sekumpulan cerita dari seorang enci-enci tongkrongan. kadang romantis, kadang tragis. sesekali miris, atau bikin nangis. kadang bermanfaat, tapi sering juga unfaedah, tapi yah yaudahlah.
Salah satu mimpi paling indah. Aku mimpi kamu lahir dari rahimku.
Siapa sangka kamu menetap di sana, padahal belum lama kubilang pada ayahmu bahwa mungkin saja kamu sudah tidak lagi di sana, meninggalkan kami semua dan untuk itu, aku menyesal. Kupikir itu salahku. Seperti sudah-sudah. Dan, aku pun ya-sudah. Kuletakkan tanganku di sana. Sungguh kaget. Ternyata, kamu tinggal. Kamu tidak pergi.
Lalu, kamu lahir dari rahimku. Dalam sebuah persalinan paling mudah. Hanya ada aku dan kamu. Tidak ada rasa sakit. Kalaupun ada, ah, tidaklah seberapa. Begitu kamu lahir, aku menangkap kepalamu. Kamu lembut sekali. Mungil sekali. Rasanya, kamu tidak berdaya tanpaku. Aku pun merasa begitu. Namun, sesungguhnya, aku takut. Takut padamu. Tidak tau siapa kamu.
Tapi, kamu lahir dari rahimku. Lalu, kamu menatapku dengan mata paling indah. Seketika, hatiku luluh dan segala takut runtuh. Tidak ada keinginan lain, selain menyentuh, memelukku kamu, meraih tubuh kecil itu. Kulit kita bersentuhan, kemudian ada suara yang kudengar. Kamu bicara padaku dengan bahasa yang tak dikenal. Hanya kita berdua yang bisa memahaminya.
Pipiku menyentuh pipimu. Semua kenangan kita beradu. Jadi panggung yang bercerita meski hanya dalam kepala. Kita sudah pernah bertemu di kehidupan yang telah lalu. Entah sudah berapa lama. Itu sudah berlalu. Kita di sana, di tempat di mana matahari terbit. Berkeliling dari satu kehidupan ke kehidupan lain. Kamu telah lama sekali mencariku, dan di sinilah kita saling menemukan.
Photo by Konstantin Mishchenko on Pexels.com
Sebuah mimpi pada tanggal 8 Mei 2022. Hari sudah terang ketika aku terbangun. Ternyata, aku menangis ketika memimpikan ini.
kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?
Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.
Bulan April 2022 adalah bulan yang bersejarah buat gue. Ada banyak kejadian penting, yang semoga saja gue inget sampai gue tua nanti. Empat di antaranya adalah ini.
I. Gokil, Gue Dilamar.
Sebut saja Saddam, salah satu teman kuliah gue yang paling pandai, super-logis, penuh perhitungan. Ah, gue sering membayangkan Saddam sebagai jurnal ilmiah berjalan. Gak pernah tuh ngomongin perasaan, kehidupan, percintaan dan tetek-bengeknya. Obrolan seru sama Saddam biasanya mengenai riset untuk berbagai bisnis yang dirintisnya. Namun, hari itu, lain cerita.
Pada satu sore yang random di Alam Sutera, gue dan Saddam sedang menantikan menu yang kami pesan. Kami kelaparan, belum makan siang. Mana matahari lagi lumayan biadab teriknya. Untuk mengalihkan perasaan gak nyaman, Saddam membuka obrolan. Betapa kaget gue, ketika hal pertama yang ditanyakan Saddam bukanlah pendapat gue mengenai pertumbuhan bisnisnya dia, melainkan: gimana perasaan gue setelah dua bulan jadi jomblo pasca empat tahun pacaran.
Ini kejadian beberapa tahun lalu. Pada masa itu, Saddam sedang merencanakan pernikahan. Begitu pula, teman-teman sebaya kami. Mereka semua lagi seru-serunya mencanangkan tanggal dan tempat nikahan, sementara gue … Huft, baru putus. Yang belum diketahui Saddam pada saat itu adalah gue gak cuma baru putus, tapi juga baru aja dipertemukan oleh seorang pria baru yang, menurut ukuran logika gue, sama sekali enggak ideal. Duh, pesanan kami enggak nongol-nongol. Ya udah, gue lanjut cerita. Saddam menyimak.
