sekumpulan cerita dari seorang enci-enci tongkrongan. kadang romantis, kadang tragis. sesekali miris, atau bikin nangis. kadang bermanfaat, tapi sering juga unfaedah, tapi yah yaudahlah.
Category: Surat Penggemar
Semacam surat penggemar dari fans kepada idola atau karya-karya, meski tidak jarang bentuknya bukan surat pada umumnya. Kadang, menyamar jadi curhat, cerpen, atau bahkan sebentuk karya baru.
Barisan lirik pembuka Bunga Maaf berkumandang di corong headphone. Saya mewek. The Lantis memang keterlaluan. Tembang viral mereka diawali dengan sebuah pertanyaan yang sulit dijawab.
Bunga Maaf dirilis 15 November 2024. Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya lagu ini jadi viral dan muncul di mana-mana. Ini sesuai tebakan Iponk, jauh sebelum lagunya rilis.
Beberapa bulan lalu, pada satu hari yang acak, satu mixing inquiry masuk dari Warner Music Indonesia. Satu lagu berjudul Bunga Maaf dari sebuah band yang, pada saat itu, namanya masih asing di telinga Saya. Seperti biasa, begitu ada inquiry masuk dan datanya siap untuk dikerjakan, Iponk akan bergegas masuk studio dan gak keluar selama berjam-jam.
Setelah sekian lama kenal Iponk, Saya semakin paham bahwa jam-jam mixing adalah jam-jam yang sangat spiritual buat Iponk. Ada beberapa kesempatan di mana dia pingin ditemenin ketika mixing. Namun, yang kali ini enggak. Oke, mungkin dia memang lagi pingin sendiri aja kali. Itu sebabnya, sebisa mungkin Saya enggak ganggu atau menginterupsi barang sedikit juga.
Setelah beberapa jam berlalu, Saya yang sedang santai laptop-an di lantai satu dikagetkan dengan langkah kaki Iponk menuruni tangga. “Ini lagu keren banget. Kamu harus denger!” Dia turun dengan membawa first mix preview Bunga Maaf.
Duh, walaupun seringkali penasaran sama apa yang dikerjakan Iponk, Saya selalu merasa ada sedikit perasaan bersalah kalau dengerin lagu yang belum rilis. Rasanya seperti mencuri dengar, dan tentu mencuri terasa seperti tindakan ilegal.
Saya pun tau Iponk bukan orang yang sembarang kasih dengar kerjaannya ke sembarang orang. Ini hanya terjadi pada lagu-lagu tertentu. Jadi, ketika kesempatan seperti ini muncul, hati Saya jadi berdebar. This must be something really-really-really good.
Begitulah, Saya terdiam mendengarkan first mix preview Bunga Maaf dalam sekali putar. Mungkinkah Iponk ngerasa lagu ini keren karena progresi chordnya mirip banget sama lagu rahasia yang pernah dibikinnya? Tentu Saya gak bisa spill apa-apa tentang lagu tersebut. Namun, Saya pikir, sebabnya terkait dengan itu. Eh, ternyata, enggak juga. Tepatnya, gak cuma perkara itu.
“Liriknya juga keren banget,” komentar semacam ini keluar dari mulut seorang Ivan Iponk? Jarang banget. Ketimbang Iponk, Saya-lah yang lebih sering tersentuh dan terenyuh ketika mendengarkan lirik lagu. So, I guess it’s safe to say, that this one, is indeed really-really-really good. “Pasti bakal hits,” begitu kata Iponk.
Dan, benar adanya, sesuai tebakan Iponk. Tidak lama kemudian, Bunga Maaf jadi demikian populer. Mekar dan semerbak di telinga para pendengarnya, termasuk Saya.
Saya menuliskan ini pada sebuah minggu pagi yang sayup, setelah menghabiskan kopi hitam, dan setelah buang ingus bertubi-tubi akibat mewek yang tidak terduga selama mendengarkan Bunga Maaf terus-menerus. Candu. Pedih tapi nagih. Jahat tapi enak. The Lantis memang keterlaluan.
Iseng, Saya view song credits lagu ini di Spotify. Total ada empat nama di deretan penulis dan produser, yaitu Giri Virandi, Muhammad Rifzki Dzaky Fauzan, Ravi Rinaldy, dan Rendy Pandugo.
Dengan hidung yang agak mampet dan kedua mata yang agak bengkak, Saya bergumam, “Anjirlah, pingin banget ngobrol sama empat orang ini,” sebuah doa yang sangat casual kepada Semesta. Saya berharap semoga suatu saat ada sebuah kesempatan di mana Saya bisa ngobrol langsung dengan nama-nama tersebut, berterima kasih atas lahirnya Bunga Maaf, dan mengungkapkan kekaguman Saya atas lagu tersebut.
Apakah Semesta akan merestui? Entahlah. Namun, paling tidak, sementara ini, Saya cukup bersyukur bisa mendengarkan sebebasnya setelah lagu ini rilis. Tidak lagi perlu curi-curi, Saya menikmati Bunga Maaf mekar dan semerbak di hati.
Agustin Oendari adalah seorang penulis lagu dan penyanyi yang mengawali karier pada 2014 dengan menulis dan menyanyikan lagu Selamat Pagi Malam untuk film berjudul sama karya sutradara Lucky Kuswandi. Lagu tersebutlah yang pertama kali mempertemukan Oendari dengan pendengar setia yang terus mendukungnya hingga melalui beberapa rilisan untuk film-film lain, seperti Galih & Ratna, satu lagi karya sutradara Lucky Kuswandi, dan Susah Sinyal, karya sutradara Ernest Prakasa.
Rilisan-rilisan Oendari yang lain pun telah mendapat perhatian khusus dari berbagai streaming platform dan media, antara lain: LHSW yang sempat menjadi bagian dari banner utama aplikasi JOOX pada masa rilisnya dan juga disiarkan di berbagai media musik ternama, seperti Billboard Indonesia dan Pophariini; Bend Down dan Selamat Pagi Malam yang berada di deretan nominasi AMI Awards ke-22; dan beberapa lagu dalam album soundtrack Galih & Ratna yang mendapatkan kesempatan spesial JOOX Concert Galih & Ratna tahun 2017, seperti Hampir Sempurna, yang ditampilkan oleh Rendy Pandugo, Song Of Goodbye, yang ditampilkan oleh Ivan Gojaya yang juga adalah produser dari hampir seluruh karya Oendari, dan lagu-lagu lain yang ditampilkan oleh Oendari, seperti Nyatanya Sementara, Dari Rindu Kepada Rindu.
Selain terlibat dalam berbagai karya kolaboratif sebagai penyanyi atau penulis lagu, Oendari juga sempat berkiprah sebagai vocal director, bekerja bersama musisi dan produser ternama, antara lain Titiek Puspa, Dutacinta, Momo Geisha, Sheryl Sheinafia, dan Steve Lillywhite. Keterlibatan Oendari sebagai vocal director juga terdapat pada lagu Lathi (Weird Genius ft. Sara Fajira), Dunia (Mytha Lestari), A Million Stars (Album Kolaborasi Rising Stars), dan masih banyak lagi. Tahun 2021, Oendari dengan merilis album dari keterlibatannya di dalam sebuah film berjudul Akhirat: A Love Story.
kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?
Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.
“Tuhan, aku penasaran. Siapakah yang memilih bayi mana akan lahir dari rahim siapa?”
Pada sebuah hari yang acak, adalah seorang Anak.
Usianya delapan dan isi kepalanya penuh rasa penasaran.
Si Anak memandangi panci besar di atas tungku. Dari permukaan yang beriak-riak itu, meruap aroma lezat memenuhi ruangan. Si Anak dan perutnya yang lapar sudah tak sabar. Entah mungkin perut yang lapar mampu menciptakan nyali yang besar, Si Anak memberanikan dirinya menggenggam irus baja yang bahkan lebih panjang daripada lengannya. Dengan susah payah, diupayakannya menyendok didihan kaldu. Berat, tapi terlihat nikmat. Sepertinya tidak apa-apa, begitu pikirnya.
Setengah jalan kuah kaldu yang pekat itu menuju bibirnya, suara Sang Ibu terdengar memanggil namanya. Nyalinya tiba-tiba menciut. Begitu pula otot-otot lengan yang sedari tadi dikencangkannya, seketika kisut. Irus baja itu lepas dari genggaman. Sialnya, setengah panci tergolak karena tersangkut, tersenggol, goyah, tumpah karena kepanikannya. Masakan Ibu hancur. Kabur, begitu pikirnya.
Suara Sang Ibu mendekat. Si Anak berlari menjauh. Keluar menuju hutan belakang rumah. Sekencangnya Ia berlari, mencoba mencari tempat bersembunyi, sambil sesekali melihat ke belakang. Dari balik kisi-kisi jendela dapur, Si Anak sekilas melihatnya: tatap mata itu, tatap tajam Ibu sedang menusuk jantungnya saat ini. Si Anak takut sekali dimarahi. Lari, lari, lari, begitu pikirnya.
Kaki-kaki kecil itu melangkah tidak tentu arah. Tanpa disadarinya, seonggok batu kecil menghadang, Si Anak terantuk dan terjatuh tepat di lututnya. Gores-goresan di kulitnya perlahan berubah menjadi putih pucat. Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya darah segar merembes dari balik jaringan sobek itu. Sungguh malang, Si Anak yang belum pernah merasakan luka yang seperti itu, kini merinding ketakutan dan mulai menangis.
