Mimpi Semalam (3)

Seminggu ini sulit mengingat mimpi. Yang kuingat dari mimpi semalam pun hanyalah mimpi yang nyaman. Putih dan abu-abu muda.

Kalau ditanya mimpi apa yang paling kuingat, adalah sebuah mimpi yang sunyi. Pantai yang panjang. Langit terbelah dua. Terang di sisi yang satu. Mendung dan gelap di sisi yang lain. Seperti biasanya, tidak banyak suara. Dan, lagi-lagi aku sendiri.

Pasir di punggungku. Pasir di bahuku. Dan, angin laut yang hangat bertiup di atas dadaku. Aku menutup mata saat ombak bergulung tipis menyelinap di bawah kedua kakiku. Lalu ramai-ramai, ombak bergulung menjauh, meninggalkan bulir-bulir pasir yang mungil dalam kesepian.

Aku mendengar bisikan. Pelan. Dibalut bunyi angin. Maka, pelan pula, kubuka mataku dan tiba-tiba dia ada di sana.

Pria itu membelakangi matahari dan tidak dapat kukenali wajahnya. Dia tidak bicara. Matanya menatap lekat-lekat, menembus bola mataku. Hidungnya menyentuh tepat di ujung hidungku. Wajahnya basah di depan wajahku. Begitu pula tubuhnya.

Air menetes dari tepi dahinya, jatuh di dahiku. Lalu, aku bangun.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Mimpi Semalam (2)

Aku bermimpi semalam. Mimpiku terbuat dari pasir hitam putih dan gumpalan awan kecokelatan. Semuanya buram dan rasanya aku akan pergi jauh. Jauh, tapi entah ke mana. Hanya rasanya saja demikian.

Aku bepergian sendiri, seperti biasanya. Ini memang bukan mimpi pertama di mana aku merasa bepergian. Dan, pada setiap mimpi serupa, rasanya aku selalu sendiri.

Kemudian, ada stasiun yang sangat besar dan sungguh ramai di sana. Aku di sana. Ramai, tapi mimpiku sunyi. Tidak banyak suara. Hanya ada beberapa orang yang bicara. Belum ada siapapun yang kukenal di sana, lalu tiba-tiba ada Albert. Dia tiba-tiba muncul di tengah kabut tipis kecokelatan, membawakan banyak sekali makanan. Sebelum aku berangkat, katanya.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Mimpi Semalam (1)

Kamu ada di sana, di mimpi semalam. Kita mengobrol lama sekali.

Kita hanya bayang-bayang di balik sisi terang bulan. Karena kita hanya bayang- bayang, kita tidak berdenyut. Kita tidak bernyawa. Kita hanya bunyi-bunyian. Berkata-kata lewat suara.

Kamu tau, di balik sisi terang bulan, ada siang. Ada manusia-manusia sadar. Memar-memar di hatinya diciptakannya sendiri. Maka, beruntunglah kita. Mengucap syukurlah pada Semesta, bahwa kita cukup jadi bayang-bayang di balik sisi terang bulan.

Hari ini, kita pergi jauh-jauh sendiri-sendiri. Hari lainnya, pada satu tempat, kita ketemu lagi. Dunia hanya ada di antara batas yang bernama waktu. Tapi waktu sering bersikap licik karena cuma dia yang bisa memelar sendiri dan menyempit semaunya. 

Ayo, kita hendak pergi ke mana lagi. Lekas kita mengembara berdua lagi. Kita tidak dikejar apa-apa. Kita tidak meninggalkan siapa-siapa di belakang. Di belakang, hanya ada waktu. Karena dia adalah kelicikan, maka anggap saja kita boleh meninggalkan dia di belakang.

Seharusnya kita lebih sering kembali berpulang kepada hakikat kita. Kita liar, binatang liar. Tapi kita punya kemampuan bertanya. Kenapa. Apa alasannya. Maka, semua bisa dipertanyakan.

Dan di balik pertanyaan, kita bisa menemukan jawaban, jika dan hanya jika kita bisa, kita menerima, kita membolehkan, kita memberi jawaban bagi dia, jawaban kecil itu, untuk bersembunyi di sana.