Dulu, seperti kebanyakan bocah perempuan lain di sekolah, gue sempat punya cita-cita menikah: umur dua lima, pakai gaun putih ekor panjang, bawa sebuket bunga, dan didandani dengan cantik sebelum akhirnya ketemu dengan lelaki di ujung altar yang kemudian bakal menyandang predikat suami. Namun, cita-cita itu ada jauh sebelum gue dua kali putus cinta di tengah ekspektasi untuk menikah, dan tentu jauh sebelum akhirnya Semesta mempertemukan gue dengan seorang lelaki yang sudah pernah menikah, sudah punya satu anak, dan tidak lagi percaya dengan pernikahan karena merasa pernah gagal.
Saddam kemudian bertanya, “Jadi, sekarang lo pacaran sama dia?” Pacar? Jadian aja gak pernah. Kejadian demi kejadian terjadi begitu aja. Di satu sisi, dengan segala fakta yang ada, hati gue bilang dia lelaki yang tepat. Ironisnya, pun dengan segala fakta yang ada, otak gue yang sederhana menyangkal dengan cepat. Pacar sekadar istilah paling mudah yang paling bisa menjelaskan dia itu sebenarnya apa, tapi kenyataan jauh lebih rumit daripada itu.
“Enggak tau. Yang jelas, gue udah gak berharap menikah. Now, I really think marriage is just not for me,” karena malas menjelaskan panjang lebar, hanya itu jawaban yang keluar dari mulut gue. Lagipula, pada saat itu, cita-cita gue waktu bocah tentang menikah umur dua lima memang udah samar banget, tinggal garis-garis tipis berbentuk hati yang sudah patah sana-sini.
Saddam terdiam lama sekali. Awkward, anjir. Saddam, jawablah. Apa kek. Beruntung, akhirnya pesanan kami keluar juga. Babang tukang iga ini entah obsesif soal timing apa pegimana, enggak ngerti. Namun, memang dasar bangkek. Sesaat sebelum suapan pertama, Saddam bilang sesuatu yang gue ingat sampai sekarang.
“I don’t know what’s best for you. Tapi, gue selalu pingin semua temen gue bahagia. Di doa gue, ya, ketemu dengan orang yang tepat, menikah, punya keluarga. Including you. Of course. You’re not easily forgotten.”
Buset. Santai banget doi ngomong. Gantian, gue yang terdiam. Lama banget, sampai akhirnya kita gak pernah ngobrolin itu lagi. Matahari sore mulai kalem, Alam Sutera berangsur sejuk, tapi hati gue tetep panas gak karu-karuan.
Bertahun-tahun berlalu, dan, ah, Semesta memang suka bercanda. Now, I’m 32 going 33. And, getting married. Awal April lalu, gue dilamar Si Pacar. Wah, gokil, doa Saddam kayaknya jadi kenyataan.
II. 333 dan perihal keyakinan.
“Aku mulai yakin mau hidup sama kamu,” adalah satu kalimat dari Si Pacar yang bikin gue hampir keselek lalapan. Tumben-tumbenan, di tengah makan pecel lele tiba-tiba dia romantis. Nah, pas dia romantis, gue malah bingung, “Kok bisa? Selama ini kan kamu bilang kamu gak akan bener-bener yakin?”
Waktu itu, beberapa hari lalu, jam sudah lewat jauh dari tengah malam. Kami berdua baru kelar dengan kerjaan masing-masing. Namun, karena dilanda rasa lapar, kami memutuskan ya-udahlah-makan-dulu sebelum bubaran. Alhasil, pecel lele Bu Dewor jadi pilihan: selalu siaga, selalu enak, dan selalu terpercaya. (Lalapnya juga enggak pelit. Makasih, Bu Dewor!)
Kami sering ngobrol pas lagi makan, terkecuali kalau makanannya enak banget, kami otomatis gagu. Biasanya ini yang terjadi setiap kali menyantap masakan Bu Dewor. Namun, kali itu, beda. Gue lagi seru cabut-cabutin daun kemangi, sambil sesekali gue cemil-cemil kalau ada yang kelihatan segar mengilap, ketika tiba-tiba Si Pacar bilang sekalimat mengagetkan, “Aku mulai yakin mau hidup sama kamu.”
