Alkisah Seorang Nenek

Pada suatu ketika, adalah seorang Nenek tua menjalani hari-hari terakhirnya di bumi. Ketika Si Nenek ditanya oleh Sang Waktu, “Nek, Nenek mau ngapain dulu? Jalan-jalan terakhir, ke mana gitu sebelum kita lanjut nih, Nek?” Si Nenek berpikir keras di dalam hatinya, “Iya juga, sebelum lanjut nih perjalanan. Apa ya yang harus disiapin?”


Di sebuah kota berbeda, seorang Ayah sedang kelimpungan mencari Anak Perempuannya yang masih kecil. Si Anak Perempuan hilang waktu mereka pergi ke pasar pagi itu. Si Ayah sedihnya sedih banget. Sudah dicari ke sana kemari, Si Anak Perempuan gak ketemu-ketemu juga.

Tanpa Si Ayah ketahui, Anak Perempuan sedang berjalan-jalan di taman bermain tidak jauh dari pasar. Rupanya, Anak Perempuan ketemu dengan seorang Anak Lelaki sebayanya, yang membawa sepaket kelereng kecil warna-warni yang sungguh menarik hati. Anak Lelaki baik hati itu mengajak Anak Perempuan bermain kelereng di tempat favoritnya di taman bermain. Di taman itu, Anak Perempuan dan Anak Lelaki bertemu dengan anak-anak seusia mereka lalu mereka bergembira bersama.


“Tu.” Nenek memanggil Sang Waktu. “Nenek mau jalan-jalan ngunjungin ketiga cucu Nenek, boleh gak?” Sang Waktu menjawab, “Boleh, Nek. Tapi Nenek kan udah tua nih, cucu-cucu Nenek di luar kota semua. Waktunya gak cukup, Nek.” Mereka berdua berdiskusi panjang, lalu tiba-tiba Sang Waktu punya ide “Oke, Nek. Gimana kalau Nenek dianterin sama aku? Tubuh Nenek di sini aja, kasian, udah tua kan. Hati sama pikiran Nenek aja yang ikut.” Wah, brilian tuh, si Nenek akhirnya setuju. Lalu dimulailah petualangan Nenek dan Waktu.

Cucu Nenek ada tiga. Yang jarak tempuhnya paling dekat, ya Cucu Kedua, yang jaraknya cuma sepelempar batu dari dimensi di mana Nenek dan Sang Waktu berada pada saat itu. “Nek, kita ke Cucu Kedua dulu aja ya.”

Ketika Nenek sampai di sana, Cucu Kedua sedang bermain masak-masakan. Cucu Kedua bermain seru sekali dengan seperangkat dapur mini berwarna-warni dan piring-piring yang terisi. Ada buah, sayur-mayur, nasi hangat, lauk-pauk. “Adek, ayo makan.” Oh, di situ ada boneka kecil, manis, dan lucu, duduk menghadap meja makan mainan yang sudah tertata rapi. Cucu Kedua menyuapkan sendok imajinasi ke bonekanya. “Wah, makannya pinter ya,” Cucu Kedua menirukan suara kedua orangtuanya.

Nenek dan Sang Waktu mengamati sambil senyum-senyum sendiri. Nenek ingin membelai rambut Cucu Keduanya, tapi lupa, kan tubuhnya gak ikut. Sang Waktu bilang, “Gapapa, Nek. Nenek kirim doa aja untuk Cucu Kedua, aku bisa pastikan doanya sampai. Dari hati ke hati, dari pikiran ke pikiran.”

Dengan yakin dan percaya, Nenek mengirimkan doa yang sungguh indah untuk Cucu Kedua. Dari hati ke hati, dari pikiran ke pikiran. Setelah itu, Nenek dan Sang Waktu melanjutkan petualangan mereka. “Nek, abis ini kita ke Cucu Ketiga dulu ya.”

Perjalanan memakan waktu yang sedikit lebih lama, karena jaraknya lebih jauh. Tapi, akhirnya mereka sampai juga pada sebuah malam. Cucu Ketiga sedang dikelilingi oleh buku-buku dan miniatur pesawat ruang angkasa. Dengan piyama yang terlihat seperti pakaian astronot, Cucu Ketiga menggapai mimpi-mimpinya terbang ke angkasa dan menikmati pemandangan bumi yang indah dari sana. Cucu Ketiga bercengkerama dengan bintang-bintang dan calon-calon meteor siap luncur, yang memancar dari proyeksi lampu tidurnya ala-ala lampu tidur di Tumb*r atau Tokoped*a.

Nenek dan Sang Waktu mengamati sambil senyum-senyum sendiri. Nenek ingin membelai rambut Cucu Ketiganya, tapi lupa lagi, kan tubuhnya gak ikut. Sang Waktu bilang, “Gapapa, Nek. Nenek kirim doa aja untuk Cucu Ketiga, aku bisa pastikan doanya sampai. Dari hati ke hati, dari pikiran ke pikiran.”

Dengan yakin dan percaya, Nenek mengirimkan doa yang sungguh indah untuk Cucu Kedua. Dari hati ke hati, dari pikiran ke pikiran. Setelah itu, Nenek dan Sang Waktu melanjutkan petualangan mereka. “Nek, abis ini kita lanjut ke Cucu Pertama. Terakhir nih, Nek.”