Lebih baik jawaban yang bersembunyi di balik cadar pertanyaan, ketimbang jawaban yang datang dari pertanyaan yang tidak pernah ditanyakan.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Galih

20 Juli 2015. 21:58.

Kembang cantik Padma mekar di puncak Ciumbuleuit.

FullSizeRender

Akhirnya bisa liburan lagi walaupun cuma sebentar. Akhirnya bisa senggang dan lepas dari yang tegang-tegang macam deadline. Jauh dari ricuh kota besar, jauh dari rutinitas harian, jauh dari missed calls, jauh dari pesan singkat dan surat elektronik orang-orang. Sendiri dan jernih (mudah-mudahan).

Hari-hari sebelum ini, belakangan, gue merasa sangat penat dan sangat terburu-buru. Untuk segala sesuatu. Sebetulnya, gue meyakini bahwa ini bukan cuma soal deadline. Banyak pikiran dan banyak masalah pribadi yang sedang gue pikirkan. Tapi, gue gak akan mengeluhkan hal-hal itu di sini, karena gue tau, gue hanya satu dari sekian miliar manusia di muka bumi yang punya pergumulan. Nah, lucunya, kepusingan gue belakangan ini sebenarnya juga karena disponsori oleh banyaknya curhatan sahabat. Salah satunya adalah soal asmara yang mandek di tengah jalan. Klise ya. Tapi, ternyata seklise-klisenya ini, sahabat gue segitu berberat hati. Mungkin karena dia pikir, perempuan yang sedang banjir-banjirnya ditangisi adalah kekasih yang paling sejati. Ya, kan, gak ada yang tau.

Sahabat gue, sebut saja dia Galih. Dan, dia merasa sudah ketemu dengan Ratna-nya, jodoh paling tepat, yang paling dipujanya. Tetapi, karena satu masalah pelik menyangkut orang ketiga yang muncul hanya untuk cari keuntungan diri sendiri, dan bahkan bukan untuk keuntungan Galih, apalagi Ratna, si Galih jadi kelimpungan. Karena Ratna sudah keburu merasa dikhianati dan akhirnya pergi. Tanpa sempat jelasin apa-apa, sekarang tinggalah Galih seorang diri dan patah hati. Terus si Galih ini jadi curhat ke gue.

Sudah empat bulan Galih diputusin Ratna. Ya, itu tadi, kampretnya adalah tanpa Galih bisa menjelaskan apa-apa. Mana bisa jelasin. Selama empat bulan kemarin, Galih gak bisa sama sekali menghubungi Ratna. Telepon dan SMS diblok. Facebook dan Path diunfriend. Twitter diunfollow. Line dihapus. Email juga gak dibales. Kalaupun Pos Indonesia masih bisa cukup dipercaya dan Galih masih berniat kirim surat atau kartu pos, gue yakin Ratna juga pasti gak bakal bales. Namun, sekali setelah empat bulan, kemarin akhirnya Ratna bales pesan Galih. Beberapa menit. Beberapa pesan. Galih langsung berapi-api. Sampe dicapture obrolan mereka, berlayar-layar, dan dikirim ke gue. Lalu, oh, Galih. Meskipun gue tau bahwa Galih seneng banget karena pesannya terbalas, dari semua pesan yang gue baca, gue juga tau, bahwa Galih semakin patah hati.

Tidak seperti Galih yang merasa bahwa hal-hal apapun yang mereka miliki belum seharusnya selesai, Ratna merasa bahwa empat bulan lalu, segalanya tentang tiga tahun kebersamaan yang mereka punya, sudah berakhir. Dan Ratna kekeuh soal itu. Entah Galih menutupi kesedihannya dengan tetep ketawa-ketiwi di depan gue, atau memang gak ngeh aja bahwa Ratna saat ini sudah gak bisa diraih lagi, Galih tetep berharap banyak. Dan, tetap yakin bahwa keputusannya untuk memupuk dan menumbuhkan harapan adalah keputusan yang tepat.