Mana pernah gue nyangka kalimat itu bakal keluar dari mulut Si Pacar. Bertahun-tahun saling kenal, gue sudah sangat paham bahwa merasa yakin tidak pernah lagi jadi bagian dari sifat Si Pacar. Tidak pernah lagi, terutama setelah dia pernah seyakin kalimat “till-death-do-us-part” pada satu waktu kemudian dengan berat hati memutuskan untuk bercerai beberapa tahun kemudian.
Apakah ketidakyakinannya pernah bikin gue sedih? Hmmm. Sedih dan berkecil hati sudah bukan jadi perasaan yang relevan lagi buat gue. Sepertinya, gue udah melewati itu, entah karena terbiasa atau sekadar berlapang hati setelah belajar memahami. Itu semakin make sense setelah Si Pacar pernah bilang, “Malah seharusnya kamu curiga kalau dari awal aku bilang aku yakin mau hidup sama kamu.” Betul juga. Siapalah kita, bisa 100% yakin?
Pas gue tanya kenapa dia sekarang mulai yakin, Si Pacar bilang itu perihal waktu. Satu perihal yang terdengar sederhana, tapi di dalamnya terkandung samudera penuh makna. Dalam hitungan milidetik, ingatan gue dibawa ke awal kedekatan kami yang penuh kecemasan dan kebingungan. Kala itu, Si Pacar pernah bilang, “Percaya aja sama waktu.” Ternyata, ini yang dia maksud?
Obrolan tentang keyakinan ini ditutup oleh Sang Pacar dengan, “Ente gak pernah ngerasain cerai sih.” Ya, tentu aja gak pernah dong, Malih. Ujung-ujungnya kami berdua ngakak. Yah, begitulah. Hubungan kami memang seringkali diwarnai dengan dark jokes dan dark ngakak.
Sambil menghabiskan pecel lele termantap se-Asia Tenggara, gue tenggelam di dalam pikiran gue sendiri. Meskipun ada rasa kaget di situ, gue diselimuti perasaan bahagia. Mendengar Si Pacar, yang selama delapan tahun belakangan belum pernah bilang kalau dia betul-betul yakin bahwa gue orang yang tepat buat dia, melontarkan kalimat sakti itu … Rasanya, setengah beban gue lepas. Ringan. Pecel lele Bu Dewor pun semacam berkali lipat lebih enak daripada biasanya. Lagi di tengah bengong karena kesenengan (atau kekenyangan?), tiba-tiba, Si Pacar bertanya, “Jam berapa sekarang?”
Always-on display di hp gue menunjukkan angka yang tidak dibuat-buat, “3:33,” lalu kami berdua tatap-tatapan dan sama-sama merinding. Beberapa detik kemudian, tanpa janjian dan tanpa bicara apa-apa, kami berdua sama-sama ketawa. Untuk yang pernah atau sering ngulik soal Angel Numbers, pasti paham kenapa.
Oh. That was one of the best nights. Ever. And, I know I can’t thank the Universe enough for my life. The good and the bad. The joy and the pain. No words will be enough for that.
III. TEMAN BARU.
Gue punya teman baru. Sebut saja Firman. Kami ketemu pertama kali dalam satu acara menjelang akhir tahun lalu. Beberapa waktu setelah selesainya acara tersebut, kami mulai mengobrol. Berawal dari obrolan remeh-temeh macam kisah seorang Pak RT bernama Syamsul, berlanjut ke diskusi asik tentang musik, bertukar Katla, sampai bertukar cerita. Pertemanan ini menarik.
Ini orang lucu banget. Bahkan, dalam berbagai kesempatan, gue sering merasa bahwa tanpa berniat ngelucu pun, Firman ini udah lucu banget. Entah udah berapa kali sepanjang beberapa bulan terakhir, gue sering ketawa sendiri pas baca kiriman Whatsapp dari Si Firman.
