Pada suatu ketika, adalah seorang Nenek tua menjalani hari-hari terakhirnya di bumi. Ketika Si Nenek ditanya oleh Sang Waktu, “Nek, Nenek mau ngapain dulu? Jalan-jalan terakhir, ke mana gitu sebelum kita lanjut nih, Nek?” Si Nenek berpikir keras di dalam hatinya, “Iya juga, sebelum lanjut nih perjalanan. Apa ya yang harus disiapin?”
Di sebuah kota berbeda, seorang Ayah sedang kelimpungan mencari Anak Perempuannya yang masih kecil. Si Anak Perempuan hilang waktu mereka pergi ke pasar pagi itu. Si Ayah sedihnya sedih banget. Sudah dicari ke sana kemari, Si Anak Perempuan gak ketemu-ketemu juga.
Tanpa Si Ayah ketahui, Anak Perempuan sedang berjalan-jalan di taman bermain tidak jauh dari pasar. Rupanya, Anak Perempuan ketemu dengan seorang Anak Lelaki sebayanya, yang membawa sepaket kelereng kecil warna-warni yang sungguh menarik hati. Anak Lelaki baik hati itu mengajak Anak Perempuan bermain kelereng di tempat favoritnya di taman bermain. Di taman itu, Anak Perempuan dan Anak Lelaki bertemu dengan anak-anak seusia mereka lalu mereka bergembira bersama.
“Tu.” Nenek memanggil Sang Waktu. “Nenek mau jalan-jalan ngunjungin ketiga cucu Nenek, boleh gak?” Sang Waktu menjawab, “Boleh, Nek. Tapi Nenek kan udah tua nih, cucu-cucu Nenek di luar kota semua. Waktunya gak cukup, Nek.” Mereka berdua berdiskusi panjang, lalu tiba-tiba Sang Waktu punya ide “Oke, Nek. Gimana kalau Nenek dianterin sama aku? Tubuh Nenek di sini aja, kasian, udah tua kan. Hati sama pikiran Nenek aja yang ikut.” Wah, brilian tuh, si Nenek akhirnya setuju. Lalu dimulailah petualangan Nenek dan Waktu.
Cucu Nenek ada tiga. Yang jarak tempuhnya paling dekat, ya Cucu Kedua, yang jaraknya cuma sepelempar batu dari dimensi di mana Nenek dan Sang Waktu berada pada saat itu. “Nek, kita ke Cucu Kedua dulu aja ya.”
Ketika Nenek sampai di sana, Cucu Kedua sedang bermain masak-masakan. Cucu Kedua bermain seru sekali dengan seperangkat dapur mini berwarna-warni dan piring-piring yang terisi. Ada buah, sayur-mayur, nasi hangat, lauk-pauk. “Adek, ayo makan.” Oh, di situ ada boneka kecil, manis, dan lucu, duduk menghadap meja makan mainan yang sudah tertata rapi. Cucu Kedua menyuapkan sendok imajinasi ke bonekanya. “Wah, makannya pinter ya,” Cucu Kedua menirukan suara kedua orangtuanya.
Nenek dan Sang Waktu mengamati sambil senyum-senyum sendiri. Nenek ingin membelai rambut Cucu Keduanya, tapi lupa, kan tubuhnya gak ikut. Sang Waktu bilang, “Gapapa, Nek. Nenek kirim doa aja untuk Cucu Kedua, aku bisa pastikan doanya sampai. Dari hati ke hati, dari pikiran ke pikiran.”
Dengan yakin dan percaya, Nenek mengirimkan doa yang sungguh indah untuk Cucu Kedua. Dari hati ke hati, dari pikiran ke pikiran. Setelah itu, Nenek dan Sang Waktu melanjutkan petualangan mereka. “Nek, abis ini kita ke Cucu Ketiga dulu ya.”