Kalau aja dengan ceplokin telor ke jidatnya Galih bisa munculin hologram bertuliskan “MOVE ON, GALIH!”, gue udah borong semua telor di Indomaret deket sini (sayangnya, mas-mas Indomaretnya gak terima kartu debit ataupun kredit karena mesinnya lagi rusak dan gue gak bawa cash banyak cuma buat beli telor segitu banyak). Tapi, ya Tuhan, Galih. Move on boleh kali.

Gue memang bukan yang paling jago urusan me-move-on-kan diri sendiri. Banyak hal juga yang sebetulnya tidak baik buat gue, tapi sulit gue lepaskan. Gue sulit berhenti merokok yang dulu pernah merebut kehidupan kakek gue. Gue sulit lepas dari kekuatiran berlebihan yang menghalangi gue keluar rumah tanpa eyeliner dan eyeshadow di atas mata gue yang monolid ini, walaupun untuk pake barang kampret itu gue harus menghabiskan minimal dua puluh menit setiap hari. Gue sulit menghilangkan kebiasaan cemas dan panik ketika ada gangguan terhadap jadwal gue walaupun gangguannya paling cuma beberapa menit, paling lama beberapa jam. Gue sulit menentukan barang mana yang mau dibuang ketika tiba harinya bersihin kamar dengan alasan klise “mungkin nanti bakal dipake lagi”, padahal barang-barang sampah yang macem demikian semakin numpuk bertahun-tahun. Itu. Hal-hal itu mengikat gue sampai sekarang. Tapi, semakin bertambah usia, gue semakin belajar, bahwa banyak faedahnya ketika gue memutuskan untuk “cut off” hal-hal yang gak lagi berguna buat kehidupan gue; hal-hal yang memberatkan; hal-hal yang menyeret-nyeret hati dan pikiran gue sehingga gue sulit bergerak bebas; hal-hal yang membuat gue merasa tidak merdeka. Dan, gue rasa, Galih perlu tau soal ini.

Ratna udah pergi, Galih. Dan, elo gak tau sampai kapan. Dan, elo gak tau akan balik lagi atau enggak. Dan, elo gak tau hati lo akan luka sedalam apa dan berdarah-darah seberapa, kalau lo tetap berharap banyak di situ. Angkat pantat, beranjak, gerak, Galih. Kehidupan masih menawarkan banyak hal baik buat elo. Banyak hal baik yang bisa dilakukan selain menangisi dengan diam-diam Ratna yang entah bakal hadir lagi di hidup lo atau enggak satu waktu nanti dan tidak sekarang. Gue sadar bahwa move on gak gampang, karena meskipun kedengarannya aneh, rasa sakit itu nagih, dan mungkin (gue dan) elo adalah sedikit di antara sekian manusia yang suka tenggelam di dalam rasa sakit dan hobi banget melukai jiwa sendiri. But that’s no good, Galih. You deserve to be happy. Ya gak sih?

Buat gue, setidaknya sekarang, setelah mengalami beberapa hal dalam hidup (tsah!), move on itu penting. Terutama untuk hal-hal yang membuat hidup gue tidak ke mana-mana. Patut diakui, kadang cuma karena merasa sudah terlanjur tenggelam di dalam rasa sakit dan terlalu nyaman gegoleran di dalam kubangan bernama patah hati, gue merasa bangkit kembali jadi terlalu susah. Sampai gue merasa bahwa “kenyamanan” yang gue rasakan sekarang tidak akan jadi “kenyamanan” yang gue harapkan untuk ada di dalam masa depan gue, di dalam hidup gue pada waktu-waktu mendatang. Entahlah. Gue rasa, Galih betul-betul perlu tau soal ini.