Selain lucu, Firman punya kebiasaan berpikir dengan cepat. Sebaliknya, gue cenderung lebih lambat. Tidak jarang, obrolan kami melesat dari satu topik ke topik lainnya dengan sangat ringan. Tidak jarang pula, setelah obrolan-obrolan selesai, tinggallah gue berpikir sendirian dan ujung-ujungnya, “ya juga ya,” atau, “kenapa ya?” atau pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Perbedaan di antara gue dan Firman gak cuma itu. Banyak. Kami beda latar belakang, beda pola pikir, beda cara pandang terhadap banyak hal. Serasa hidup kami adalah dua polaritas yang berseberangan. Namun, itu yang bikin pertemanan ini jadi menarik buat gue. Belum lagi, usia Firman yang beberapa tahun lebih tua dengan koleksi pengalaman yang lebih banyak, petualangan hidupnya dari satu kota ke kota lain, plus pertemuannya dengan berbagai jenis manusia, berbagai jenis tragedi, berbagai jenis kebahagiaan … Wah, gue kayak menang banyak ketemu satu orang macam Firman karena gue jadi belajar banyak hal dalam waktu yang terbilang singkat.
Kehadiran Firman di dalam kehidupan gue kayaknya memang pas timingnya. Pasalnya, Firman, yang sudah menikah kurang lebih selama dua tahun dan sekarang sudah punya keluarga kecil yang manis, hampir pasti punya ingatan yang masih segar tentang bagaimana rasanya ketika mempersiapkan pernikahan – sesuatu yang sedang gue alami saat ini. Pada suatu malam yang (lagi-lagi) random, gak lama sebelum lamaran, gue bertanya apakah wajar kalau merasa cemas atau takut menjelang nikah. Gue pikir, jawabannya akan simpel, berupa wejangan atau tips en trik. Gak terduga, Firman melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya sederhana, tapi bikin gue berpikir keras.
Kayaknya Si Firman sadar kalau gue balelol ngejawab pertanyaan-pertanyaan sederhana itu. Ya, gimana gak balelol. Gue sudah lama berpikir untuk tidak menikah karena, ah, terlalu banyak yang terjadi selama bertahun-tahun yang bikin gue berpikir demikian. Namun, situasi berubah ketika akhir tahun lalu kami dapet restu dari orang tua masing-masing dan anak kesayangannya Si Pacar. Gak pake lama, arah hidup kebolak-balik dengan cepat. Gue kewalahan.
Nah, mungkin karena Si Firman sadar gue balelol, akhirnya Beliau mencoba menjelaskan dengan bercerita. Durasi ceritanya mah lumayan singkat, tapi isi ceritanya, wah, gawat. Ada perasaan terenyuh yang tersisa cukup panjang setelah dengar cerita Firman. Malam itu, gue jadi sadar bahwa mungkin Firman bisa jadi seperti Firman yang gue hormati sekarang karena udah ngalamin pendewasaan secara bertubi-tubi setelah serentetan persoalan pelik yang dialaminya.
Firman ini tuh orang apa malekat, hatinya lapang amat. Gue tau, banyak yang bilang bahwa Firman “rahangnya enteng” alias banyak omong doang. Alasan mereka: hidup gak semudah omongan belaka. Lah, emang! Kalau aja mereka tau cerita yang baru aja gue simak soal hidupnya Firman … Sekali-sekali, tanyalah Firman perihal melunturkan ego, perihal menata ulang hidup, dan banyak hal lainnya. Mungkin memang rahangnya enteng, tapi coba timbang pengalaman hidupnya.
Well, karena obrolannya semakin personal dan melahirkan semakin banyak pertanyaan, gue yang balelol ini akhirnya juga menjawab dengan bercerita. Entah energi apa yang mendorong gue pada saat itu, yang jelas gue tergerak untuk menceritakan kecemasan terbesar yang selama bertahun-tahun gue pendam sendiri dan menahan gue untuk melakukan ini-itu yang seharusnya bisa jadi kebahagiaan. Di seantero jagat raya, Firman adalah orang kedua yang gue ceritakan tentang hal ini.