Sang Ibu datang dengan tenang. Menghampirinya tanpa kata, hanya dengan tatap mata tajam itu. Si Anak memberanikan diri melihat wajah Sang Ibu. Aneh sekali, tatap mata tajam yang tadinya dirasa menghunus, kini serasa menyejukkan hati. Setengah takut dimarahi, setengah lagi tenang karena kehadiran Sang Ibu. Lidahnya kelu, hanya satu kata yang keluar dari mulut Si Anak. Pelan, hampir tak terdengar, “Mah.”
“Biar Mamah basuh, nanti juga sembuh. Sekarang ayo makan. Pulanglah, Nak,” damai sekali hati Si Anak mendengarnya.
Sang Ibu menuntun Si Anak yang masih terisak tapi gengsi. Sesampainya di rumah, Sang Ibu membasuh luka dengan kasih sayangnya. Si Anak makan dengan lahapnya. Perih luka itu seperti berlalu dari pikirannya. Masakan Ibu memang tidak pernah mengecewakan, “Ah, hidupku indah sekali karena Mamah,” begitu pikirnya.
Pada suapan terakhir Si Anak, Sang Ibu bicara, “Ingat ya. Tidak perlu lari. Tidak perlu sembunyi. Ingat itu,” yang dijawab dengan anggukan Si Anak. Nasihat Sang Ibu akan teguh dan membeku di hatinya, begitu pikirnya.
Waktu terus bergulir. Hidup terus mengalir. Dan, beberapa ingatan manusia ternyata mudah luntur dan mencair.
Pada sebuah hari lain yang juga acak, Si Anak telah jadi pemuda yang tegap dan tampan.
Isi kepalanya masih penuh rasa penasaran, meskipun kini ditambah dengan berbagai pemberontakan.
Banyak hal berubah sejak Si Anak dan Sang Ibu semakin sering terlibat dalam satu demi satu perselisihan. Dan, tibalah malam itu, salah satu malam paling gulita. Adu mulut antara Si Anak dengan Sang Ibu begitu sengit. Makan malam yang disajikan Sang Ibu untuk Si Anak belum disentuh sama sekali, mendingin seraya jadi saksi pertengkaran keduanya.
Perkara pilihan hidup. Si Anak merasa berhak untuk menjelajah berbagai pilihan, tanpa menyadari bahwa Sang Ibu memberi arah atas dasar pengalaman. Jangankan teguh dan membeku di hati, nasihat-nasihat Sang Ibu kini tidak lagi terserap ke dalam pikiran Si Anak. Kebebasan, hanya itu yang diinginkannya.
Sang Ibu, yang telah ditempa oleh kerasnya kehidupan, sudah tau bahwa sekeras-kerasnya seonggok batu, tetesan air yang lembut pada akhirnya akan mampu melunakkannya. Maka, malam itu Sang Ibu berusaha sebisanya mempertahankan kelembutan ketika menghadapi Si Anak. Sebaliknya, kata-kata serampangan keluar dari mulut Si Anak. Asumsi menggila. Tajam, diikuti luka-luka dalam hati Sang Ibu. Menyakitkan. Sementara, Sang Ibu terus sabar. Si Anak, yang sedang berapi-api, justru semakin terbakar dengan sikap Sang Ibu, yang seakan tidak menganggap penting segala perlawanan yang dilakukannya.
Pada momen darahnya mencapai titik didih, Si Anak melayangkan tinju sekuat tenaga. Saklar lampu ruang makan yang tidak berdaya itu jadi sasaran kemudian merangsek ke dalam tembok. Seketika ruang makan gelap gulita. Sang Anak pergi, keluar dari rumah yang telah memelihara dan menumbuhkannya dengan urapan kasih sayang Sang Ibu. Akhirnya, kebebasan ada dalam genggaman, begitu pikirnya.
Di dalam gulita, Sang Ibu hanya diam tanpa suara. Dilepaskannya Si Anak pergi dengan segala api yang berkobar di dalam hatinya. Mungkin ini hanyalah masa kehidupan yang serupa terulang kembali meski keadaanya tak sama, di mana Si Anak berlari ke hutan, mencari persembunyian; di mana kemudian di tengah langkahnya, ia akan terjatuh dan memutuskan pulang. Mungkin inilah daur hidup yang mesti berputar, begitu pikir Sang Ibu.
Waktu terus bergulir. Hidup terus mengalir. Que sera sera, begitu kata pepatah lama.
Pada hari lain yang tentunya juga acak, Si Anak telah beranjak dewasa.
Entah sudah berapa tahun sejak Si Anak pergi dari rumah. Tidak pernah berhenti penasaran, namun kali ini kepalanya lebih banyak diisi dengan kebingungan.
Tahun-tahun kebebasan telah diraihnya. Api besar yang berkobar itu pun terus menemaninya. Telah semakin banyak kisah kehidupan tercipta di sepanjang langkah-langkahnya. Si Anak sudah mulai mengenal cinta dan membangun mimpi-mimpinya. Siang dan malam seperti tak ada batas, menemukan cinta membuatnya serasa menari-nari sampai tua.
Tak cuma cinta, tetapi juga cita-cita. Ternyata dunia seluas itu, memancar dalam rupa pemandangan yang indah-indah di sepanjang langkah-langkahnya. Sepasti langit yang luas, sedalam samudera paling misterius, dan selapang cakrawala semesta, begitu juga cita-cita terkembang di dalam hatinya. Si Anak berlari, berlari, berlari, berupaya mengejar hingga ke ujung-ujungnya.
Yang tidak pernah disangkanya adalah bencana-bencana datang di luar rencana. Kadangkala cinta tak segemas dan seromantis di film-film. Begitu pula dalam dunia yang luas ini, tidak cuma terkandung yang indah-indah saja, cita-cita bisa jadi sia-sia. Belantara kehidupan ternyata bisa sedemikian penuh dengan tipu muslihat anjing-anjing liar yang menyamarkan pilihan-pilihan kelam agar terlihat seperti kenikmatan yang benderang. Inikah harga dari kebebasan? Kebingungan mulai menggerogoti hatinya. Tangannya, oh, telah kotor.
Ketika Si Anak berada pada masa tergelapnya, kenangan-kenangan berhamburan. Kuah kaldu yang pekat dan harum itu. Irus baja yang panjang dan berat. Hutan belakang rumah. Batu yang membuatnya terantuk. Darah yang merembes di lututnya. Dan, sebuah suara pelan di hatinya, yang hampir tak terdengar, seperti dulu pernah keluar dari mulutnya, “Mah.”
Si Anak menangis. Berdoa di hadapan Tuhan-nya. Tumpah ruah segala rupa dari kepalanya: “Tuhan, aku penasaran. Siapakah yang memilih bayi yang mana akan lahir dari rahim siapa? Kalau saja Ibuku bisa memilih, kurasa wajar apabila dia tidak mau aku jadi anaknya.”
Di bawah atap langit yang sungguh terik, Si Anak menghapus air matanya, “Masa mudaku penuh luka, Mah. Tanganku melakukan banyak kesalahan. Aku jauh dari membanggakan.”
Pada masa yang sama, di tempat yang jauh, ternyata seorang Ibu pun sedang menangis. Berdoa di hadapan Tuhan-nya. Doanya sungguh sederhana: “Biarkan Tuhan memegang tanganmu. Pulanglah, Nak.”
Waktu terus bergulir. Hidup terus mengalir. Menakjubkan bagaimana ingatan manusia bisa kembali muncul ke permukaan pada saat-saat yang tak terduga.
Lagi-lagi pada hari yang acak, Si Anak mulai mencari-cari makna dari menjadi manusia.
Rasa penasaran kini mengarahkan pemahamannya, bahwa sepertinya menjadi dewasa ternyata bukan perkara kebebasan, bukan lagi soal api yang berkobar-kobar.
Cinta dan cita-cita, entah sudah berapa lama ditinggalkannya. Kini, Si Anak tidak punya apa-apa selain kesendirian. Sama seperti kaki-kaki kecil yang dulu pernah melangkah tidak tentu arah, Si Anak berlari-lari mencari tempat bersembunyi. Namun, kali ini, ia bukanlah dikejar oleh ketakutan dan tatap mata tajam seorang Ibu yang seakan menusuk jantungnya, melainkan dikejar oleh sesosok hantu: keraguan.
Apakah ia masih berharga? Apakah ia masih punya nilai? Apa gunanya di dunia? Begitu pikirnya.
Ya, Si Anak dihantui keraguan, walau pernah merasa benar dalam menentukan berbagai pilihan. Kini, rasa bersalah menggerogoti hatinya. Ia terlarut dalam pikiran. Tanpa keyakinan. Sepertinya tidak sanggup lagi untuk melanjutkan. Hatinya penuh kabut dan carut-marut. Pundaknya tidak lagi kuat menahan beban-beban yang tak kasat mata. Sementara itu, pelariannya, tak tau ujungnya ke mana. Apakah hanya menuju kehampaan, begitu pikirnya.
Tidak ada lagi nyala api. Kebebasan tidak lagi penting. Langkahnya, oh, telah gontai.