Galih adalah sahabat yang sangat baik dan penyayang buat gue. Meskipun tampangnya kayak Chuck Norris blasteran Hongkong, hatinya adalah Hello Kitty asli Indonesia dengan keramahan khas Priangan. Oleh karena itu, gue hanya berharap tahap kehidupan dia yang ini, yang pahit dan kampret ini, adalah cuma sekadar waktu buat Galih merasakan yang sama seperti gue. Bahwa, akhirnya Galih bisa liburan lagi walaupun mungkin cuma sebentar (atau lama, entah). Liburan dari segala capek-capeknya dan tai-tainya jatuh cinta. Bahwa, akhirnya Galih bisa senggang dan lepas dari yang tegang-tegang lagi, setelah sebelum putus kemarin, Galih dihantui dan bahkan dikejar-kejar oleh perasaan takut kehilangan (walaupun akhirnya jadi kehilangan beneran).

Gue hanya berharap, secantik kembang padma yang sedang banyak mekar di puncak Ciumbuleuit malem ini, hidup Galih juga semakin mekar dan bertumbuhkan ribuan mahkota. Lahir dari air kehidupan yang berlumpur-lumpur masalah, kemudian berjuang melipat-lipat dirinya, berubah bentuk menjadi bunga cantik yang makin kuat. Makin kuat. Makin kuat. Dan, makin kuat. Supaya kemudian, kebijaksanaan lahir dari pusatnya.

Teman Baru Yang Aneh Bernama Kaje

Gue mengimani “Tak Kenal Maka Tak Sayang” karena inilah yang terjadi kepada gue baru saja. Ini soal teman baru gue yang bernama Kaje. Namanya aneh memang, ya udahlah, orangnya juga kok. Jadi, namanya dan kepribadiannya, memang cocok. Kami berkenalan lewat surat elektronik karena satu pekerjaan yang mungkin akan dikerjakan bersama. Itu. Lalu berlanjut melalui messenger. Belum ada keanehan apa-apa sih dari perkenalan dan obrolan-obrolan awal. Iya. Rasanya sih belum. Sampai kemudian kami janjian untuk ketemuan di satu studio di bilangan Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Sebelum gue bercerita panjang lebar, mungkin ada baiknya gue memperkenalkan lo dengan Si Kaje. Karena kalau gak kenal, gak bakal sayang, bukan? Baiklah. Si Kaje adalah pria Ambon-Kediri, dan dikenal sebagai rapper, seniman kata-kata, seniman ritme. Beliau ini Aries tulen, lahir 8 April 1980. Si Kaje ini punya banyak banget penggemar. Gila-gilaan. Jelas aja. Tampangnya ganteng, badannya tegap calon bikin lo klepek-klepek dan minta dilindungin banget, wawasannya luas, plus ngobrolnya asik. Kebayang? Okay.

sikaje

Jalanan macet parah hari itu dan gue harus menghabiskan kurang lebih dua jam perjalanan dari Karawaci ke Tanah Abang. Gila. Durasi perjalanan ke Tanah Abang udah hampir sama kayak ke Bandung. Alhasil, gue telat sejam dari waktu yang ditentukan. Sesampainya di tempat pertemuan, pas banget Kaje telepon gue. Gue meminta maaf sebesar-besarnya dan untung (kedengarannya di telepon) Kaje gak marah, malah langsung ngajak makan di salah satu kedai di sekitaran studio. Gue bergegas menuju tempat yang dimaksud.

Kita ketemuan akhirnya. Kaje gayanya santai banget. Basic tee. Celana training. Sneakers. Topi khas berjahit simbol +62. Ransel. Semua dalam nuansa abu-abu hitam. Semuanya santai dan asik banget. Kecuali, satu hal. Keanehan pertama. Gerak-geriknya sangat buru-buru. Maka, melihat itu, gue langsung meminta maaf lagi karena gue sejujurnya takut telatnya gue membawa bencana buat jadwalnya Kaje. Ternyata, Kaje pun baru banget kelar latihan yang juga ngaret, dan keterburuannya cuma karena laper aja kepingin makan. Okay.