Di tengah perjalanan menuju ke Cucu Pertama, Sang Waktu mendengar ada suara. Ternyata itu adalah suara seseorang sedang berdoa kencang sekali. “Nek, Nenek denger gak?” Si Nenek celingak-celinguk. “Iya. Siapa ya itu? Doanya kenceng amat.” Mereka menghentikan perjalanan sebentar untuk mendengarkan lebih lanjut. Oh, ternyata itu adalah suara seorang Ayah yang sedang berdoa, hampir putus asa, memohon-mohon supaya Anak Perempuannya yang hilang di pasar segera ditemukan. “Wah, siapa tuh, Tu?” Nenek bertanya kepada Sang Waktu, tapi Sang Waktu diam saja. “Ya sudahlah, Nek, kita lanjut aja dulu.” Kemudian, mereka melanjutkan perjalanan.

Ketika Nenek sampai, Cucu Pertama sedang mengukur jarak dari kelereng yang satu ke kelereng yang lain sebelum mengarahkannya menuju ke lubang dua meter dari hadapannya. Dengan cermat dan hati-hati, Cucu Pertama menyentil satu persatu kelereng-kelereng itu sampai akhirnya berhasil mendapatkan kelereng incaran milik lawan: sebutir kelereng indah berwarna seperti pelangi sore hari. Nenek dan Sang Waktu mengamati sampai deg-degan sendiri. Namun, ketika Cucu Pertama mendapatkan apa yang diinginkannya, Nenek dan Sang Waktu bahagianya bukan main.

Lagi-lagi, Nenek ingin membelai cucu kesayangannya. Lagi-lagi, Nenek lupa lagi, kan tubuhnya gak ikut. Sang Waktu bilang, “Gapapa, Nek. Nenek kirim doa aja untuk Cucu Pertama, aku bisa pastikan doanya sampai. Dari hati ke hati, dari pikiran ke pikiran.”

Dengan yakin dan percaya, Nenek mengirimkan doa yang sungguh indah untuk Cucu Pertama. Dari hati ke hati, dari pikiran ke pikiran. Setelah semua doa indah selesai, hati Nenek tenang. Namun, tiba-tiba, Sang Waktu bilang, “Nek, lihat, ada Anak Perempuan.” Tidak jauh dari mereka, ada seorang Anak Perempuan sedang menangis di sebelah Cucu Pertama yang kebingungan dan berusaha menenangkan.


Di sebuah taman bermain sederhana di dekat pasar, seorang Anak Perempuan baru sadar kalau dia gak bisa menemukan Ayahnya. Perasaan cemas, sedih, sokberani-tapi-takut menghantui pikirannya. Seorang Anak Lelaki yang baru selesai bermain gundu mendekati dan berusaha menenangkannya. Anak Lelaki itu baru dikenalnya di pasar. Dia berkata, “Udah, udahh, jangan nangis. Ayah kamu pasti bakal cari kamu kok. Aku temenin kamu ya, sampai Ayah kamu dateng.”

Tanpa diketahui oleh seorangpun, dua sosok mengamati kejadian yang dialami dua anak kecil itu dari kejauhan. Mereka adalah Nenek dan Sang Waktu. Ternyata Si Anak Lelaki adalah Cucu Pertama dari Si Nenek.


“Tu.” Si Nenek berkata pada Sang Waktu, “Kita harus bilang ke Si Ayah yang sedang berdoa tadi, bahwa Anak Perempuannya ada di sini, ditemenin sama Cucu Pertama. Yuk, terakhir, sebelum Nenek pulang nih.” Sang Waktu, tanpa perlu menjawab, mengantar Nenek kepada Si Ayah yang masih terus berdoa, mengirimkan sebuah bisikan doa, “Si Anak Perempuan sedang di taman bermain, ditemani Cucu Pertama saya, menunggu kamu untuk datang dan menemukannya. Ayo, cepat ke sana.”


Di kota itu, pada hari itu, seorang Ayah mencari-cari Anak Perempuannya yang baru saja hilang di pasar. Dicari-cari dari pagi sampai menjelang sore, belum ketemu-ketemu juga. Berjalan kaki ke sana-kemari, lelah, lalu berhenti. Hampir putus asa, di sebuah jalan yang sepi dan gelap, Si Ayah berdoa kencang-kencang berharap Semesta mendengar.

Tidak lama setelahnya, seperti baru dibisiki sesuatu, Si Ayah berjalan ke arah sebuah taman bermain. Betapa tenang hatinya, di taman bermain sederhana itu, Si Ayah bertemu kembali dengan Anak Perempuan yang disayanginya, di sebelah seorang Anak Lelaki yang dengan sabar menemani. Dalam hati, Si Ayah berkata, “Duh, untung ketemu, untung sehat walafiat, untung aman. Kalo enggak, gue pasti dimarahin sama bini gue.”