Kelar cerita, gue nangis sejadi-jadinya. Bukan karena sedih, melainkan lega. Namun, insekyur turut melanda dan marahlah gue pada diri sendiri: “Agustin Oendari, kamu nyodorin piring kotor ke orang lain.” Lagi-lagi, entahlah Firman ini tuh orang apa malekat. Firman menenangkan dan meyakinkan gue bahwa enggak apa-apa cerita, harapannya: beban bisa berkurang. Firman pun berbelasungkawa ketika tau bahwa gue pernah kehilangan. Gak cuma itu, Firman sempat berpesan – nah, ini satu pesan yang gue rasa perlu gue ingat selalu:
“Kamu juga berhak untuk jalan terus. Bukan berhenti. Mencoba kembali, dengan seseorang yang sayang sama kamu, itu hak. Berbahagia, itu hak. Sebagaimana bersedih. Kan?”
Itu pesan sampe gue kasih bintang di Whatsapp. Buat Firman, mungkin itu pesan Whatsapp biasa. Buat gue, yang notabene sedang super-anxious, efeknya beda. Pesan dari Firman malam itu semacam satu pertanda Semesta: sudah cukup tujuh tahun patah hati dan sibuk mengobati; sudah, gakpapa, jalan terus aja. Pertanda yang mengantarkan gue mengarungi bulan April yang ternyata menyimpan banyak sekali kejutan.
Ah, kalau saja gue punya cara yang tepat untuk membalas kebaikan dan peran Firman yang hadir tepat saat gue butuh. Belakangan ini, gue sudah jarang bertukar kabar dengan Firman. Kelihatannya, Beliau sibuk. Jadi, yang bisa gue lakukan cuma menyampaikan doa dan permohonan baik kepada Semesta: semoga Firman selalu dijaga.
Oh. Firman tau takdirnya dari dulu adalah jadi seorang ayah, “Pengin banget jadi bapak yang benar.” Maka, itu pula yang jadi doa gue. Semoga Semesta memberikan usia yang cukup panjang, tenaga yang cukup banyak, dan kebijaksanaan seluas samudera bagi Firman untuk mewujudkan cita-citanya yang manis dan mulia.
IV. Lailatul Qadar Yang Penuh Kemurahan.
Wah, soal Lailatul Qadar ini kayaknya bakal panjang. Sayang sekali, entah karena lagi PMS atau energi gue habis setelah Sesi Roemahan, pinggang gue mulai pegal dan migrain gue makin parah. Oh! Untuk pertama kalinya setelah dua tahun vakum, semalam ROEMAHIPONK ngadain Sesi Roemahan lagi. Bahagia dan capeknya pol. Jadi, ya gitu. Gue terusin ini nanti ya. Bhai.
Ada baiknya bagian keempat ini ditulis di kisah yang terpisah dikarenakan … terlalu banyak yang aneh-aneh. Saking aneh-aneh, sampai sekarang gue masih belum memutuskan: mana yang bisa gue bagikan, mana yang enggak. Yodahlah. Lihat nanti. Lihat pertanda.
kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?
Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.
Kamu kembali hadir di dalam mimpi. Lagi–lagi tanpa memperkenalkan diri.
Kamu tau aku akan mengenalimu. Kamu datang dengan membelakangi cahaya, seperti biasa. Menghampiri aku yang terbaring di dalam kekaguman atas pasir paling hangat yang pernah aku rasa. Gelombang yang tenang memeluk kakiku berkali-kali. Dan wajahmu akan ada di sana menghalangi teriknya matahari. Tetes demi tetes mengalir dari ujung rambutmu, jatuh tepat di dahiku. Aku tau kedua matamu memandangi aku. Sementara aku, menatap matamu saja tak bisa.
Aku membuang pandanganku ke pantai sebelah kiri. Kulihat di sana ada perempuan muda yang menarik perahu. Ujung rambutnya biru. Ujung jari-jemari tangannya biru. Biru juga memenuhi mata kaki hingga ke ujung jarinya. Kamu mengenalnya. Dia mengenalmu. Aku tidak mengenal kalian.