Gue dan Kaje sama-sama gak makan nasi, akhirnya kita cuma pesan semacam cemilan tiga porsi berisi sayuran, telur, dan tahu yang dimakan berdua sambil bercakap-cakap. Buat ukuran cemilan doang dan buat ukuran sesi ngobrol dengan orang yang baru dikenal, banyak ya. Tapi, ternyata pertemuan yang gue pikir gak bakalan lebih dari setengah atau satu jam, akhirnya berlangsung selama lima jam. Lima jam. Banyak hal yang kita omongin. Mulai dari ngomongin kerjaan, hobi nulis, sampai cita-cita. Banyak dan kalau gue tulis semua di sini, entah bisa berapa halaman. Nanti lah, dalam post yang lain, dan terutama kalau ada kesempatan ketemu Kaje lagi, bakal gue ceritain hal-hal yang menarik tentang obrolan gue bersama Kaje (karena gue yakin akan selalu ada cerita menyenangkan untuk ditulis kalau udah bicara soal Kaje). Namun, sepanjang percakapan berdurasi kalau-ditambah-sejam-lagi-setara-dengan-gue-ngetake-vocal-satu-lagu-plus-ngetake-backing-vocal-sebanyak-empat-puluh-delapan-track-untuk-lagu-yang-sama-udah-termasuk-dibalance-untuk-kemudian-dibounce-bawa-pulang-lalu-dipelajarin-untuk-direvisi-lagi-minggu-depan-cape-banget-serius (jadicurhatkan!) itu, gue memerhatikan keanehan lainnya dari Kaje.

Keanehan kedua. Si Kaje ini, idenya banyak banget. Lagi-lagi, gila-gilaan. Obrolan kita tentang satu ide bakal melahirkan ide-ide lain dan begitu terus. Mengutip pernyataannya Kaka Slank soal Kaje, “Nih anak, dari air mukanya aja, ini (anak) smart boy.” dan emang bener. Melalui Kaje dan gak butuh waktu banyak, satu ide bisa beranak cucu dan bertambah banyak dan memenuhi bumi. Okay.

Ternyata, semakin larut hari itu, keanehan demi keanehan malah semakin bermunculan. Ketiga. Soal Kaje yang gak pernah nangis sejak 19 tahun sampe sekarang usianya 35 tahun. Keempat. Soal Kaje yang katanya waktu kecil belajar bahasa Inggris cuma dari nonton acara anak-anak dan acara musik di TV tapi ya kok jago banget dan fluent banget. Kelima. Soal Kaje yang kadang-kadang sikapnya nyebelin dan kelihatan sombong, tapi bisa juga super-ramah dan tebar-tebar senyum ke-tora-sudiro-annya itu. Keenam. Terlanjur udah kesebut soal senyumnya yang mirip senyum Tora Sudiro, keanehan terakhir ini adalah soal Kaje yang mukanya rada mirip Manny Pacquiao. Nah, coba dibayang-bayangin aja, kurang aneh apa kalau gue sebut dalam diri satu orang ada sebagian Tora Sudiro dan sebagian Manny Pacquiao di situ. Aneh kan.

sikaje

Ah. Tadinya gue buka laptop, niatnya mau ngeblog serius, eh jadi ngomongin orang. Ngomongin Kaje pula. Ya sudahlah, cukup dulu malam ini. Semoga malam ini, ngomongin orang kali ini, gue gak dosa-dosa amat ya.


ps.

Maaf. Foto Si Kaje di atas gue curi dari sini. Akibat terlalu seru ngobrol, gue lupa foto. Sekali lagi, maaf, saya curi-curi, masnya. Abis fotonya lucu yang ini. Jago deh masnya yang fotoin (Dasar penjilat kamu, Oendari!).

“Didiemin Malah Ngelunjak”

Baru aja gue ngelewatin keset. Terbuat dari koran bekas. Ada tulisannya begini: didiemin makin ngelunjak. Tau lah koran apa kira-kira.


Gue merasa salah satu kalimat yang paling gak masuk di akal di dunia ini adalah: didiemin makin ngelunjak. Kalau ngebayangin kondisinya, kira-kira demikian. Si A merasa si B bertingkah aneh-aneh. Si A gak suka tingkah si B tersebut, tapi diem aja. Terus si B tetep bertingkah serupa. Terus si A jadi kesel. Sementara itu, si B anteng-anteng aja gak tau apa-apa dan merasa gak ada yang salah. Lalu, lahirlah statement dari mulut si A: didiemin makin ngelunjak. Kan bodoh.