Sang Waktu mengantarkan Nenek kembali ke rumah dan ke tubuhnya. “Nek, mau ke mana lagi? Tadi kan baru cucu-cucu Nenek. Aku bisa anter Nenek ke anaknya Nenek juga kok. Aku nih hebat lho.” Kadang-kadang Sang Waktu emang kadang songong, walau niatnya baik. Sang Waktu hebat, tapi kadang masih kalah hebat dibanding hebatnya kasih seorang ibu. Nenek berkata, “Kamu ga usah kuatir, Tu. Nenek udah seumur hidup berdoa untuk Anaknya Nenek. Soal itu, Nenek lebih paham daripada kamu.”


Dua hari setelah itu, hidup Nenek di bumi berakhir sudah. Sang Waktu menjemput Nenek ke petualangan lain: kembali ke pelukan Semesta; dan ke pelukan Kakek yang sudah menantinya sejak sekian tahun sebelumnya.


*)

Tertanggal 31 Agustus 2021, kutuliskan ini untuk Oma Sari. 

Aku tidak bisa lupa perkenalan pertamaku dengan Oma beberapa tahun lalu. Oma nawarin gorengan yang dibeli di alun-alun. Salah satu gorengan paling enak yang pernah aku nikmati, hangatnya pas sekali untuk dinginnya pagi dan dinginnya kehidupan saat itu.

Selamat menikmati perjalanan dari Bandung menuju keabadian, Oma. Ke sebuah petualangan yang tenang dan menyenangkan bersama Opa dan Sang Waktu.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Tentang Sempurnanya Hidup Yang Jauh Dari Sempurna Ini

Beberapa kejadian bikin gue bener-bener sadar, bahwa memang kita gak akan pernah tau kapan waktunya kelar di dunia dan beranjak ke akhirat. Bahkan, mungkin beberapa detik sebelum waktunya tiba pun gak kepikiran akan metong.

Beberapa minggu lalu, gue gak sengaja curi denger lagunya D’MASIV yang lagi dimixing sama Iponk. Waktu itu niatnya cuma mau nganterin tumbler takutnya si Iponk kurang minum karena di studio terus jarang turun. Ya Tuhan, duh maaf, saya jadi curi denger. Tapi ini lagu memang kayaknya wajib didenger oleh semua orang sih. Terutama sekarang-sekarang ini.

Gue cuma berharap kalau tiba waktunya, gue dipenuhi kelegaan, supaya dengan tenang, dengan bersabar, gue bisa merelakan. Apa yang perlu diambil, ambillah. Siapapun yang perlu menjemput, jemputlah. Bila ada yang harus dilepaskan, lepaskan, biar ringan perjalanan. Kenangan-kenangan, simpan dan bawalah dalam hati. Ketika gue sudah bisa merelakan sampai di titik situ, mungkin artinya ketika waktunya nanti tiba, gue sudah siap menyelesaikan hidup yang gak sempurna ini dengan cara yang paling sempurna: dengan lega.

Kata Ibu gue, berdoa.

Kata Bapak gue, vaksin.

Kata sahabat gue, relain.

Kata pemerintah, kalau mau lega, jaga kebersihan, jaga kesehatan, pake masker jagain orang di sekitar.

Kata D’MASIV, biarkan waktu menjawab.

Kata Kunto Aji, biar Semesta bekerja.

Kata seorang bernama Timur pada seorang bernama Mentari, keseimbangan.

Kata gue: Untuk segalanya, ada waktunya.


Agustin Oendari adalah seorang penulis lagu dan penyanyi yang mengawali karier pada 2014 dengan menulis dan menyanyikan lagu Selamat Pagi Malam untuk film berjudul sama karya sutradara Lucky Kuswandi. Lagu tersebutlah yang pertama kali mempertemukan Oendari dengan pendengar setia yang terus mendukungnya hingga melalui beberapa rilisan untuk film-film lain, seperti Galih & Ratna, satu lagi karya sutradara Lucky Kuswandi, dan Susah Sinyal, karya sutradara Ernest Prakasa.

Rilisan-rilisan Oendari yang lain pun telah mendapat perhatian khusus dari berbagai streaming platform dan media, antara lain: LHSW yang sempat menjadi bagian dari banner utama aplikasi JOOX pada masa rilisnya dan juga disiarkan di berbagai media musik ternama, seperti Billboard Indonesia dan Pophariini; Bend Down dan Selamat Pagi Malam yang berada di deretan nominasi AMI Awards ke-22; dan beberapa lagu dalam album soundtrack Galih & Ratna yang mendapatkan kesempatan spesial JOOX Concert Galih & Ratna tahun 2017, seperti Hampir Sempurna, yang ditampilkan oleh Rendy Pandugo, Song Of Goodbye, yang ditampilkan oleh Ivan Gojaya yang juga adalah produser dari hampir seluruh karya Oendari, dan lagu-lagu lain yang ditampilkan oleh Oendari, seperti Nyatanya Sementara, Dari Rindu Kepada Rindu.