Di kanan kita, seorang pemuda yang tegap memanggil mereka, para pemuda yang tidak jauh dari sana. Dia menyuruh mereka untuk berlabuh. Ujung rambutnya biru. Ujung jari-jemari tangannya biru. Biru juga memenuhi mata kaki hingga ke ujung jarinya. Kamu mengenalnya. Dia mengenalmu. Aku tidak mengenal kalian.
Namun, untuk pertama kalinya, aku merasa ada rindu yang telah terjawab. Kalian datang untukku. Dan, aku mengingat kenapa aku ada di sini. Aku menantikan kalian.
kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?
Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.
Kadang, aku berpikir: bagaimana seandainya Yesus tinggal di loteng kamarku. Dia duduk di bawah genteng tua itu. Aku mendengarkan ketika dia sedang cerita. Kadang dia ngelucu, terus aku ketawa malu-malu. Kadang aku ngakak, ya gara-gara dia juga. Tapi, ada masanya, dia kedengeran sedih, seakan pernah ngerasain juga yang namanya kecewa.
Kadang, aku berpikir: bagaimana seandainya Yesus tinggal di loteng kamarku. Dengan sabar, Dia tinggal di sudut yang sumpek itu. Aku mendengarkan ketika dia sedang cerita dan dia mendengarkan ketika aku nangis. Dia melihat aku ketika aku inget berdoa dan melihat juga ketika aku lupa. Dia tau setiap kali aku sedang bingung dan mencari-cari. Dan, ikut seneng ketika aku menemukan kembali semua yang kupercaya, semua yang kuyakini: tujuan, kasih sayang, dan cita-cita.
Kadang, aku berpikir: kalau saja, seandainya Yesus tinggal di loteng kamarku. Peluhnya mengalir dan dibiarkannya. Aku mendengarkan ketika dia sedang cerita. Dia mengingatkan saat aku lalai meminta maaf setiap kali aku yang salah. Dia menguraikan tentang mengampuni setiap kali aku mesti memaafkan. Dia menjelaskan panjang lebar mengenai waktu, mengenai masa lalu, mengenai masa depan, dan apa artinya berlapang dada.
Kayaknya, aku bakal ngerasa jadi orang yang paling beruntung sedunia kalau saja, seandainya Yesus tinggal di loteng kamarku.
Perihal cinta-beda-agama atau nikah-beda-agama memang jadi salah satu permasalahan yang hadir di dalam film “Akhirat: A Love Story”. Tapi, kalau gue ditanya, “Apakah filmnya tentang itu?” … Hmm, gue akan menjawab: bukan.
Kalau gitu, tentang apa dong?
Ini jawaban resmi dari Studio Antelope dan Pak Jason Iskandar, sutradaranya. Film “Akhirat: A Love Story” bercerita tentang sepasang kekasih bernama Timur & Mentari, diperankan oleh Adipati Dolken & Della Dartyan. Mereka memiliki banyak perbedaan, salah satunya perbedaan agama. Dan, di alam raya Indonesia ini, tipe hubungan yang dijalani Timur & Mentari ini mendapat banyak tentangan, termasuk dari keluarga.
Pada suatu malam yang sangat spesial (untuk mengetahui sespesial apa, ya baiknya nonton aja), mereka berdua malah mengalami kecelakaan. Sejujurnya, gue kesel banget. Padahal, harusnya malam itu spesial. Anyway, selepas kecelakaan tersebut, terbangunlah Timur & Mentari di sebuah “dunia fantasi” bernama Akhirat, di mana Timur & Mentari, ironically, malah menemukan kesempatan untuk bisa bersama selamanya, kondisi yang hampir mustahil untuk mereka alami di dunia nyata. Dunia memisahkan, Akhirat malah mempertemukan.
Timur & Mentari dalam “Akhirat: A Love Story”
Ini adalah film petualangan Timur & Mentari menjelajah “dunia fantasi”, yang isinya gak cuma mereka berdua, tapi juga ada karakter-karakter menarik lain yang punya cerita masing-masing, yang muncul di tengah pencarian Timur & Mentari akan jawaban atas pertanyaan, “Apakah Timur & Mentari pada akhirnya bisa bersama selamanya?”.