Wahai, A.

Pertama. Ya, kalau elo gak mau si B ngelunjak, ya jangan diem aja. Bilangin kek. Cubit keteknya kek. Cabut bulu kakinya kek. Biar ngeh.

Kedua. Ya, kalau elo udah memilih untuk diem aja, si B ngelunjak adalah sebuah risiko. Jadi, sebetulnya kalimat itu adalah sebuah kesia-siaan karena elo udah seharusnya tau si B bakal ngelunjak.

Ketiga, kenapa kok kalian namanya cuma satu huruf satu huruf. Irit banget.

20 Menit

Aku selalu tau kalau kamu datang. Hanya dengan merasakan hawa tubuhmu, mendengar derit kayu di bawah langkah kakimu. Iya, aku memang memerhatikan kamu sedari kamu masuk ke kedai. Tanpa perlu memandangi pun, aku bisa. Seperti biasanya.

Aku akan selalu memulai percakapan karena kamu malu-malu.

Adakah yang pernah bilang padamu bahwa kamu punya tulang pipi yang cantik menopang kedua bola matamu yang besar dan jernih. Atau hanya aku? Kalau kubilang demikian, kamu pasti cuma tersenyum. Semakin terlihat belulang yang memikat itu.

Bagaimana di kantor hari ini? Sepertinya kamu sibuk. Tidak biasanya kamu membawa laptopmu yang besar itu. Mungkin sebaiknya kamu mendengarkan saranku untuk membeli peranti yang lebih praktis.

Belakangan ini cuaca tidak tentu. Sebaiknya kamu cukup tidur dan tidak lupa makan yang banyak.

Apa yang kamu pikirkan? Kenapa sering sekali melihat keluar jendela? Ada apa di sana?

Oh iya, sesaat sebelum kamu masuk tadi, ada temanmu yang kerja di departemen keuangan itu, tapi tidak lama. Dia hanya beli kopi susu dan sepotong roti, mungkin untuk makan malam di jalan pulang. Dia pergi naik taksi. Sepertinya buru-buru.

Ah. Kopimu tumpah. Kemejamu jadi bernoda. Sudah, tidak apa-apa, kalau segera direndam ketika pulang nanti, nodanya pasti hilang. Jangan kuatir.

Aku punya ide. Suatu hari nanti kita liburan. Di pinggir pantai. Suara ombak. Teras yang berangin. Langit biru terang. Dan kita berdua duduk lama. Berdua saja. Hmmm. Sebetulnya, aku cuma menebak-nebak. Belakangan ini kamu sering melihat-lihat artikel tentang travelling.

Ah. Kamu sudah berkemas dan harus pergi. Aku memerhatikan kamu sejak tadi, sedari kamu masuk ke kedai. Tanpa perlu memandangi pun, aku bisa. Seperti biasanya. Setiap hari. Selama 20 menit. Setiap hari. Dan, setelahnya aku cuma akan tertinggal dengan berandai-andai.

Seandainya aku punya sedikit saja nyali untuk berkenalan dengan kamu.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Pagi Pada Lubuk Fatmawati

5:55 / Sapu lidi mendesis di antara batu-batu dan aspal yang sendu. Cemara yang tirus itu seperti menangis pelan-pelan, apalah sebabnya. Dedaun rela mengayun. Karat di bilah-bilah teralis jendela berkarib dengan dua burung biru. Ini pagi yang lembap. Ini pagi pada lubuk Fatmawati.

Mengapa aku masih hidup. Itu pertanyaan rutin yang biasa aku sampaikan selepas bangun pagi. Kepada siapa, entah. Mungkin kepada lusinan pigura yang memagari kenangan kita. Mungkin kepada sepasang lampu hias kesukaanmu di samping dipan. Mungkin kepada perkakas masak yang sudah tidak lagi terpakai. Atau mungkin kepada dua burung gereja yang beriap-riap di atap. Tanpa jawaban.

Bau pucuk melati dan uap teh hangat selalu membentuk kepul-kepul yang beraroma tubuhmu. Setelah teh manis ini, apabila sudah tidak gerimis, aku akan menyapu halaman. Pagi ini sepi, langit seperti mati. Mendung menggelantung. Abu-abu.