Si Anak kembali berada pada masa tergelapnya, kenangan-kenangan berhamburan. Masakan Sang Ibu yang teronggok dingin di atas meja makan malam itu. Pertengkaran sengit. Luapan amarah. Cengkeraman tinju. Dan, saklar yang merangsek ke dalam tembok.
Si Anak kembali menangis. Berdoa di hadapan Tuhan-nya. Tumpah ruah segala rupa dari kepalanya: “Tuhan, aku malu. Segala perlawanan yang kuhantamkan pada nasihat-nasihat Ibuku nyatanya sia-sia.”
Di bawah atap langit yang sungguh terik, Si Anak menghapus air matanya, “Masa mudaku penuh luka, Mah. Dan, pundakku penuh memar tertimpa segala beban. Hatiku apalagi, bentuknya sudah tak karuan.”
Pada masa yang sama, di tempat yang jauh, ternyata seorang Ibu pun sedang menangis. Berdoa di hadapan Tuhan-nya. Doanya sungguh sederhana: “Biarkan Tuhan mengangkat bebanmu. Pulanglah, Nak.”
Waktu terus bergulir. Hidup terus mengalir. Kadang kita bisa dibuat kagum dengan bagaimana cara Semesta menjawab doa-doa.
Pada hari yang acak yang telah ditentukan Semesta, Si Anak terdiam.
Ia tenggelam di dalam gaung kepedihan, terendam di dalam gaung kesedihan. Raganya seperti telah kehilangan nyawa. Bersandar pada siapa. Menangis lupa caranya. Semua ini untuk apa. Lelah demikian jelas terasa. Bertahun terus terluka. Kuatku ada batasnya, begitu pikirnya.
Dengan segala sisa daya yang dimilikinya, Si Anak mencoba kembali melangkah. Si Anak memutuskan hanya ada satu jalan untuk meneruskan daur hidupnya: pulang.
Rumah tua yang bijaksana itu masih tegak berdiri di sana. Di dalamnya tidak lagi ada aroma kuah kaldu, hanya tinggal aroma kenangan yang menguar ke segala arah. Saklar yang merangsek ke dalam tembok itu ternyata tidak pernah diperbaiki. Bukan lagi hidangan makan malam yang mendingin yang terhampar di meja, kini hanya setumpuk barang-barang bekas yang telah berdebu. Di antaranya tergolek lemas irus baja kuno yang tidak lagi menjalankan tugasnya. Dapur telah sepi. Tungku-tungku sepertinya telah lama padam.
Hutan itu masih sama, terlihat dari balik jendela. Namun, tidak ada lagi anak kecil yang berlari ketakutan mencari persembunyian. Dan, tidak ada lagi tatap tajam seorang Ibu yang dulu pernah menyejukkan hati.
“Mah, … kini aku sudah di rumah. Namun, engkau telah lebih dulu pulang.”
Si Anak kembali menangis. Berdoa di hadapan Tuhan-nya. Tumpah ruah segala rupa dari kepalanya: “Masa mudaku penuh luka. Namun, sungguh ajaib kurasa. Selalu saja ada yang memegang tanganku. Yang mengangkat bebanku. Sepertinya Dia juga yang menuntun langkahku kembali ke sini, kepadamu. Pulanglah, Mah, pulanglah dengan tenang.”
Atap langit begitu syahdu pada hari itu. Mendung menggelantung, sunyi mengepung, gerimis menuangkan rasa kabung. Si Anak menghapus air matanya ketika terdengar sebuah guntur yang lembut, seakan berkata kepadanya,
“Tidak perlu lari. Tidak perlu sembunyi.”
Awalnya, ingin kutuliskan Surat Penggemar untuk album ini, salah satu album yang dikerjakan Iponk, yang diam-diam sangat kunikmati sejak proses pembuatannya.
Namun, perasaanku terlalu campur aduk untuk menuliskannya dalam bentuk surat. Maka, kutuangkan langsung kata perkata tanpa tau ujungnya ini akan jadi seperti apa. Dan, beginilah jadinya.
Terima kasihku kepada Kang Donne atas sebuah album yang melahirkan banyak perenungan.
Agustin Oendari adalah seorang penulis lagu dan penyanyi yang mengawali karier pada 2014 dengan menulis dan menyanyikan lagu Selamat Pagi Malam untuk film berjudul sama karya sutradara Lucky Kuswandi. Lagu tersebutlah yang pertama kali mempertemukan Oendari dengan pendengar setia yang terus mendukungnya hingga melalui beberapa rilisan untuk film-film lain, seperti Galih & Ratna, satu lagi karya sutradara Lucky Kuswandi, dan Susah Sinyal, karya sutradara Ernest Prakasa.
Rilisan-rilisan Oendari yang lain pun telah mendapat perhatian khusus dari berbagai streaming platform dan media, antara lain: LHSW yang sempat menjadi bagian dari banner utama aplikasi JOOX pada masa rilisnya dan juga disiarkan di berbagai media musik ternama, seperti Billboard Indonesia dan Pophariini; Bend Down dan Selamat Pagi Malam yang berada di deretan nominasi AMI Awards ke-22; dan beberapa lagu dalam album soundtrack Galih & Ratna yang mendapatkan kesempatan spesial JOOX Concert Galih & Ratna tahun 2017, seperti Hampir Sempurna, yang ditampilkan oleh Rendy Pandugo, Song Of Goodbye, yang ditampilkan oleh Ivan Gojaya yang juga adalah produser dari hampir seluruh karya Oendari, dan lagu-lagu lain yang ditampilkan oleh Oendari, seperti Nyatanya Sementara, Dari Rindu Kepada Rindu.
Selain terlibat dalam berbagai karya kolaboratif sebagai penyanyi atau penulis lagu, Oendari juga sempat berkiprah sebagai vocal director, bekerja bersama musisi dan produser ternama, antara lain Titiek Puspa, Dutacinta, Momo Geisha, Sheryl Sheinafia, dan Steve Lillywhite. Keterlibatan Oendari sebagai vocal director juga terdapat pada lagu Lathi (Weird Genius ft. Sara Fajira), Dunia (Mytha Lestari), A Million Stars (Album Kolaborasi Rising Stars), dan masih banyak lagi. Tahun 2021, Oendari dengan merilis album dari keterlibatannya di dalam sebuah film berjudul Akhirat: A Love Story.
kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?
Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.
Pagi itu, Saya nemenin Iponk kerja di studio. Jadwal mixing hari itu adalah salah satu materi album barunya D’MASIV. Sebetulnya, Saya sendiri sedang menyelesaikan tulisan ketika berada di studio. Namun, perhatian Saya teralih ketika mendengarkan lagu yang dikerjakan Iponk. Besar sekali dorongan untuk menuliskan ini.
Ini Saya, dari sudut pandang pendengar yang pernah ngerasain betapa hebatnya band-band Indonesia bisa semacam menemani Anak Remaja usia belasan melewati berbagai persimpangan jalan di kehidupannya. Mungkin saja jalur yang kemudian dipilihnya di persimpangan itu, menuju sebuah jalan dengan kebun mimpi yang berbunga-bunga di kiri-kanannya. Atau mungkin juga, jalur itu menuju sebuah lorong gelap, sunyi, dan entah ujungnya ke mana.
Sementara itu, tahun demi tahun berlalu. Waktu tidak kenal lelah dan Si Anak Remaja tidak lagi remaja. Tidak lagi berjalan, ia kini berlari. Kadang terjatuh, lalu bangkit lagi. Ternyata Waktu mengajarkannya bahwa setelah persimpangan yang satu, ada persimpangan yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Waktu pula yang mengajarkannya, bahwa Si Anak Remaja ini sebenarnya tidak pernah sendirian. Sadar ataupun tidak, band-band Indonesia, yang pernah membisikkan kata dan nada ke dalam pikirannya di berbagai persimpangan, terus mengepungnya dengan kenangan yang terngiang-ngiang. Betapa hebat.
Bagi Saya, menikmati keperkasaan band-band Indonesia itu seperti menikmati maraton estafet dari jarak yang dekat dan personal, seiring Saya terus menempuh perjalanan Saya sendiri melalui berbagai persimpangan. Dan, mendengarkan lagu ini seperti baru saja menyaksikan di depan mata, tongkat estafetnya kini berpindah ke tangan D’MASIV. Entah dari siapa, Saya sampai lupa. Saya sudah terlanjur terbawa angin perubahan yang terhembus dengan keras ketika D’MASIV melaju dari posisi siapnya saat lagu ini berkumandang. “Sampai Mati Kan Kukejar,” begitu kata D’MASIV, sambil menggenggam tongkat estafet di tangan mereka.
Rasanya seperti berkejaran dengan Waktu. Berlari terus, D’MASIV. Titiknya terus bergerak. Waktu terus berdetak. Lintasannya entah bagaimana. Jalurnya mungkin akan membawa mereka berbelok ke mana, di mana, dengan cara apa. Entahlah, saya hanya penikmat, tau apa. Betul, penikmat, yang sepertinya akan betul-betul menikmati perjalanan ini.
Ini Saya, Oendari, yang sedang turut berlari bersama D’MASIV sambil menikmati rilisnya album terbaru mereka.
Agustin Oendari adalah seorang penulis lagu dan penyanyi yang mengawali karier pada 2014 dengan menulis dan menyanyikan lagu Selamat Pagi Malam untuk film berjudul sama karya sutradara Lucky Kuswandi. Lagu tersebutlah yang pertama kali mempertemukan Oendari dengan pendengar setia yang terus mendukungnya hingga melalui beberapa rilisan untuk film-film lain, seperti Galih & Ratna, satu lagi karya sutradara Lucky Kuswandi, dan Susah Sinyal, karya sutradara Ernest Prakasa.