Selain terlibat dalam berbagai karya kolaboratif sebagai penyanyi atau penulis lagu, Oendari juga sempat berkiprah sebagai vocal director, bekerja bersama musisi dan produser ternama, antara lain Titiek Puspa, Dutacinta, Momo Geisha, Sheryl Sheinafia, dan Steve Lillywhite. Keterlibatan Oendari sebagai vocal director juga terdapat pada lagu Lathi (Weird Genius ft. Sara Fajira), Dunia (Mytha Lestari), A Million Stars (Album Kolaborasi Rising Stars), dan masih banyak lagi. Tahun 2021, Oendari dengan merilis album dari keterlibatannya di dalam sebuah film berjudul Akhirat: A Love Story.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

To Whom It May Concern

Sekarang, kalau ada yang berniat mendoakan, siapa tau … gak ada yang lebih penting buat gue, selain didoakan. Kita ada di situasi di mana gak tau kapan, bisa aja tiba-tiba kita gak ada. Mungkin hari ini sehat, besok sehat, lusa masih sehat, lalu tiba-tiba bam! Tinggal nama.

Apapun yang terjadi, gue minta maaf atas semua hal yang gue lakukan dengan salah. Gue bersyukur pernah melintas di kehidupan kalian, entah kapan entah gimana entah untuk apa. Doakan gue menuju sebuah peperangan spiritual bernama kematian.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Sebuah Mimpi Yang Pernah Tercatat Dahulu Kala

Minggu, 13 September 2015

Di Killiney, Senayan, menulis sendirian.


DARI MIMPI. Mataku menangkap matamu lalu kita jadi tau satu. Kita jadi mengerti siapa kita ini dan apa kita ini. Jauh, jauh sekali, sebelum ini.

Kata-kata terkandung lalu lahir kita dari rahim nuansa. Engkau adalah suara dan aku larik-larik yang bercerita. Lahir kita sebagai sajak, yang beruntai pada satu masa. Lahir kita karena malam memberi benihnya pada cinta. Darah dari sajak dan daging dari sajak. Terbentuk dari satu dan timbul jadi satu. Sebabnya demikian:

Kita saling melihat hati tanpa membuka mata. Tidak lagi perlu apa-apa, tidak lagi rindu apa-apa. Karena selalu cukup bagiku engkau dan nada-nada. Dan, kesukaanmu adalah kubacakan kisah-kisah.

Lahir kita sebagai sajak yang beruntai pada satu masa. Sampai saat kita tercerabut hingga tak lagi kita berpaut. Angin barat bertiup membelah jagat lalu kita terpisah. Tanpa tanda-tanda pengingat, kita terceraikan oleh entah. Jauh, jauh sekali, sebelum ini.

Namun, kita adalah anak-anak sajak. Darah kita terus luruh mengalir dari hulu sajak. Daging kita bertumbuh di bawah denyut sajak. Maka, kita tidaklah perlu kuatir akan apapun juga. Cakrawala kita terangkum dalam pejam mata. Dalam getar-getar yang dirambatkan udara. Dan, perpisahan adalah sekadar cara agar kita dapat saling menemukan.

Seperti saat ini, setelah hidup kita bergerak jauh. Setelah hati kita berpindah-pindah, ini aku, menemukan engkau. Mataku menangkap matamu lalu kita jadi tau satu. Kita jadi teringat siapa kita ini dan apa kita ini. Jauh, jauh sekali, sebelum ini.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Mimpi Semalam (16)

Aku udah lama banget gak ke sini dan ketemu orang-orang di sini. Aku ngerasa takut. Takut mengecewakan. Takut ditolak. Takut gak cukup baik. Takut gak diterima. Tapi kamu insist kita ke sini dan sekarang kita sudah di sini.

Ini rumah yang besar sekali buatku. Terlalu besar sampai aku merasa di sini sangat dingin, padahal warna-warna di dinding yang penuh dekorasi klasik, lampu-lampu cantik, dan perapian sebesar itu, semuanya seakan ingin menunjukkan kehangatan dan keramahan. Tapi tetap saja dingin, kaku, bikin takut.

Seperti biasa, seakan tau isi pikiranku, kamu bilang: gapapa. Baiklah. Gapapa. Aku mengembalikan perhatianku kepada kita yang sedang berjalan memasuki paviliun demi paviliun, mengikuti seorang penjaga rumah berpakaian formal yang mengantarkan kita sedari tadi. Kita belum sampai-sampai juga ke ruangan yang dituju. Ini betul-betul rumah yang besar. Dan, aku diam-diam semakin panik.

Di bawah anak tangga menuju ruangan yang sudah penuh orang itu, langkahku sempat terhenti. Aku gentar sekali naik ke sana. Tangga yang maha lebar dan maha tinggi itu pun seakan-akan mengintimidasi. Kamu yang sudah beberapa anak tangga lebih dulu, sepertinya sadar aku tertinggal di belakang. Kamu meminta penjaga rumah yang flamboyan itu untuk menunggu. Kamu kembali untuk menjemput aku dan kamu mengulurkan tangan. Kamu bilang lagi: gapapa. Baiklah. Aku memegang tangan kamu. Aku percaya sama kamu.

Lama sekali kita berjalan, kamu gak melepas tangan aku. Ketika pintu dibuka, semua mata memandang di balik tirai. Aku bisa merasakan tanganku makin dingin, sementara tangan kamu makin hangat. Aku mematung karena sulit berpikir jernih, lalu kamu, seperti biasa, seperti tau pikiranku, kamu membisikkan namaku, tepat di telinga.