Anak-anak kecil lahir ke dunia dan semakin banyak. Karyawan bank yang tinggal di ujung jalan sana, anak keduanya sudah lahir. Kemarin, mereka baru saja merayakan sebulanannya. Istrinya mengantar nasi kuning dengan rendang dan seloyang kue cokelat. Semoga si anak pertama, bocah yang adatnya buruk itu, semoga saja tidak mendengki pada adiknya.

Sementara, yang mati pun juga bertambah. Salah satu tetangga kita mati dan anak-anak mereka akan menjual rumahnya. Kalau tidak salah, kepada pasangan muda yang akan membongkar total rumah tua itu. Berarti, jika tidak salah ingat, tersisa rumah kita saja yang setia kepada jaman. Aku bangga pada kayu yang mengisi kusen pintu, ambang jendela, dan seisi rumah kayu kita –– bilah-bilah hidup yang selalu menyimpan ingatan-ingatan dari yang hidup –– ketimbang pelat-pelat celup yang dingin. Bagiku tidak terasa seperti rumah. Semoga anak-anak kita tidak sembrono.

Bunga-bunga mulai ada lagi. Seperti kertas warna-warni. Aku lelah dan merasa malas menyiram bunga. Untunglah musim hujan sudah tiba kembali.

Beras tinggal sedikit. Mungkin, hari ini aku harus ke pasar. Mungkin, aku juga akan membeli buah dan sayur. Aku susah buang air belakangan ini. Aku akan berjalan kaki ke sana, karena terakhir kali membayar ojek, uang kembalianku dibawa kabur tiga puluh ribu. Betapa hidup di Jakarta sungguh mahal.

Aku rindu semur sapi yang harum dengan daging sengkel yang empuk. Hanya kamu yang bisa memasak dengan sempurna. Kolesterolku memang tidak bertambah baik, namun aku rindu sekali masakanmu. Dan, karena kamu, aku bisa bedakan sapi yang diolah betul dan yang tidak. Dan, aku paham benar, selera bukan hanya tergugah karena bumbu-bumbu dan gajih. Tidak, bukan hanya itu. Kamu pun paham.

Enam tiga puluh. Aku harus bergegas mandi dan ke pasar.


Kemarin, tersiar kabar bahwa Kakek Fatmawati – begitu waga setempat menyebutnya – meninggal karena jatuh di kamar mandi. Jenazahnya ditemukan kurang lebih sehari setelah perkiraan waktu kematian. Kepergian Kakek Fatmawati menyusul mendiang istrinya, Nenek Fatmawati, yang telah mendahuluinya beberapa tahun silam.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Kakek

Aku teringat Kakek.

Penampilan Kakek selalu sederhana. Kemeja tangan pendek, celana agak kedodoran yang buatnya nyaman dipakai, tidak lupa ikat pinggang cokelat muda yang selalu memeluk tubuh tegapnya yang menua. Kakek selalu mengenakan sendal dengan sedikit serpihan tanah dan debu di kakinya, dan jam kulit tua menggelang di tangannya.

Kami bertemu setiap Sabtu sore. Di kedai yang sama. Pesan hidangan yang itu-itu juga. Dan duduk di sudut favoritnya: di sofa merah darah dekat cermin yang bersebelahan dengan jendela tua berukuran besar mengarah ke langit.

Tidak banyak yang kami kerjakan di kedai. Biasanya, ritual Sabtu kami dimulai dengan Aku yang tiba lebih dahulu dan memesankan makanan, kemudian Kakek yang datang belakangan langsung mengambil bacaan, lalu masing-masing membaca koran akhir pekan selama setengah jam sebelum menyantap hidangan yang sudah agak dingin sambil membicarakan hal-hal yang baru kami baca. Ini bisa saja soal macam-macam dan selalu berakhir ngalor-ngidul. Namun, justru bagian yang ngalor-ngidul ini yang menarik, karena biasanya berujung soal keluarga.