Rilisan-rilisan Oendari yang lain pun telah mendapat perhatian khusus dari berbagai streaming platform dan media, antara lain: LHSW yang sempat menjadi bagian dari banner utama aplikasi JOOX pada masa rilisnya dan juga disiarkan di berbagai media musik ternama, seperti Billboard Indonesia dan Pophariini; Bend Down dan Selamat Pagi Malam yang berada di deretan nominasi AMI Awards ke-22; dan beberapa lagu dalam album soundtrack Galih & Ratna yang mendapatkan kesempatan spesial JOOX Concert Galih & Ratna tahun 2017, seperti Hampir Sempurna, yang ditampilkan oleh Rendy Pandugo, Song Of Goodbye, yang ditampilkan oleh Ivan Gojaya yang juga adalah produser dari hampir seluruh karya Oendari, dan lagu-lagu lain yang ditampilkan oleh Oendari, seperti Nyatanya Sementara, Dari Rindu Kepada Rindu.
Selain terlibat dalam berbagai karya kolaboratif sebagai penyanyi atau penulis lagu, Oendari juga sempat berkiprah sebagai vocal director, bekerja bersama musisi dan produser ternama, antara lain Titiek Puspa, Dutacinta, Momo Geisha, Sheryl Sheinafia, dan Steve Lillywhite. Keterlibatan Oendari sebagai vocal director juga terdapat pada lagu Lathi (Weird Genius ft. Sara Fajira), Dunia (Mytha Lestari), A Million Stars (Album Kolaborasi Rising Stars), dan masih banyak lagi. Tahun 2021, Oendari dengan merilis album dari keterlibatannya di dalam sebuah film berjudul Akhirat: A Love Story.
kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?
Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.
Canti Tachril berhasil bikin Saya bengong. Dengan cara yang terdengar effortless, Canti mengutarakan dua kata yang tepat menjelaskan apa yang Saya jalani selama kurang lebih tujuh tahun terakhir: mengejar ketenangan.
STOP KERJANYA. PASANG TELINGA. BUKA HATI.
Pertama kali Saya mendengar lagu ini adalah ketika Ivan Gojaya, alias Ivan Iponk, yang didapuk sebagai music produser dan mixing engineernya, sedang preview mix untuk dikirim ke studio mastering. Waktu itu, Saya duduk di sofa studio, nemenin Iponk kerja sembari ngurusin tulisan yang lagi Saya develop.
Awalnya, Saya terlarut dalam apa yang Saya kerjakan. Setiap nemenin Iponk di studio, Saya biasanya gak sengaja curi-curi dengar sepotong-sepotong saja dari lagu yang sedang beliau kerjain. Toh, Saya pun sibuk berkonsentrasi menyeimbangkan jari-jemari supaya kalaupun harus ketak-ketik keyboard laptop, gak terlalu berisik dan gak terlalu ngeganggu yang sedang mixing. Sampai akhirnya, pada ujung proses mixing, Iponk play satu lagu ini dari awal sampai selesai. Di situlah, …
Di situlah, tangan Saya berhenti bergerak. Tubuh kehilangan kontrol. Dari seluruh ujung kaki sampai ujung kepala, seakan-akan yang berfungsi cuma telinga sama otak. Kedua mata Saya perlahan menutup. Ada dingin yang hangat, panas yang sejuk, suhu yang sulit dijelaskan, mengalir dengan pelan-pelan seperti udara yang berbisik di depan liang telinga, “Stop kerjanya. Pasang telinga. Buka hati.”
Saya terdiam selama tiga menit dan lima puluh sekian detik. Lalu, air mata jatuh sendiri.
Sebuah Lagu Berjudul Sanubariku.
Lagu ini dimulai dengan permainan piano yang berani dari Juan Mandagie. Melanjutkan kerjasama yang sudah terjalin dengan baik pada produksi musik dan lagu untuk film Akhirat: A Love Story, Ivan Iponk menunjuk Juan Mandagie sebagai pilihan yang paling tepat untuk menerjemahkan lagu ini lewat piano dan aransemen strings. Juan Mandagie membuka “Sanubariku” dengan ketegasan yang semacam menyatakan bahwa ini sebuah balada.
Tidak lama kemudian, ada suara yang menunjukkan diri. Itu Canti memulai ceritanya. Canti, yang tidak sempat berpijak, terhanyut dalam lamunan, dan menanti-nanti harapan yang hilang di khayalannya. Mendengarkan Canti bercerita tentang kerapuhan melalui lagu ini, rasanya kayak mendengarkan diri sendiri ketika menaikkan doa kepada Yang Maha Semesta. Kecil di hadapan yang Maha Besar.
Ketika dalam kesendirian dan penantian, apa yang harusnya terasa biasa-biasa saja, memang bisa terasa berbeda, seperti penggambaran Canti dalam bait yang ditulisnya. Biru langit ternyata bisa menciptakan pilu. Sunyi malam terasa menderu. Semuanya bisa tiba-tiba intens.
Tidak cuma melalui lirik, intensitas lagu yang bagi Saya terdengar seperti doa ini, pun digambarkan dengan riuh namun indah melalui aransemen strings yang diciptakan Juan Mandagie dan ditempatkan Ivan Iponk mulai dari bagian favorit Saya, berlanjut ketika lagu ini mencapai puncaknya, kemudian surut bersama dengan selesainya lagu ini. Strings quartet, yang terdiri dari Mario Lasar, Sean Jethro, Akira Desmond, dan Jonathan William Abraham, mengiringi khidmatnya kata demi kata yang dinyanyikan oleh Canti.
Gamaliel Tapiheru, yang didapuk sebagai vocal director untuk lagu ini, juga memegang peran yang sangat krusial dalam menciptakan aransemen vokal yang, – haduh, speechless – entah apa ada istilah lain yang lebih tepat selain: ajaib. (Omong-omong, Saya dan Iponk memang pernah ngobrol santai tentang Gamal. Kami sepakat bahwa Gamal adalah salah satu penyanyi yang suaranya sangat, hmmm, surgawi.)
Coba dengarkan sendiri melalui link ini: Canti Tachril – Sanubariku; semalam sudah rilis di semua Digital Streaming Platform dan masih Saya repeat sampai saat ini. Wah, intens banget nih lagu.
Dengar-dengar gosip was-wes-wos, lagu ini ditulis ketika Canti sedang dalam kondisi terisolasi dalam masa penyembuhannya dari Covid tahun 2021 lalu. Ah, kesendirian memang paling-paling. Paling apa? Paling bisa bikin orang menemukan kembali apa yang sebelumnya terlupa atau dikira gak ada.
Lantas, apa yang Canti temukan ketika menulis “Sanubariku” dalam kesendiriannya? Kelihatannya, sama seperti apa yang Saya cari-cari selama ini dan kemudian (kayaknya sudah) Saya temukan kurang lebih satu-dua tahun lalu.
Matahari Dan Perihal Mengejar Ketenangan.
Saya baru berkenalan dengan Canti ketika preliminary meeting lagu “Sanubari” diselenggarakan di studio. Sebelumnya, gak kenal sama sekali. Bahkan, dari obrolan hari itu, kami baru tau bahwa kami satu kampus pas kuliah. Tentu, Canti pun gak tau bahwa Saya punya keterikatan khusus dengan “matahari”. Dan, itulah kenapa bagian chorus lagu ini, di mana Canti menempatkan kata “matahari”, jadi spesial buat Saya. Kenapa?
Baiklah. Melompat mundur ke tahun 2020. Alkisah, pada suatu hari yang ditentukan oleh Semesta, bertemulah Saya dengan seorang … ah, sebut saja Si Om. Saya gak kenal Si Om. Si Om pun gak kenal Saya. Kami hanya dipertemukan oleh Waktu. Lalu, kenapa pertemuan yang random ini Saya ceritakan? Karena berkesan.
Sebelum ketemu Si Om, Saya gak merasa ada yang istimewa dari Matahari. Matahari terbit, membakar diri sehingga bumi kecipratan hangatnya, lalu terbenam. Itu sudah. Setiap hari. Apa istimewanya?
“Sepanjang hidup, hujan akan ada banyak. Namun, cuma butuh satu Matahari, semua akan terang lagi.”
Itu kalimat Si Om yang Saya ingat sampai sekarang. Awalnya, Saya sok ngerti, tanpa betul-betul paham apa makna terdalam dari kalimat sesederhana itu. Lah, ternyata dalem banget. Si Om sempat menceritakan dengan sangat singkat: satu sosok istimewa yang dia ibaratkan seperti matahari. Sebut saja dia Si Pemuda.
Alkisah dalam alkisah, Si Pemuda ini pernah membela seorang perempuan yang dianggap oleh masyarakat sebagai perempuan cela. Padahal tanpa ikatan emosional, tanpa hubungan romantis apa-apa. Kenal pun enggak.