Di situ, gue bangun.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Mimpi Semalam (15)

“I’m not allowed to be seen around you.”

“Really? Why?

“That’s what I’ve been told.”

“Who told you that?”

“You know who.”

“…”

“You know who.”

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Mimpi Semalam (14)

“I’m easily forgotten.” kali ini gantian aku yang cerita. Kamu mendengarkan. Gak tau kenapa aku mulai dengan sok ide berbahasa Inggris, padahal lancar juga enggak.

Kita sedang di dalam perjalanan dan hari hujan. Baik aku maupun kamu, gak satupun dari kita menduga hari itu akan hujan. Kita menuju ke rumah seseorang yang gak aku kenal, tapi kamu kenal. Aku yang nyetir, kamu yang menunjukkan jalannya. Kamu gak kuat nyetir, apalagi dengan cuaca kayak gini, itu pasti, aku paham. Aku gak inget kita ngobrolin apa sebelumnya, tapi sepertinya sesuatu yang penting dan urgent tentang kenalan kamu yang sedang kita datangi rumahnya itu.

Sambil nyetir, aku bilang ke kamu, “Aku akan menanti-nanti satu kesempatan di mana kamu menyadari ada kejadian-kejadian yang di luar kendali bisa terjadi begitu aja, dan kamu gak tau itu kenapa. Tapi, tanpa tau kenapa, semua kejadian itu bisa memperbaharui cara kamu memandang banyak hal.”

“Yang kamu percaya, bisa runtuh seketika. Yang kamu pikir gak nyata, ternyata ada. Apa yang penting? Apa yang perlu? Bisa berubah tiba-tiba. Tapi ternyata, semua yang kita tau, dulu, sekarang, atau nanti, sudah ada masa-masanya masing-masing. Akan tiba masanya kamu sadar, ada hal-hal yang di luar kendali, terjadi begitu aja dan kamu akan bergerak terus dengan itu.”

“Kalau kesempatan itu udah tiba, semoga kamu inget aku pernah bilang ini: segala sesuatu ada sumbernya, biarin aja mengalir.” Aku cuma kasih jawaban itu sambil mengakhiri, “Tapi, like I said, I’m easily forgotten.” Kita diam beberapa lama, sebelum kamu jawab, “No, you are not.”

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Tentang Coming Back Stronger

Dua bulan terakhir ini, gue melepaskan diri dari media sosial. Kadang-kadang muncul sesekali di sana kalau dibutuhkan aja. Bulan Mei dan Juni lalu, banyak hal berat yang gue lalui. Gue yakin, gak cuma gue doang yang diam-diam stress dengan situasi saat ini. Gak cuma dua bulan terakhir, gue pun yakin banyak yang setuju, sepanjang tahun ini udah kelewat banyak kejadian yang melelahkan hati dan pikiran. Selama kurang lebih satu setengah tahun, seringkali energi kayak dikuras habis, menenangkan hati, bangkit lagi, terus jatuh lagi. Kayak digebukkin berkali-kali.

Sudah kurang lebih delapan bulan ini, gue kayak hidup di dua alam. Setidaknya, begitu Kamga menyebutnya. Kamga adalah salah satu teman baru yang gue kenal beberapa bulan terakhir, beliau ada di momen-momen pertama kebangunan spiritual gue terjadi, sekitar Oktober-November 2020. Gue dan Kamga memang gak sesering itu ngobrol, tapi terakhir kita sempat ngobrol di DM Instagram, akhir Mei lalu. Kamga sempat bertanya “Lo kenapa bulan Mei?” Di situ, gue akhirnya cerita.

Beberapa hal gue rasakan di bulan Mei. Gue sempat ada di situasi di mana gue gak bisa mengimbangi hal-hal yang spiritual dan yang material. Mulai sulit tidur, makin sering ngerasa dicolek-colek, tiba-tiba kepikiran hal-hal yang gak gue pahami tapi bisa gue rasakan emosinya, dan yang terbaru: punya firasat sebelum seseorang meninggal. Entah karena gue overwhelmed, atau jangan-jangan sebetulnya gue takut walaupun udah sering dibilangin untuk gak perlu takut, atau gue memang nubi banget aja jadi gak paham.

Dalam obrolan singkat di DM tersebut, Kamga menyampaikan saran-saran yang gue pertimbangkan terus. Seperti sebelum-sebelumnya, semua saran Kamga selalu gue inget-inget, simply gue percaya sama Kamga. Yang paling gue inget, terakhir Kamga bilang, “Get well soon Botin manusia dua alam.

Dua alam. Udah mana sulit menetapkan diri di alam spiritual, ada banyak juga yang terjadi di alam material, ada banyak hal-hal nyata yang juga perlu gue urusin, gue pikirin, gue kerjain.

Karena satu dan lain hal, album gue (dan showcasenya) yang mestinya rilis bulan Mei, harus diundur, thanks to pandemi. Memang pandemi ini bikin gue belajar menyadari bahwa ada hal-hal yang memang di luar kendali dan gue dididik pelan-pelan untuk merelakan. Semacam harus lebih ya-udah-lah.