Soal-soal keluarga, baik yang baik ataupun yang buruk, yang berupa fakta ataupun gosip, selalu membuat obrolan kami tenang dan hangat, bahkan sampai bikin kami lupa sedang berada di tempat umum. Kalau sudah puas ngobrol, Kakek selalu ketiduran. Dia selalu ketiduran (atau memilih tempat duduk di sudut berangin di depan jendela ini memang bagian dari rencananya untuk tidur di situ, entahlah) sambil bertopang dagu di tangan kanan yang digelantungi jam, diiringi bunyi detiknya yang seperti air mengalir. Kakek tertidur, dan aku selalu terlena memerhatikannya. Serasa kembali ke masa kecil. Serasa kembali jadi cucu kesayangannya yang masih bocah.


Dulu sekali, Kakek sering tertidur saat menjagai Aku bermain. Di kursi kayunya yang mungkin setua usianya, Kakek selalu ketiduran. Namun, bukanlah Kakek kalau tak sigap, mungkin karena dia seorang pensiunan prajurit yang serba siap. Kakek pasti terbangun begitu ada suara keras, takut kalau-kalau Aku jatuh atau cidera. Iya, Kakek selalu terbangun walau cuma mengintip lewat sudut matanya. Dan, dulu, ini sungguh hiburan yang menyenangkan buatku setiap sore. Sengaja membuat suara-suara keras supaya bisa ngebangunin Kakek hanya demi memastikan bahwa Kakek pasti menjagai Aku.

Kamu tau, dan kurasa semua orang yang pernah punya masa kecil pun tau, bahwa sesungguhnya waktulah yang paling lekas “mendewasakan” manusia. Setidaknya kurasa demikian. Setelah menjalani beberapa masa di dalam hidupku, Aku bukan lagi cucu kecilnya yang dijagai tiap sore. Aku tidak lagi tinggal dengan Kakek. Ritual tiap sore di teras rumah, akhirnya hanya tergantikan dengan ritual seminggu sekali setiap akhir pekan di kopitiam langganan. Atas nama kesibukan. Iya, Aku sibuk berkehidupan, dan Kakek pun sibuk menua.


Saat ini, di sini, Aku teringat Kakek. Aku merindukan Kakek, si pensiunan prajurit yang sering ketiduran. Rindu sekali padanya.

Hari ini, penampilannya tidak sesederhana biasa. Sebagai ganti kostum santainya, Kakek gagah sekali dengan setelan hitam-hitam, plus kemeja abu-abu dan dasi yang sungguh bergaya. Hari ini, Kakek tidak pakai sendal. Kakek pakai pantofel paling maskulin dan paling mengilap. Kakek tertidur, tapi kali ini bukan di teras rumah ataupun di kedai langganan. Tidak juga dengan pose andalannya. Kali ini, Kakek tertidur dengan rapi di peti pribadinya, di hadapan puluhan jemaat, sebilah salib, dua batang lilin di atas meja, harumnya karangan bunga, dan seorang pendeta botak.

Biasanya Kakek tertidur dengan diiringi bunyi detik-detik waktu yang seperti air mengalir, bunyi dari jam kulit tua yang kini menggelang di tanganku. Namun, saat ini, bunyi kuartet alat musik gesek yang sedang mengalun memainkan sebuah himne tradisional yang judulnya saja aku lupa, bagiku terdengar seperti ombak yang bergulung ringan membawa Kakek ke tengah pusaran sumber kehidupan, jauh di sana, entah di mana.

Aku sudah mencoba berbagai cara: menjatuhkan kunci mobil, menyenggol kaki kursi, menjejakkan hak sepatu, sampai batuk keras-keras. Seperti biasa, seharusnya Kakek pasti tau kalau Akulah yang sengaja membuat suara-suara ketika Kakek sedang lelap sore-sore seperti ini. Akan tetapi, Aku tidak bisa terlalu berisik di sini karena ibadah kedukaan masih berlangsung. Padahal, Aku sungguh mengharap-harap, kapan Kakek akan mengintip kecil dari sudut matanya, sebelum Kakek kembali kepada bumi, besok pagi.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.