Perempuan cela yang cemas dan tersakiti secara mental itu hampir diamuk warga karena kedapatan berzinah. Si Pemuda, yang kebetulan lewat di daerah tersebut, pas tau situasi yang sedang terjadi, langsung merangsek ke tengah kerumunan warga yang sudah hampir merajam perempuan itu. Si Pemuda berdiri di tengahnya dan menghalangi Perempuan itu dari amukan warga. Si Pemuda menulis sesuatu di tanah, dan bilang, “Siapa yang merasa hidupnya paling bener, gak ada dosa, gak pernah bikin salah, silakan jadi yang pertama ngelempar batu.”
Setelah satu kalimat singkat itu, keributan mereda lalu perlahan bubar. Sang Perempuan bingung. Si Pemuda hanya bilang pada Perempuan itu, “Udah. Elo pergi. Mulai sekarang, jangan aneh-aneh lagi,” Gak semua orang paham sama kelakuan Si Pemuda. Namun, Saya rasa, hampir pasti hidup Perempuan itu gak sama lagi setelah kejadian hari itu. Lama gak kedengeran lagi, tau-tau ada kabar: Si Pemuda itu dihukum mati karena kesalahan orang lain.
Si Om kedengarannya sangat mengagumi sosok Si Pemuda. Pahlawan sejati, baginya. Melihat kekaguman yang sebesar itu dan bagaimana Si Om mengibaratkan Si Pemuda itu seperti matahari, … ah, hidup Saya pun gak sama lagi. Iyalah, wong akhirnya, sampai ada satu lagu yang khusus Saya tuliskan mengenai ini. Namun, baiklah, Saya ceritakan lain waktu.
Belakangan, setiap Saya mulai cemas karena banyak perintilan dalam hidup, Saya teringat Si Om, teringat Si Pemuda, dan teringat Matahari. Sambil berharap bahwa, sama seperti terhadap Perempuan dalam cerita itu, akan ada sosok yang datang tepat waktu, memeluk kecemasan Saya dengan rela dan mengubahnya menjadi ketenangan.
Entah apa yang sebenarnya sedang dirasakan Canti ketika menuliskan bagian chorus dari lagu “Sanubariku” dan menempatkan kata matahari di situ. Saya gak tau. Namun, ketika Canti menutupnya dengan “Dalam kehilangan, kaulah tempatku pulang,” Saya teringat Si Pemuda. Di situlah, Saya menitikkan air mata.
DUARR! ADA VIDEO KLIPNYA.
Saya gak akan cerita lebih banyak lagi karena tulisan ini kayaknya udah panjang banget. Singkatnya, setelah apa yang Saya alami ketika pertama kali mendengar lagu “Sanubariku”, video klipnya bikin Saya merinding. Silakan nonton aja sendiri, selamat mengejar ketenangan, dan semoga menemukan tempat pulang. Ini:
“Sanubariku” / Performed by Canti Tachril / Music Producer: Ivan Gojaya / Vocal Director/Producer: Gamaliel Tapiheru / Songwriter: Canti Tachril / Piano & Strings Arrangement: Juan Mandagie / Violin 1: Mario Lasar / Violin 2: Sean Jethro / Viola: Akira Desmond / Violoncello: Jonathan William Abraham / Strings Engineer: Michael Septian Wahyudi / Mixed by: Ivan Gojaya at ROEMAHIPONK Music Studio / Mastered by: Chris Gehringer at Sterlingsound / All tracks recorded & produced at ROEMAHIPONK Music Studio
“Sanubariku” Music Video by Pincster / Talent: Canti Tachril, Aldafi Adnan, Mario Lasar, Jonathan William Abraham, Juan Mandagie / Produced by: Christabel Fortunatus / Directed by: Rein Maychaelson / Line Producer: Lisa Victory / Director of Photography: Leontius Tito / Choreographed by: Davit Fitrik / Make-up Artist: Dorothea Toemon / Hairdo: Yasmin Raudatul Jannah / Wardrobe: Fadillah Putri Yunidar / Dress: Jeffry Tan
Di tengah menulis ini, Banten digoyang gempa. Ya ampun. Betapa kita memang kecil di hadapan yang Maha Besar. Digoyang dikit langsung ketar-ketir. Ya udah, berdoa aja. Semoga semua dilindungi oleh Yang Maha Semesta.
UNTUK TEMAN-TEMAN PERS / MEDIA,
Berikut ini press kit yang bisa diunduh, berisi informasi lengkap mengenai karya ini:
Agustin Oendari adalah seorang penulis lagu dan penyanyi yang mengawali karier pada 2014 dengan menulis dan menyanyikan lagu Selamat Pagi Malam untuk film berjudul sama karya sutradara Lucky Kuswandi. Lagu tersebutlah yang pertama kali mempertemukan Oendari dengan pendengar setia yang terus mendukungnya hingga melalui beberapa rilisan untuk film-film lain, seperti Galih & Ratna, satu lagi karya sutradara Lucky Kuswandi, dan Susah Sinyal, karya sutradara Ernest Prakasa.
Rilisan-rilisan Oendari yang lain pun telah mendapat perhatian khusus dari berbagai streaming platform dan media, antara lain: LHSW yang sempat menjadi bagian dari banner utama aplikasi JOOX pada masa rilisnya dan juga disiarkan di berbagai media musik ternama, seperti Billboard Indonesia dan Pophariini; Bend Down dan Selamat Pagi Malam yang berada di deretan nominasi AMI Awards ke-22; dan beberapa lagu dalam album soundtrack Galih & Ratna yang mendapatkan kesempatan spesial JOOX Concert Galih & Ratna tahun 2017, seperti Hampir Sempurna, yang ditampilkan oleh Rendy Pandugo, Song Of Goodbye, yang ditampilkan oleh Ivan Gojaya yang juga adalah produser dari hampir seluruh karya Oendari, dan lagu-lagu lain yang ditampilkan oleh Oendari, seperti Nyatanya Sementara, Dari Rindu Kepada Rindu.
Selain terlibat dalam berbagai karya kolaboratif sebagai penyanyi atau penulis lagu, Oendari juga sempat berkiprah sebagai vocal director, bekerja bersama musisi dan produser ternama, antara lain Titiek Puspa, Dutacinta, Momo Geisha, Sheryl Sheinafia, dan Steve Lillywhite. Keterlibatan Oendari sebagai vocal director juga terdapat pada lagu Lathi (Weird Genius ft. Sara Fajira), Dunia (Mytha Lestari), A Million Stars (Album Kolaborasi Rising Stars), dan masih banyak lagi. Tahun 2021, Oendari dengan merilis album dari keterlibatannya di dalam sebuah film berjudul Akhirat: A Love Story.
kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?
Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.
Saya menulis ini di dalam kesendirian malam, hanya berteman “Bintang di Surga”.
Dulu, sebuah album berjudul “Bintang di Surga” milik Peterpan terjual jutaan kopi dan menyabet penghargaan sana-sini. Lagu-lagunya diputer di mana-mana. Radio, televisi, angkot, sampai warnet. Saya sendiri gak pernah beli album fisiknya Peterpan. Bukannya apa, gak punya duit. Namun, memang sehebat itu Peterpan, sampai Saya, yang gak punya albumnya aja, terpapar lagunya dari mana-mana.
Saya, yang pada jaman itu masih anak bocah, gak ngerti sama sekali ketika denger lirik “Bintang di Surga”. Namun, memang patut diakui, Boriel adalah jagoan perihal menulis lagu dan dianugerahi dengan gaya nyanyi yang cuma punya doski. Di bawah terik matahari Jakarta, dengan bersimbah keringat yang aromanya biadab, Saya pulang sekolah jalan kaki sambil humming-humming sendiri. Ah, apalah itu terik matahari kalau kepala sudah terlampau penuh oleh auman Ariel Peterpan, maungnya Bandung.
Omong-omong, sampai sekarang, itu auman gak berubah. Tetap ganas.
Bintang di Surga berikan cerita.
Buat Saya, gak cuma nama yang adalah doa. Setelah makin banyak menulis lagu, Saya pun kini percaya bahwa lagu adalah doa. Dan, yang menyanyikannya terus adalah pendoa yang setia, termasuk Saya.
Saya baru punya album fisik “Bintang di Surga” beberapa belas tahun setelah albumnya rilis. Bahkan, setelah lebih dulu menikmati album “Suara Lainnya”, yang sukses bikin Saya jatuh cinta dan penasaran pada band Bandung yang pada waktu itu menyandang nama Ariel, Uki, Lukman, Reza, David.
CD “Bintang di Surga” baru Saya miliki kemudian, dihadiahi seorang sahabat pada hari ulang tahun Saya yang entah keberapa, Saya juga lupa. Sebut saja Abram Lembono, karena memang itu namanya. Entah beberapa bulan lamanya, dua lagu dari album ini Saya repeat terus untuk menemani nyetir. Salah satunya adalah “Bintang di Surga”. Satu lagi juga ajaib, tapi, ah, Saya bahas nanti saja. Karena, saat ini, Saya jadi punya keterikatan yang lebih spesial sama lagu “Bintang di Surga”. Kenapa?
Karena, nyatanya, Bintang di Surga memang telah memberikan cerita. Setidaknya, buat Saya.
Tidak ingat tahun berapa, tapi semua memang dimulai dari Abram Lembono, yang memberikan Saya CD “Bintang di Surga” yang lama bersemayam di CD player mobil pertama Saya, yang menemani Saya bolak-balik Jakarta-Karawaci selama bertahun-tahun. Seperti yang sudah Saya bilang, track “Bintang di Surga” adalah salah satu lagu di album tersebut yang memang Saya repeat terus sepanjang perjalanan untuk mengiringi Saya nyanyi-nyanyi, sampai akhirnya bunyinya meleyot dan, mau tidak mau, CD tersebut pensiun.