Perjalanan memakan waktu yang sedikit lebih lama, karena jaraknya lebih jauh. Tapi, akhirnya mereka sampai juga pada sebuah malam. Cucu Ketiga sedang dikelilingi oleh buku-buku dan miniatur pesawat ruang angkasa. Dengan piyama yang terlihat seperti pakaian astronot, Cucu Ketiga menggapai mimpi-mimpinya terbang ke angkasa dan menikmati pemandangan bumi yang indah dari sana. Cucu Ketiga bercengkerama dengan bintang-bintang dan calon-calon meteor siap luncur, yang memancar dari proyeksi lampu tidurnya ala-ala lampu tidur di Tumb*r atau Tokoped*a.
Nenek dan Sang Waktu mengamati sambil senyum-senyum sendiri. Nenek ingin membelai rambut Cucu Ketiganya, tapi lupa lagi, kan tubuhnya gak ikut. Sang Waktu bilang, “Gapapa, Nek. Nenek kirim doa aja untuk Cucu Ketiga, aku bisa pastikan doanya sampai. Dari hati ke hati, dari pikiran ke pikiran.”
Dengan yakin dan percaya, Nenek mengirimkan doa yang sungguh indah untuk Cucu Kedua. Dari hati ke hati, dari pikiran ke pikiran. Setelah itu, Nenek dan Sang Waktu melanjutkan petualangan mereka. “Nek, abis ini kita lanjut ke Cucu Pertama. Terakhir nih, Nek.”
Di tengah perjalanan menuju ke Cucu Pertama, Sang Waktu mendengar ada suara. Ternyata itu adalah suara seseorang sedang berdoa kencang sekali. “Nek, Nenek denger gak?” Si Nenek celingak-celinguk. “Iya. Siapa ya itu? Doanya kenceng amat.” Mereka menghentikan perjalanan sebentar untuk mendengarkan lebih lanjut. Oh, ternyata itu adalah suara seorang Ayah yang sedang berdoa, hampir putus asa, memohon-mohon supaya Anak Perempuannya yang hilang di pasar segera ditemukan. “Wah, siapa tuh, Tu?” Nenek bertanya kepada Sang Waktu, tapi Sang Waktu diam saja. “Ya sudahlah, Nek, kita lanjut aja dulu.” Kemudian, mereka melanjutkan perjalanan.
Ketika Nenek sampai, Cucu Pertama sedang mengukur jarak dari kelereng yang satu ke kelereng yang lain sebelum mengarahkannya menuju ke lubang dua meter dari hadapannya. Dengan cermat dan hati-hati, Cucu Pertama menyentil satu persatu kelereng-kelereng itu sampai akhirnya berhasil mendapatkan kelereng incaran milik lawan: sebutir kelereng indah berwarna seperti pelangi sore hari. Nenek dan Sang Waktu mengamati sampai deg-degan sendiri. Namun, ketika Cucu Pertama mendapatkan apa yang diinginkannya, Nenek dan Sang Waktu bahagianya bukan main.
Lagi-lagi, Nenek ingin membelai cucu kesayangannya. Lagi-lagi, Nenek lupa lagi, kan tubuhnya gak ikut. Sang Waktu bilang, “Gapapa, Nek. Nenek kirim doa aja untuk Cucu Pertama, aku bisa pastikan doanya sampai. Dari hati ke hati, dari pikiran ke pikiran.”
Dengan yakin dan percaya, Nenek mengirimkan doa yang sungguh indah untuk Cucu Pertama. Dari hati ke hati, dari pikiran ke pikiran. Setelah semua doa indah selesai, hati Nenek tenang. Namun, tiba-tiba, Sang Waktu bilang, “Nek, lihat, ada Anak Perempuan.” Tidak jauh dari mereka, ada seorang Anak Perempuan sedang menangis di sebelah Cucu Pertama yang kebingungan dan berusaha menenangkan.