Selain itu, sejak pandemi dimulai dan gak tau kapan kelarnya, kehidupan gue jadi sangat domestik. Yang kenal baik sama gue, pasti akan bilang, “Lah, lo kan emang jarang ke mana-mana dari dulu.” Iya, sejak gue kerja di ROEMAHIPONK tujuh tahun lalu, gue memang jarang keluar karena kesibukan produksi seringkali menuntut gue untuk ada di studio terus. Plus, gue memang gak terlalu suka keramaian dan lebih sering memilih untuk menyendiri. Tapi, beda banget sih rasanya, antara gak keluar-keluar karena memang memilih untuk stay inside, dengan gak keluar-keluar karena paranoid sama situasi di luar sana.

Gue pun awalnya berpikir, menjadi domestik gak akan terlalu memengaruhi gue, tapi nyatanya enggak juga. Jenuh, ngerasa gak aman, ngerasa gak cukup baik karena ngerasa kerjaan selalu numpuk imbas dari gak ada bedanya lagi antara waktunya kerja sama waktunya libur, gak tau kapan prioritasin waktu untuk diri sendiri dan untuk kerjaan. Waktu semakin sulit diukur dan keseharian gue berputar di ruang yang sama, itu lagi itu lagi.


Baik perkara-perkara spiritual maupun material, gue belakangan jadi banyak cari tau, demi gue bisa lebih memahami gue kenapa dan gue harus apa. Artikel-artikel soal spiritual awakening gue baca. Artikel-artikel psikologi pun gue baca. Tips-tips menjaga stabilitas performa kerja gue kulik. Banyak istilah-istilah baru gue googling: clairaudience, clairsentience, burnout, clinical depression, anxiety problems, banyaklah. Dari yang gue baca, katanya gue pas untuk cobain diet, cobain puasa, cobain meditasi, coba berdoa lagi, baca alkitab lagi, coba exercise ini itu, coba relayout ruang kerja, coba cari hiburan dengan nonton, main game, hobi baru, apapun. Gue turutin sehari, dua hari, seminggu, sebulan, beberapa bulan. Kenapa gue gak ngerasa lebih baik? Kenapa setelah make efforts ini itu, gue malah ngerasa banyak gagalnya? Ini wajar apa enggak? Gak paham.

Tulisan apa ini. Isinya ngeluh semua. Padahal judulnya tentang coming back stronger. Gue nulis di sini, karena gak tau medium lain yang bisa menampung ini, karena gue tau: pada masa-masa kayak sekarang, siapa yang gak ngerasa kewalahan? Kalaupun ada yang tenang-tenang aja, berapa banding berapa dengan yang sebaliknya? Di sekeliling gue, yang gue temukan sih hampir semua orang lagi devastated. Gak mungkin tega gue tambah beban mereka dengan menumpahkan keluhan gue. Dan, gue nulis di sini, mungkin karena gue udah capek berusaha menghindarkan diri dari stress bacain angka-angka di berita. Cari positivity di layar handphone gak berhasil, malah berakhir dengan pikiran negatif: di luar sana banyak yang hidupnya udah kayak setrong lagi, kok gue ngerasa gue gak stronger-stronger juga. Digebukkin berkali-kali, gak stronger-stronger juga.

Sejak gue mengalami pengalaman spiritual yang tidak gue pahami itu, gue memang jadi lebih memerhatikan tanda-tanda. Gue merasa setiap tanda sederhana yang gue sadari, menyimpan pesan mendalam yang perlu gue pelajari. Kalau ada yang pernah (atau sering) mengalami pengalaman yang kayak gue dan paham maksud kalimat barusan, mungkin paham juga ketika gue memutuskan untuk mengikuti tanda demi tanda, demi tau ujungnya apa.

Penelusuran gue membawa gue kepada pertanyaan: tracing back ke masa demi masa kehidupan yang sudah gue lewati, apa yang paling bikin gue lega? Gue udah sempet bercerita di salah satu tulisan di situs ini, bahwa belakangan ini gue sedang berusaha mengetahui apa yang gue cari dan apa yang perlu gue temukan. Lalu, ada satu tulisan gue dari tahun 2015 yang baru-baru ini muncul di antara tumpukan jurnal lama. Di situ tertulis soal lega. Sekarang gue baru berpikir ulang, ini bukan cuma soal lega, melainkan “Apa yang bisa bikin gue gak menyesal?”.

Tanda demi tanda membawa gue sampai di kesimpulan yang sedang gue coba saat ini, yaitu kembali ke apa yang gue nikmati dan gue percayai sejak kecil: menulis. Dari kecil, gue suka merekam kejadian-kejadian di depan mata, ataupun khayalan-khayalan di dalam kepala, ke dalam tulisan. Ketika menulis, ada romantisme yang gue temukan dan gue nikmati di dalam persahabatan gue dengan kata-kata.

Membaca atau mendengarkan kata-kata sudah jadi keseharian gue beberapa tahun terakhir. Terutama karena pekerjaan di balik layar produksi musik dan audio, yang bikin gue terbiasa soal itu. Oleh karena itu, kata-kata, (dan banyak hal lainnya dalam berbahasa) jadi penting banget buat gue. Belakangan, gue teringat bahwa kecintaan gue pada kata-kata kayaknya udah dari kecil.