Tidak lama setelah itu, Abram Lembono memperkenalkan Saya dengan sahabatnya dari SMA. Namanya Ivan Gojaya, yang kini sering Saya sebutkan namanya dalam banyak tulisan dengan sebutan Iponk. Mereka sama-sama sekolah di Bandung, lalu merantau ke Karawaci pas kuliah. Kami berkenalan kemudian mengerjakan proyek musik bersama untuk beberapa tahun berikutnya. Band. Salah satu referensi utamanya: Peterpan. Namun, proyek tersebut mangkrak di tengah jalan. Bubar. Kehidupan kami bertiga terpisah ke jalan masing-masing. Abram pindah ke Jakarta. Iponk semakin sibuk dengan studionya. Dan, Saya, ya gitu-gitu aja.
Lalu, tibalah tahun 2014. Saya kembali dipertemukan dengan Iponk oleh satu proyek film layar lebar yang terbilang tiba-tiba. Pada tahun yang sama, Abram Lembono juga tiba-tiba hadir kembali dengan membawa satu proyek dari Musica Studio’s, proyeknya Eyang Titiek Puspa. Entah kenapa, kami bertiga dikumpulkan kembali oleh hidup. Sebagian dari kita mungkin menyebutnya dengan istilah: kebetulan.
Bersama EyangYa kapan lagi, kan?Bersama NOAH
Dalam proyek Eyang Titiek, Saya menjadi salah satu penulis di dalam salah satu lagu Duta Cinta berjudul “Lagu untuk Bunda”, lagu di mana Abram juga menjadi salah satu komposernya. Selain lagu tersebut, ada banyak lagu lain dalam proyek satu album di mana Iponk menjadi produsernya. Pada hari penandatanganan kontrak di Musica, ternyata sedang ada rekaman Noah dan ada Ariel di sana. “Kapan lagi ketemu Ariel NOAH, foto lah,” demikian pikir Saya. Maka, terukirlah dalam sejarah pribadi Saya: pada suatu hari di tahun 2015, Agustin Oendari, yang pagi itu belum mandi, berfoto dengan Ariel NOAH. Hanya sebatas itu, satu centang untuk bucket list Saya yang super sederhana. Done.
Proyek Eyang Titiek berlangsung lebih lama daripada dugaan Saya. Kirain setelah sealbum kelar, udah. Ternyata, lanjut terus ke tahun-tahun berikutnya. Dan, kirain, Saya gak akan ketemu lagi dengan NOAH, ataupun Ariel. Ternyata, Mas Teddy, A&R Musica mempertemukan kami kembali. Lagi-lagi, Saya gak betul-betul ingat proyeknya apa, karena waktu itu, semua berjalan dengan cepat. Yah, hal-hal seru memang seringkali terasa berjalan dengan cepat. Dan, lagi-lagi, sebagian dari kita mungkin menyebutnya dengan istilah: kebetulan.
Pada akhirnya, proyek Eyang Titiek surut seiring berlalunya tahun demi tahun. Abram pun melanjutkan pendidikan keluar negeri. Tersisa Saya dan Iponk yang sampai saat ini bekerja bersama, Saya dan Eyang yang tetap berteman sampai sekarang, dan rekan-rekan Duta Cinta yang selalu bikin rindu. Namun, sudah barang tentu, perjalanan kami dengan Musica terpisah ke jalan masing-masing. Yep. Rasanya, selesai di situ. Sampai pada satu ketika …
Sekitar pergantian tahun 2021 ke 2022 yang lalu, Mas Teddy menghubungi Iponk perihal rencana NOAH merilis kembali album Bintang di Surga. Betapa sebuah panggilan telepon sederhana bisa sedemikian mengagetkan.
Bersinggungan lagi dengan Musica, dengan Mas Teddy, dengan NOAH, dengan Ariel, adalah sesuatu yang di luar dugaan kami. Kirain setelah proyek Eyang Titiek kelar, udah. Ternyata, … ah, hidup memang aneh.
Saya jadi berpikir, jangan-jangan, apa yang sebagian dari kita sebut sebagai kebetulan, mungkin bukan kebetulan. Jangan-jangan, itu adalah cerita yang diberikan oleh Bintang di Surga, yang Saya nyanyikan sepanjang perjalanan Jakarta-Karawaci; yang tanpa sadar sudah jadi doa yang Saya panjatkan. On repeat.
Oh! Tadi Saya sempat bilang bahwa ada satu lagu lagi di album “Bintang di Surga” yang menurut Saya juga ajaib. Masih ingat? Lagu itu adalah “Di Belakangku”. Hmm, sebagian dari kita mungkin menyebutnya dengan istilah: kebetulan.
Cerita, dan kasih yang setia, dan cahaya nyata.
Meskipun album ini adalah bagian dari proyek bertajuk Second Chance, apakah berarti “Bintang di Surga” yang kali ini merupakan upaya Noah mengulang cerita kesuksesan Peterpan? Menurut Saya, enggak. Noah menciptakan cerita kesuksesan baru, di alam yang baru, meskipun dengan lagu yang lama. And, it turns out: spectacular.
Mungkin cerita kesuksesan Noah yang kali ini adalah salah satu cerita yang diberikan Surga, seperti yang telah dirapalkan oleh Boriel di dalam liriknya. Seperti yang Saya percaya, siapapun yang menyanyikannya terus, pada suatu waktu yang misterius, akan menemukannya: cerita, kasih yang setia, dan cahaya nyata.
UNTUK TEMAN-TEMAN PERS / MEDIA,
Berikut ini press kit yang bisa diunduh, berisi informasi lengkap mengenai karya ini:
Agustin Oendari adalah seorang penulis lagu dan penyanyi yang mengawali karier pada 2014 dengan menulis dan menyanyikan lagu Selamat Pagi Malam untuk film berjudul sama karya sutradara Lucky Kuswandi. Lagu tersebutlah yang pertama kali mempertemukan Oendari dengan pendengar setia yang terus mendukungnya hingga melalui beberapa rilisan untuk film-film lain, seperti Galih & Ratna, satu lagi karya sutradara Lucky Kuswandi, dan Susah Sinyal, karya sutradara Ernest Prakasa.
Rilisan-rilisan Oendari yang lain pun telah mendapat perhatian khusus dari berbagai streaming platform dan media, antara lain: LHSW yang sempat menjadi bagian dari banner utama aplikasi JOOX pada masa rilisnya dan juga disiarkan di berbagai media musik ternama, seperti Billboard Indonesia dan Pophariini; Bend Down dan Selamat Pagi Malam yang berada di deretan nominasi AMI Awards ke-22; dan beberapa lagu dalam album soundtrack Galih & Ratna yang mendapatkan kesempatan spesial JOOX Concert Galih & Ratna tahun 2017, seperti Hampir Sempurna, yang ditampilkan oleh Rendy Pandugo, Song Of Goodbye, yang ditampilkan oleh Ivan Gojaya yang juga adalah produser dari hampir seluruh karya Oendari, dan lagu-lagu lain yang ditampilkan oleh Oendari, seperti Nyatanya Sementara, Dari Rindu Kepada Rindu.
Selain terlibat dalam berbagai karya kolaboratif sebagai penyanyi atau penulis lagu, Oendari juga sempat berkiprah sebagai vocal director, bekerja bersama musisi dan produser ternama, antara lain Titiek Puspa, Dutacinta, Momo Geisha, Sheryl Sheinafia, dan Steve Lillywhite. Keterlibatan Oendari sebagai vocal director juga terdapat pada lagu Lathi (Weird Genius ft. Sara Fajira), Dunia (Mytha Lestari), A Million Stars (Album Kolaborasi Rising Stars), dan masih banyak lagi. Tahun 2021, Oendari dengan merilis album dari keterlibatannya di dalam sebuah film berjudul Akhirat: A Love Story.
kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?
Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.
Udah move on belom? Kalo belom, meningan jangan baca tulisan ini. Namun, kalau masih bandel juga, ya udah. Hati deg-degan, tangan keringetan, keinget-inget mantan, tanggung sendiri ya.
“Kita Tak Bisa Kemana-mana Lagi” adalah film pendek yang bercerita tentang sepasang mantan kekasih, Gigi (yang diperankan oleh Sheila Dara Aisha) & Nino (yang diperankan oleh Rolando Octavio), yang bakal segera menikah dengan pasangan masing-masing.
Pada satu malam, mereka berdua melakukan perjalanan dengan mobil dan ketika mereka sampai di tujuan akhir, mereka sama-sama gak kepingin keluar dari mobil itu segera. Kenapa tuh? Ya udah, nonton dulu lah. Baru kita lanjut cerita lagi.
Kita Tak Bisa Ke Mana-mana Lagi – Official Short Film (2021)
Sebelum Lanjut Cerita,
Mari mundur sejenak ke awal tahun 2021.