Di sebuah taman bermain sederhana di dekat pasar, seorang Anak Perempuan baru sadar kalau dia gak bisa menemukan Ayahnya. Perasaan cemas, sedih, sokberani-tapi-takut menghantui pikirannya. Seorang Anak Lelaki yang baru selesai bermain gundu mendekati dan berusaha menenangkannya. Anak Lelaki itu baru dikenalnya di pasar. Dia berkata, “Udah, udahh, jangan nangis. Ayah kamu pasti bakal cari kamu kok. Aku temenin kamu ya, sampai Ayah kamu dateng.”
Tanpa diketahui oleh seorangpun, dua sosok mengamati kejadian yang dialami dua anak kecil itu dari kejauhan. Mereka adalah Nenek dan Sang Waktu. Ternyata Si Anak Lelaki adalah Cucu Pertama dari Si Nenek.
“Tu.” Si Nenek berkata pada Sang Waktu, “Kita harus bilang ke Si Ayah yang sedang berdoa tadi, bahwa Anak Perempuannya ada di sini, ditemenin sama Cucu Pertama. Yuk, terakhir, sebelum Nenek pulang nih.” Sang Waktu, tanpa perlu menjawab, mengantar Nenek kepada Si Ayah yang masih terus berdoa, mengirimkan sebuah bisikan doa, “Si Anak Perempuan sedang di taman bermain, ditemani Cucu Pertama saya, menunggu kamu untuk datang dan menemukannya. Ayo, cepat ke sana.”
Di kota itu, pada hari itu, seorang Ayah mencari-cari Anak Perempuannya yang baru saja hilang di pasar. Dicari-cari dari pagi sampai menjelang sore, belum ketemu-ketemu juga. Berjalan kaki ke sana-kemari, lelah, lalu berhenti. Hampir putus asa, di sebuah jalan yang sepi dan gelap, Si Ayah berdoa kencang-kencang berharap Semesta mendengar.
Tidak lama setelahnya, seperti baru dibisiki sesuatu, Si Ayah berjalan ke arah sebuah taman bermain. Betapa tenang hatinya, di taman bermain sederhana itu, Si Ayah bertemu kembali dengan Anak Perempuan yang disayanginya, di sebelah seorang Anak Lelaki yang dengan sabar menemani. Dalam hati, Si Ayah berkata, “Duh, untung ketemu, untung sehat walafiat, untung aman. Kalo enggak, gue pasti dimarahin sama bini gue.”
Sang Waktu mengantarkan Nenek kembali ke rumah dan ke tubuhnya. “Nek, mau ke mana lagi? Tadi kan baru cucu-cucu Nenek. Aku bisa anter Nenek ke anaknya Nenek juga kok. Aku nih hebat lho.” Kadang-kadang Sang Waktu emang kadang songong, walau niatnya baik. Sang Waktu hebat, tapi kadang masih kalah hebat dibanding hebatnya kasih seorang ibu. Nenek berkata, “Kamu ga usah kuatir, Tu. Nenek udah seumur hidup berdoa untuk Anaknya Nenek. Soal itu, Nenek lebih paham daripada kamu.”
Dua hari setelah itu, hidup Nenek di bumi berakhir sudah. Sang Waktu menjemput Nenek ke petualangan lain: kembali ke pelukan Semesta; dan ke pelukan Kakek yang sudah menantinya sejak sekian tahun sebelumnya.
*) Tertanggal 31 Agustus 2021, kutuliskan ini untuk Oma Sari. Aku tidak bisa lupa perkenalan pertamaku dengan Oma beberapa tahun lalu. Oma nawarin gorengan yang dibeli di alun-alun. Salah satu gorengan paling enak yang pernah aku nikmati, hangatnya pas sekali untuk dinginnya pagi dan dinginnya kehidupan saat itu. Selamat menikmati perjalanan dari Bandung menuju keabadian, Oma. Ke sebuah petualangan yang tenang dan menyenangkan bersama Opa dan Sang Waktu.
kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?
Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.
Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!