Gue terbiasa mengamati cara orang-orang di sekitar gue berkomunikasi. Ketika gue denger satu kalimat, kepala gue jadi terlatih untuk merunut dan menghubungkannya dengan kemungkinan cerita besar yang menyelimuti kalimat sederhana tersebut. Ketika gue baca satu baris, gue merasakan kombinasi perasaan yang mungkin mengendap di dalam barisan kata-kata itu. Ketika gue mendengar intonasi, gue seperti menyelam ke dalam pikiran yang tidak gue kenali. Ketika menulis, itu semua kayak amplified.

Ini yang gue rasakan. Menulis membantu gue mengendalikan pikiran gue, karena ketika menulis gue harus merunut kejadian dan menghubungkan satu dengan yang lain. Menulis juga membantu gue memahami banyak hal yang sebelumnya cuma misteri, terutama ketika tulisan yang sedang dikembangkan melibatkan kilas balik jejak rekam kejadian demi kejadian yang pernah gue alami. Menulis melatih gue untuk memperkaya intonasi, menyeimbangkan antara keras dan lembut, kuat dan lemah, insist atau pasrah. Menulis mengajarkan gue untuk “pelan-pelan nanti juga sampai di tujuan”. Rasanya ini penting banget untuk selalu jadi pengingat buat gue di masa sekarang, di masa-masa stres.

Pada masa sulit, tulisan bisa jadi medium untuk gue menuangkan beban yang perlu dilepas sebentar dari kepala gue. Gue gak menemukan kesenangan yang sama, yang gue dapatkan dari menulis, pada hal yang lain: liburan selalu asyik, tapi ya udah, beda tempat beda suasana, terus udah; nonton selalu seru, karena menginspirasi, tapi terus udah; game, buat gue gak menarik. Tulisan, selalu pas. Tulisan selalu menerima gue apa adanya. Apapun yang mau gue ceritakan, jadilah. Dengan demikian, lega banget ketika beban satu-satu lepas dalam bentuk tulisan. Rasanya ini juga yang jadi alasan gue kembali ke sini, menulis blog lagi.

Di sebuah tulisan Tentang Theoresia Rumthe, gue menulis tentang sebuah kalimat yang pernah berhasil menyelamatkan gue dari bahayanya pikiran gue sendiri: “Menulislah dan jangan bunuh diri.” Tujuh tahun lalu, gue membaca kalimat Theoresia Rumthe ini, tapi gue gak yakin gue mengerti artinya. Kayaknya baru sekarang gue mulai paham.

Di lingkungan gue, topik bunuh diri bukan topik yang dibicarakan secara buka-bukaan. Namun, kalau mau jujur, topik bunuh diri bukan gak pernah mampir di pikiran gue. Beruntung gue dikelilingi oleh orang-orang yang menjagai gue, minimal lewat doa dan nasihat pengingat, sejauh ini gue selalu kembali kepada kewarasan gue. Theoresia Rumthe adalah salah satunya, yang pernah hadir dengan sebuah pengingat, “Menulislah dan jangan bunuh diri.” Sampe sekarang, masih gue ingat. Dan, gue lakukan.

Untuk kalian yang membaca sampai sini, sekiranya sedang berada di situasi yang kurang lebih sama kayak gue: mumet, rumit, gagal paham, overthinking, atau semacam itu; well, tos, semangat ya. Gue doakan kalian menemukan cara untuk menguapkan semua beban, satu-satu supaya lebih ringan. Mungkin caranya adalah menulis, kayak gue. Mungkin juga bukan. Apapun bentuknya, semoga ketika diperlukan, kalian dipertemukan dengan pengingat sederhana yang bisa bikin kalian kuat lagi.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Ketika Tuhan Bercerita

Aku meramu samudera.

Kucampurkan warna-warna. Biru laut, awan putih. Hijau ganggang di dasarnya menari-nari. Kulihat dari langit dan kupandangi. Tidak terasa hidup, karena semua hanya diam. Maka, kuciptakan daya, kuberikan gelora. Dan, kunamai dia: ombak.

Lalu, aku tersenyum. Aku terdiam. Kemudian kutiupkan angin, kuberikan riak. Sehembus dari nafasku. Dan, kunamai dia: badai.

Ya, semua indah. Tapi tunggu. Ini, ciptaan kecil yang paling kusayang. Aku ingin ia juga memahami. Aku ingin ia juga merasakan. Kunamai dia: manusia. Semua indah. Pada waktunya.

Manusia. Seringkali aku merindukannya. Dan, bila tidak lagi tertahan, aku akan membisikkan suara-suara. Gemuruh gulungan ombak. Tetes embun. Nyanyian tonggeret. Kicau burung-burung. Gema di dalam terowongan. Bising di dalam kemacetan. Aku adalah keheningan dalam ruang-ruang ibadah. Itu aku. Khidmat dalam resital. Itu aku. Aku adalah keramaian dalam festival. Itu juga suaraku. Aku membisikkan kebahagiaan saat bayi-bayi lahir. Aku berikan diam saat nyawa-nyawa beristirahat. Itu suaraku. Kunamai dia: musik.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Tentang Pengalaman Spiritual

Peringatan sebelum membaca: Hati-hati, tulisan ini aneh. Begitu pula penulisnya.