Tepatnya, bulan Januari. Bertepatan dengan harinya gue ngerilis lagu Tenang Dan Bersabarlah, secara tiba-tiba, gue diperkenalkan oleh seorang teman, kepada seorang produser film, namanya Hannan. Hari itu kenalan, hari itu juga Hannan dengerin satu album perdana yang sedang gue persiapkan, termasuk di dalamnya ada lagu Tenang Dan Bersabarlah. Bukannya ge-er, tapi yang gue inget dari hari itu, kayaknya lagu ini meninggalkan kesan buat Hannan. Tapi, ah, mungkin aja aku cuma ge-er, Bund.
Gak berapa lama setelah perkenalan hari itu, Hannan cerita bahwa dia sedang merampungkan sebuah film pendek. Hannan pun bertanya, apakah lagu Tenang Dan Bersabarlah boleh jadi bagian dari film pendek tersebut. Wah, ternyata kege-eranku berbuah manis. Makin ge-er lah aku, Bund. Dan, ya tentu bolehlah!
Lama berselang, pandemi makin ngehits, gue pun makin sibuk dengan rilisan bertubi-tubi. Kalau tau dan masih inget, selama empat bulan pertama tahun 2021, gue merilis satu lagu setiap bulannya. Situasi semakin pelik ketika memasuki tengah tahun. Puncaknya adalah bulan Mei.
Bulan Mei 2021 adalah sebuah bulan yang sulit, di mana hampir setiap hari gue ketemu dengan berita duka. Mulai dari duka orang-orang yang gue gak terlalu kenal, sampai duka yang menjalar ke lingkaran yang terdekat. Otak mulai gak kuat dipapar media sosial dan hati mulai gak tahan menerima berbagai pesan. Maka, rehatlah gue dari dunia maya dan membiarkan diri gue gak denger update apa-apa. Instagram dan Whatsapp lagi jarang-jarangnya gue buka.
Baru ketika memasuki bulan September, gue sekrol ratusan pesan yang masuk dan cek satu-satu. Dari antara pesan-pesan tersebut, terseliplah berita bahwa film ini ternyata udah tayang. Gue tonton sampe abis, sampe durasi paling ujung, lalu DUARRR!
Padahal niatnya mah mau narsis aja. “Nonton ah, gue mau tau lagu gue muncul di mana.” Tau-tau, gue malah keasyikan mengagumi aktingnya Sheila Dara Aisha & Rolando Octavio, yang berhasil bikin gue bertanya-tanya: ini dua-duanya emang mantan beneran di dunia nyata apa gimana sik? Mulai dari luwesnya obrolan bertema nostalgia, adegan adu kentut yang super-relatable, sampe berantemnya pun, … hih, kok kayak beneran!
Kesederhanaan yang terasa di film ini, yang gue yakin direncanakan dan dilakukan dengan cara yang gak sederhana, bikin gue terlena nonton sampe ujung cerita. Sampai akhirnya gue menemukan lagu Tenang Dan Bersabarlah hadir di momen aku-kamu yang … uhuk-uhuk … yaudahlah lo tonton aja sendiri.
Bang Fazrie Permana ini tinggalnya di mana, kayaknya gue harus sungkem sama bapak sutradara sekaligus penulis naskah. Selamat, Bang, filmnya berhasil membuatku ter-uhuk-uhuk. Dan, selamat juga kepada masing-masing nama di balik produksi film ini, kalian semua keren!
Dan, untuk Hannan, gue ingin mengucapkan terima kasih karena lagu Tenang Dan Bersabarlah diperkenankan untuk hadir di film “Kita Tak Bisa Kemana-mana Lagi” (bersanding dengan satu lagu dari musisi sekeren Matter Halo pula, “Kamulah Yang Terindah”, mimpi apa aku, Bund). Gak cuma itu, Tenang Dan Bersabarlah ditempatkan di bagian yang, buat gue, sangat berkesan. Oh iya! Satu lagi. Terima kasih, atas sebuah pesan manis yang pernah Hannan sampaikan:
“… Kenapa aku memilih lagu Tenang dan Bersabarlah sebagai ending film kami … Karena, pada dasarnya, hidup tentang sebuah perjalanan dan proses. … Film ini berbicara tentang mencoba mengikhlaskan sesuatu yg bukan untuk kita. … Saat pertama kali mendengar lagu Botin ini, bahkan sebelum dirilis, salah satunya adalah (tentang) hal itu. … Dan, lagu ini juga memberikan penekanan untuk itu, untuk bisa tenang dan bersabar pada saat perjalanan mengikhlaskan. …”
Hannan Cinthya
Ngomong-ngomong,
Baru sadar. Iya juga ya. Mengikhlaskan adalah sebentuk perjalanan. Supaya paham, tontonlah: “Kita Tak Bisa Kemana-mana Lagi“.
kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?
Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.
Beberapa kejadian bikin gue bener-bener sadar, bahwa memang kita gak akan pernah tau kapan waktunya kelar di dunia dan beranjak ke akhirat. Bahkan, mungkin beberapa detik sebelum waktunya tiba pun gak kepikiran akan metong.
Beberapa minggu lalu, gue gak sengaja curi denger lagunya D’MASIV yang lagi dimixing sama Iponk. Waktu itu niatnya cuma mau nganterin tumbler takutnya si Iponk kurang minum karena di studio terus jarang turun. Ya Tuhan, duh maaf, saya jadi curi denger. Tapi ini lagu memang kayaknya wajib didenger oleh semua orang sih. Terutama sekarang-sekarang ini.
Gue cuma berharap kalau tiba waktunya, gue dipenuhi kelegaan, supaya dengan tenang, dengan bersabar, gue bisa merelakan. Apa yang perlu diambil, ambillah. Siapapun yang perlu menjemput, jemputlah. Bila ada yang harus dilepaskan, lepaskan, biar ringan perjalanan. Kenangan-kenangan, simpan dan bawalah dalam hati. Ketika gue sudah bisa merelakan sampai di titik situ, mungkin artinya ketika waktunya nanti tiba, gue sudah siap menyelesaikan hidup yang gak sempurna ini dengan cara yang paling sempurna: dengan lega.
Kata Ibu gue, berdoa.
Kata Bapak gue, vaksin.
Kata sahabat gue, relain.
Kata pemerintah, kalau mau lega, jaga kebersihan, jaga kesehatan, pake masker jagain orang di sekitar.
Agustin Oendari adalah seorang penulis lagu dan penyanyi yang mengawali karier pada 2014 dengan menulis dan menyanyikan lagu Selamat Pagi Malam untuk film berjudul sama karya sutradara Lucky Kuswandi. Lagu tersebutlah yang pertama kali mempertemukan Oendari dengan pendengar setia yang terus mendukungnya hingga melalui beberapa rilisan untuk film-film lain, seperti Galih & Ratna, satu lagi karya sutradara Lucky Kuswandi, dan Susah Sinyal, karya sutradara Ernest Prakasa.
Rilisan-rilisan Oendari yang lain pun telah mendapat perhatian khusus dari berbagai streaming platform dan media, antara lain: LHSW yang sempat menjadi bagian dari banner utama aplikasi JOOX pada masa rilisnya dan juga disiarkan di berbagai media musik ternama, seperti Billboard Indonesia dan Pophariini; Bend Down dan Selamat Pagi Malam yang berada di deretan nominasi AMI Awards ke-22; dan beberapa lagu dalam album soundtrack Galih & Ratna yang mendapatkan kesempatan spesial JOOX Concert Galih & Ratna tahun 2017, seperti Hampir Sempurna, yang ditampilkan oleh Rendy Pandugo, Song Of Goodbye, yang ditampilkan oleh Ivan Gojaya yang juga adalah produser dari hampir seluruh karya Oendari, dan lagu-lagu lain yang ditampilkan oleh Oendari, seperti Nyatanya Sementara, Dari Rindu Kepada Rindu.
Selain terlibat dalam berbagai karya kolaboratif sebagai penyanyi atau penulis lagu, Oendari juga sempat berkiprah sebagai vocal director, bekerja bersama musisi dan produser ternama, antara lain Titiek Puspa, Dutacinta, Momo Geisha, Sheryl Sheinafia, dan Steve Lillywhite. Keterlibatan Oendari sebagai vocal director juga terdapat pada lagu Lathi (Weird Genius ft. Sara Fajira), Dunia (Mytha Lestari), A Million Stars (Album Kolaborasi Rising Stars), dan masih banyak lagi. Tahun 2021, Oendari dengan merilis album dari keterlibatannya di dalam sebuah film berjudul Akhirat: A Love Story.
kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?
Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.
Gue akhirnya menulis tentang ini di sini, karena curiga-curiganya anak-anak studio udah pada bosen dengerin gue ngoceh soal BTS. Jadi, ya udah, gue tumpahkan aja di sini. Iya, betul, gue memang lagi jatuh cinta segitunya sama BTS. Kalau di antara yang baca ini ada yang kenal gue, mungkin kaget, mungkin bingung, mungkin takjub. Pasalnya, sekian lama drakor ngetren di Indonesia dan lagu-lagu Korea memenuhi chart-chart musik dunia, belum ada yang pernah bikin gue setertarik ini sama seniman Korea, sesederhana karena gue gak ngerti bahasanya. Tau-tau, muncullah BTS ini dengan sepaket lengkap talenta yang gak bisa gue lewatin gitu aja.
