan kontrak di Musica, ternyata sedang ada rekaman Noah dan ada Ariel di sana. “Kapan lagi ketemu Ariel NOAH, foto lah,” demikian pikir Saya. Maka, terukirlah dalam sejarah pribadi Saya: pada suatu hari di tahun 2015, Agustin Oendari, yang pagi itu belum mandi, berfoto dengan Ariel NOAH. Hanya sebatas itu, satu centang untuk bucket list Saya yang super sederhana. Done.
Proyek Eyang Titiek berlangsung lebih lama daripada dugaan Saya. Kirain setelah sealbum kelar, udah. Ternyata, lanjut terus ke tahun-tahun berikutnya. Dan, kirain, Saya gak akan ketemu lagi dengan NOAH, ataupun Ariel. Ternyata, Mas Teddy, A&R Musica mempertemukan kami kembali. Lagi-lagi, Saya gak betul-betul ingat proyeknya apa, karena waktu itu, semua berjalan dengan cepat. Yah, hal-hal seru memang seringkali terasa berjalan dengan cepat. Dan, lagi-lagi, sebagian dari kita mungkin menyebutnya dengan istilah: kebetulan.
Pada akhirnya, proyek Eyang Titiek surut seiring berlalunya tahun demi tahun. Abram pun melanjutkan pendidikan keluar negeri. Tersisa Saya dan Iponk yang sampai saat ini bekerja bersama, Saya dan Eyang yang tetap berteman sampai sekarang, dan rekan-rekan Duta Cinta yang selalu bikin rindu. Namun, sudah barang tentu, perjalanan kami dengan Musica terpisah ke jalan masing-masing. Yep. Rasanya, selesai di situ. Sampai pada satu ketika …
Sekitar pergantian tahun 2021 ke 2022 yang lalu, Mas Teddy menghubungi Iponk perihal rencana NOAH merilis kembali album Bintang di Surga. Betapa sebuah panggilan telepon sederhana bisa sedemikian mengagetkan.
Rupanya, oleh Musica, Ivan Gojaya, alias Ivan Iponk didapuk menjadi salah satu mixing & mastering engineer di dalam album “Bintang di Surga” yang dirilis kembali sebagai format yang baru dalam proyek Second Chance. Ada dua lagu dalam album tersebut yang dipoles oleh Iponk, yaitu “Bintang di Surga” dan “Di Belakangku”.
Bersinggungan lagi dengan Musica, dengan Mas Teddy, dengan NOAH, dengan Ariel, adalah sesuatu yang di luar dugaan kami. Kirain setelah proyek Eyang Titiek kelar, udah. Ternyata, … ah, hidup memang aneh.
Saya jadi berpikir, jangan-jangan, apa yang sebagian dari kita sebut sebagai kebetulan, mungkin bukan kebetulan. Jangan-jangan, itu adalah cerita yang diberikan oleh Bintang di Surga, yang Saya nyanyikan sepanjang perjalanan Jakarta-Karawaci; yang tanpa sadar sudah jadi doa yang Saya panjatkan. On repeat.
Oh! Tadi Saya sempat bilang bahwa ada satu lagu lagi di album “Bintang di Surga” yang menurut Saya juga ajaib. Masih ingat? Lagu itu adalah “Di Belakangku”. Hmm, sebagian dari kita mungkin menyebutnya dengan istilah: kebetulan.
Cerita, dan kasih yang setia, dan cahaya nyata.
Meskipun album ini adalah bagian dari proyek bertajuk Second Chance, apakah berarti “Bintang di Surga” yang kali ini merupakan upaya Noah mengulang cerita kesuksesan Peterpan? Menurut Saya, enggak. Noah menciptakan cerita kesuksesan baru, di alam yang baru, meskipun dengan lagu yang lama. And, it turns out: spectacular.
Mungkin cerita kesuksesan Noah yang kali ini adalah salah satu cerita yang diberikan Surga, seperti yang telah dirapalkan oleh Boriel di dalam liriknya. Seperti yang Saya percaya, siapapun yang menyanyikannya terus, pada suatu waktu yang misterius, akan menemukannya: cerita, kasih yang setia, dan cahaya nyata.
UNTUK TEMAN-TEMAN PERS / MEDIA,
Berikut ini press kit yang bisa diunduh, berisi informasi lengkap mengenai karya ini:
[PRESSKIT] NOAH dan Kesempatan Kedua yang Meriah
Agustin Oendari adalah seorang penulis lagu dan penyanyi yang mengawali karier pada 2014 dengan menulis dan menyanyikan lagu Selamat Pagi Malam untuk film berjudul sama karya sutradara Lucky Kuswandi. Lagu tersebutlah yang pertama kali mempertemukan Oendari dengan pendengar setia yang terus mendukungnya hingga melalui beberapa rilisan untuk film-film lain, seperti Galih & Ratna, satu lagi karya sutradara Lucky Kuswandi, dan Susah Sinyal, karya sutradara Ernest Prakasa.
Rilisan-rilisan Oendari yang lain pun telah mendapat perhatian khusus dari berbagai streaming platform dan media, antara lain: LHSW yang sempat menjadi bagian dari banner utama aplikasi JOOX pada masa rilisnya dan juga disiarkan di berbagai media musik ternama, seperti Billboard Indonesia dan Pophariini; Bend Down dan Selamat Pagi Malam yang berada di deretan nominasi AMI Awards ke-22; dan beberapa lagu dalam album soundtrack Galih & Ratna yang mendapatkan kesempatan spesial JOOX Concert Galih & Ratna tahun 2017, seperti Hampir Sempurna, yang ditampilkan oleh Rendy Pandugo, Song Of Goodbye, yang ditampilkan oleh Ivan Gojaya yang juga adalah produser dari hampir seluruh karya Oendari, dan lagu-lagu lain yang ditampilkan oleh Oendari, seperti Nyatanya Sementara, Dari Rindu Kepada Rindu.
Selain terlibat dalam berbagai karya kolaboratif sebagai penyanyi atau penulis lagu, Oendari juga sempat berkiprah sebagai vocal director, bekerja bersama musisi dan produser ternama, antara lain Titiek Puspa, Dutacinta, Momo Geisha, Sheryl Sheinafia, dan Steve Lillywhite. Keterlibatan Oendari sebagai vocal director juga terdapat pada lagu Lathi (Weird Genius ft. Sara Fajira), Dunia (Mytha Lestari), A Million Stars (Album Kolaborasi Rising Stars), dan masih banyak lagi. Tahun 2021, Oendari dengan merilis album dari keterlibatannya di dalam sebuah film berjudul Akhirat: A Love Story.
kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?
Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.
Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!