Photo by Luis Dalvan on Pexels.com

Gue pun masih jet lag dan belum paham bener ini tuh apa. Kenapa ketika kenalan atau ngobrol sama orang, gue beberapa kali mendengar pesan-pesan yang tidak gue mengerti yang bunyinya kayak di belakang kepala. Kenapa waktu dengerin curhatan, kadang ada perasaan-perasaan yang intens yang tiba-tiba muncul. Kenapa gue dipertemukan dengan wajah-wajah dari masa silam. Atau paling enggak, rasanya kayak dari masa silam. Atau firasat, yang rasanya kayak dari masa depan. Entahlah, belakangan ini, kadang rasanya waktu gak relevan lagi untuk jadi sekadar besaran dari pengukuran.

Omong-omong soal relevansi, sama kayak agama. Setelah beberapa kali melalui pengalaman yang sifatnya spiritual, pikiran-pikiran gue mengenai agama kayak diajak untuk berevolusi. Beberapa hal yang gue pegang teguh, akhirnya patah. Beberapa hal yang gue pikir klise, ternyata nyata. Beberapa hal yang sebelumnya gue percaya gak percaya, akhirnya gue percaya. Yang gue pikir gak ada, ternyata ada. Isi itu kosong. Dan, kosong mungkin sebetulnya isi. Gak taulah. Aneh.

Tapi, walaupun di sini gue nyentil soal agama dan seakan mempertanyakan relevansinya di kehidupan dan alam pemikiran gue, bukan berarti gue gak menghargai hal-hal tentang agama. Banyak banget intisari yang gue serap ketika belajar agama yang gue rasa berharga untuk jadi bekal dalam berkehidupan. Ini juga yang membuat gue semakin menghargai teman-teman dan sahabat yang mempelajari dan mendalami agama, apalagi yang mengalirkannya ke dalam kehidupan nyata dengan ngasih dampak yang segar buat sekitar. Buat gue, mereka kayak Malekat.

Pengalaman-pengalaman spiritual belakangan ini, meskipun seringkali menghanyutkan ke dalam naik-turunnya kebingungan dan bahkan kecemasan, selalu mengembalikan gue kepada dua pertanyaan besar yang seringkali gue tanyakan dalam hati. Apa yang gue cari? Dan, apa yang harus gue temukan?

Apa yang gue cari? Ini pertanyaan simpel, pendek, tapi sejujurnya gue seringkali gagap ketika harus menjawab. Padahal, kalo dipikir-pikir, opsi jawaban kan ada banyak. Uang? Popularitas? Kekuasaan atas sesuatu? Atau apalah, banyak kan? Nah, ini aneh nih. Belum lama ini, pas lagi beresin tumpukan jurnal lama, gue nemu satu tulisan tertanggal 10 September 2015. Begini bunyinya:


Sepanjang hidup, aku berusaha mencari lega. Selama itu pula, aku belajar menyadari, bahwa seringkali kelegaan ada dalam kesederhanaan. Indah dan agung.

Aku lega setiap kali pagi datang kembali. Dan, embun, butir demi butir, masih rela jatuh ke pucuk-pucuk pohon lalu mengalir ke pangkuan tanah. Aku juga lega saat tanah menjemputnya dengan sukacita. Malam memisahkan. Pagi mempertemukan. Maka terpujilah Tuhan, atau dengan istilah apapun namanya kau sebutkan. 

Aku lega setiap kali kembang-kembang mekar kembali. Putik dan helai-helai benang sari bergelora lagi di ujung ranting yang kupikir telah kering dan tangkai yang kupikir telah lunglai. Aku lega karena meski terpatahkan satu, telah tumbuh kembali satu, mungkin aja akan jadi seribu.

Aku lega setiap kali bayi-bayi lahir ke dunia dan para ibu berbahagia. Aku pun lega saat tiba waktunya bagi yang melepaskan diri mereka satu persatu tanpa beban setelah berjuang panjang di medan kehidupan.

Aku lega setiap kali aku menikmati kesempatan untuk melihat wajah-wajah dari semua yang kusayang. Ada yang kekal di sana. Terekam dan tidak hilang. Hela napas mereka, senyuman kecil saat mereka terlelap di tengah mimpi indah. Pelukan-pelukan yang singkat namun cukup untuk menjembatani kerinduan.

Sederhana, bukan? Sekarang bercerminlah ke langit dan lihatlah. Keindahan dan keagungan memantul di wajahmu. Itu cukup.


Itu. Tulisan macam apa itu. Waktu menulis itu, gue gak yakin gue sendiri paham maknanya. Sekarang pun, entah. Tapi, untuk sementara waktu, mungkin tulisan ini bisa menjawab dua pertanyaan tadi. Apa yang gue cari? Mungkin kelegaan. Apa yang harus gue temukan? Mungkin kesederhanaan

Sekian dulu tentang pengalaman spiritual sayah sebelum lebih aneh lagi. Omong-omong, kalau beneran ngerasa ini tulisan yang aneh, gue udah wanti-wanti dari awal ya, namun ya namun lo masih baca sampe sini, beb. Ya mau gimana.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.