Ini bermula dari sebuah malam yang random ketika gue buka Twitter dan menemukan banyak banget sih tweet tentang BTS. Ada apa sih. Gue telusurin, gue ikutin terus, lalu sampailah gue pada kesimpulan: gue mulai penasaran. Cuma gara-gara pas browsing, gue nemu satu video ini:
BTS: Tiny Desk (Home) Concert on YouTube
Dari satu konten empat belas menit lebih sedikit yang sebetulnya sudah nangkring di YouTube sejak September tahun lalu, gue jadi berselancar keliling internet nonton lebih banyak lagi video-video BTS lainnya. Dari yang gak tau BTS itu membernya ada berapa, sampe gue hafal satu-satu namanya. RM. Jin. V. Jimin. SUGA. J-Hope. Jungkook.
Jungkook: gue ngefans banget sama nyanyinya yang stabil banget di semua kesempatan nyanyi sambil jogetan. say whatever you want, gue udah denger banyak banget jenis vokal sepanjang tujuh tahun belakangan hampir 24/7, and i mean every words i say. Oiya, gue juga ngefans banget sama rambutnya. J-Hope: salah satu sosok yang jago banget bikin gue penasaran, gak tau deh apanya, tapi gitu kira-kira. SUGA: idola gue, terutama dalam hal menulis dan produksi lagu. Dengerin Agust D. Jimin: salah satu kepribadian yang pernah gue saksikan yang di dalamnya ada keberanian yang luar biasa. beberapa video yang menceritakan tentang personil yang satu ini bikin gue inspired banget. V: Gue gak bisa membayangkan gimana dia bisa hit these specific notes dengan warna suara dan cara nyanyi yang kayak gitu, aseli buat gue, nyaman banget di telinga. Jin: ini orang dari cara nulisnya sama cara dia berekspresi, menarik banget. Worldwide handsome iya banget. RM: sexy brain, itu kata orang-orang dan kayaknya gue setuju.
Gak tau udah berapa banyak video BTS yang gue tonton. Dari video yang bikin gue kagum sama songwriting dan produksinya, terus sekian banyak video bikin kaget karena jogetnya aseli jago banget, ada juga yang bikin gue ngakak sendiri pas nyimak betapa koplaknya tujuh orang ini, ada juga video yang bikin gue mewek, padahal kenal juga enggak. Tuh, coba pikir, kenapa gue sampe se-emosional ini sih? Gokil nih BTS. Abis nonton ini gue kayak ngerasa abis dilemparin bom yang kemudian meledak di dalem rumah, meriah, banyak warna, tapi chill aja. Gokil.
Bangtan Boys. Bangtan Sonyeondan. Beyond The Scene. Bulletproof Boy Scouts. Sebutannya banyak. Prestasinya apalagi. Punya bala tentara pula, coba pikir. Di balik popularitasnya BTS sekarang, ternyata banyak juga cerita-cerita yang menjadikan mereka ya mereka yang sekarang di 2021 ini. Sejauh ini, gue menemukan satu ringkasan dari The Asian Theory yang kadarnya pas banget buat gue yang masih nubi perkara BTS. Nih, dalam waktu kurang lebih setengah jam nonton video ini, gue jadi tau beberapa hal basic tentang BTS, siapa tau lo kepingin tau juga:
The Most Beautiful Life Goes On: A Story of BTS on YouTube
Ini nih mungkin yang gue biasa bilang: judul adalah doa. The most beautiful life goes on. Ini video bener-bener bisa menjelaskan sosok tujuh manusia ajaib bernama BTS. Hampir semua informasi yang gue terima ajaib banget, banyak kejadian-kejadian ajaib terjadi sampai terjadinya BTS. Ajaib. Dan, bisa gue maknai dan gue kategorikan: indah. Ya, gue makin penasaran lah sama BTS.
Abis itu, ini ada satu lagi, janji, ini terakhir (for now, at least). Nah, kalau yang ini, gue nonton ini pas lagi mandek di tengah-tengah proyek menulis yang belum kelar-kelar. Kelar nonton, gue mayan bengong sebelum akhirnya ngomong sendiri: gokil nih BTS. Ketika ada tujuh manusia yang sepopuler ini dan sebesar ini pengaruhnya di dunia sekarang, nyebarin pesan-pesan sederhana yang layak didengar terutama di situasi kayak sekarang, dengan ekspresi masing-masing yang beda satu dengan yang lain di antara tujuh-tujuhnya, … Terus pesannya nyampe di gue. Coba lo pikir. Ga bengong lo? Gue sih bengong.
I’d do it all | BTS: Burn the Stage Ep1 on YouTube
Kelar nonton, gue langsung ambil tisu, lap-lap dikit karena gue sempet mewek di beberapa part terakhir video ini, terus langsung lanjutin tulisan yang mandek itu. Ga ada alesan buat males-malesan, karena ternyata musik masih layak buat diperjuangin. Meskipun kadang ada situasi di mana musik tuh baru bisa gue rasain sentuhannya ketika gue justru ada di masa-masa paling sunyi. Kayak sekarang ini, gue denger BTS pas pandemi. Gokil.
Buat yang level perkenalannya dengan BTS sama kayak gue, baru kelar nonton video-video tadi, terus mengalami sesuatu yang dibilang orang “inspirasi”, kemudian berniat melanjutkan penelusuran sendiri: Selamat. Lo gak sendirian. Tos.
Jadi, gue udah jadi ARMY nih? Hmm. Entahlah. Kalo dibandingin sama ARMY lain yang kayaknya hafal banget semua tentang BTS, ya ampun gue mah apa. Dari sekian banyak pengetahuan tentang BTS, kayaknya yang gue tau baru seberapa doang. The thing is: gue jatuh cinta sama semua yang gue baru tau ini. Maka, sekali lagi, gokil nih BTS.
Oiya, salah satu hal yang gue baru tau adalah istilah “bias” karena di Twitter maupun YouTube, gue sering banget menemukan pertanyaan: “Who is your BTS bias?” atau “Which BTS member is your true bias?” Awalnya, gue bertanya-tanya, apaan sih bias? Pas gue baca-baca, ternyata “Oh, siapa member BTS favorit gue?”. Gitu ya maksudnya?
Siapa member favorit gue? Pertanyaan ini kedengerannya sederhana, tapi ternyata susah jawabnya. Dari ketujuh orang ini, gue sudah menghabiskan waktu sekian banyak pelajarin satu-satu, lalu gue selalu berujung sulit memilih di antara dua. Tar gue cerita lagi kapan-kapan, toh gue somehow yakin bakal nulis lagi tentang BTS, karena tiap kali gue menerima informasi baru tentang BTS, banyak hal yang langsung menggelitik pikiran gue. Jadi, ya kenapa gue gak tulis di sini aja, ya gak sih?
sebuah titik tolak penting yang memunculkan ketertarikan gue pada bts dan kemudian menjadi awal hadirnya tulisan ini adalah inspirasi yang diberikan oleh reyna angel lyn christian, yang pertama kali ceritain soal bts dengan berbinar-binar. terima kasih, reyna.
kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?
Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.
Satu lagi #musikalisasipuisi atas karya mas #SalmanAristo yang setiap kata-katanya langsung terngiang-ngiang semalaman di telinga dari buku Puisi Pendek Biar Rindu Panjang. Silakan nikmati ini sebagai pengantar sebelum kamu baca seluruh isi bukunya di #Storial, tiga puluh lima lembar puisi yang bikin hangat hati.
Sudah, #dirumahaja tenang-tenang kalem-kalem membaca. Dengan menikmati puisi-puisi ini, kamu akan tau betapa Bahasa Indonesia itu bisa demikian indah. Klik aja link ini: http://bit.ly/storialpuisirindu. Semoga terbuai.
Oh iya, terima kasih Nur Zaman & Rocky Prabowo yang sudah membantuku bikin video ini. Terima kasih #roemahiponk dan terutama Pak Ivan Iponk yang sudah mengizinkanku berkarya di tengah pandemi. Khusus Pak Ivan, makasih selama ini mengajarkanku rekaman, mixing, dan mastering dengan sangat sabar walaupun seringkali ku lemot dan supergaptek. Semoga karya ini bisa lumayan bikin pakguru bangga. Lalu, terima kasih, kamu yang sudah mendengarkan dari kemarin-kemarin, kamu kukasihi.
kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?
Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.
Sudah sekian lama gak bikin #musikalisasipuisi, yang biasa gue sebut dengan muspi. Terakhir waktu jaman sekolah, yang gak lain gak bukan adalah belasan tahun yang lalu. Beberapa minggu belakangan, gue diperkenalkan oleh teman kepada sebuah buku puisi yang dari mulai judul aja udah bikin penasaran dan senyum-senyum sendiri. Awalnya, gue hanya tau mas #SalmanAristo sebagai sineas. Nah, teman gue memperkenalkan kepada buku puisi yang ditulis Mas Aris dan baru rilis: Puisi Pendek Biar Rindu Panjang.
Di buku ini, ada 35 puisi pendek yang jadi penghiburan di kala gue cuma bisa #dirumahaja diserang kerinduan akan banyak hal yang sekarang harus berhilangan karena situasi gakjelas ini. Salah satu yang pertama kali langsung menarik perhatian gue adalah #MendalamiTeduh. Ini adalah interpretasi sederhana atas puisi pendek yang manis karya Mas Aris.
Kalau mau baca buku ini: ketik link ini aja http://bit.ly/storialpuisirindu Suasana merumah niscaya gak bakal ngebosenin kalau diisi sama kegiatan berfaedah semacam membaca buku. Selamat mendalami teduh!
kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?
Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.