Lalu, ini jawaban personal dari gue. Film “Akhirat: A Love Story” adalah rekaman perjalanan dua orang bernama Timur & Mentari ketika mereka (atau jangan-jangan gue juga?) secara sadar-gak-sadar mencari jawaban atas pertanyaan: “Hidup (dan hubungan) yang rasanya faktap dan gak ada ujungnya ini akan ke mana sih?”
Dan, setelah menonton filmnya sebanyak puluhan kali dalam jangka waktu kurang lebih tiga bulan dalam keterlibatan gue di dalam film ini, jawaban yang gue temukan atas pertanyaan tadi adalah:
“Hidup, ujungnya akan ke mana? Akan ke satu pecahan momen kecil dalam semesta mahabesar, di mana elo bisa menyimpulkan bahwa ternyata hidup adalah tentang mengoleksi kenangan dari berbagai pertemuan yang pernah terjadi, dialami, dan nyata. Maka selagi ada kesempatan, hargai pertemuan dengan cara yang terbaik yang bisa diusahakan.”
Gimana awalnya keterlibatan Oendari di soundtrack film “Akhirat: A Love Story”? Gimana prosesnya? Apa tantangannya? Ada momen berkesan?
Nah, ini panjang. Gue ceritain di tulisan selanjutnya ya. Kayaknya lebih asik kalau sambil ngebedah satu-persatu lagu yang ada di album soundtrack “Akhirat: A Love Story” kali ya?
Untuk sementara, bisa nonton ini dulu. Di sini, gue dan Iponk menceritakan apa-apa yang ada di balik pembuatan soundtrack film “Akhirat: A Love Story”:
Apakah Timur & Mentari terpisah? Atau mereka bahagia selamanya?
Mohon diingat-ingat, Timur & Mentari udah terpisah dari awal.
Dari beberapa menit pertama film ini pun, elo akan bisa menerka seberapa jauh terpisahnya Timur & Mentari. Buat yang udah nonton dan masih ingat adegan pertama di mana Timur & Mentari ketemu dalam sebuah reuni, apakah ingat juga bahwa Timur & Mentari diam-diam bergandeng tangan di bawah meja? Seingin itu bersentuhan, tapi sedemikian terbiasa sembunyi-sembunyi. Pacaran, tapi berjarak. Itu baru di awal film.
Kisahnya berjalan, kemudian semakin terlihat Timur & Mentari memang terbiasa dengan canggungnya perpisahan. Ada banyak hal yang tertahan di balik percakapan mereka, ngambeknya Mentari, perasaan-perasaan yang gak terkatakan, kebingungan Timur, dan segala peristiwa lainnya di dalam film ini. Banyak hal tertahan karena satu alasan: terbiasa dengan canggungnya perpisahan.
Kurang canggung apa, kalau dalam sebuah hubungan, perpisahan sudah terjadi sejak awalnya? Perpisahan yang Timur & Mentari punya adalah selebar jarak antara dua agama, dua latar belakang keluarga, dua cara mikir yang berbeda. Itu baru sedikit sebelum sekian banyak yang rumit kemudian, yang bikin dua orang ini seakan-akan sudah harus siap kehilangan sebelum betul-betul memiliki.
Lalu, sampailah Timur & Mentari pada satu titik di mana mereka punya kesempatan untuk menjembatani jarak yang ada, yaitu dengan memilih. Di momen itulah, upaya Timur & Mentari melawan semua jarak yang ada di tengah mereka baru terlihat jelas. Pilihan-pilihan yang ada punya kesulitan dan konsekuensinya masing-masing, tapi yang namanya cinta … ya diperjuangkan. Ah, selebihnya, nontonlah. Kalau gue ceritain di sini, antara gue jadi auto-mellow, atau malah nyebar spoiler.
Timur & Mentari dalam “Akhirat: A Love Story”
Dan, menyoal “bahagia selamanya”, sekiranya film ini punya lanjutan cerita pada masa depan, gue rasa (dan gue harap) iya, mereka bahagia selamanya. Lagi-lagi, cuma karena satu alasan, tapi kali ini, alasannya: cinta selamanya.
Sad ending? Atau happy ending?
Tergantung gimana elo memaknai sad dan happy. Selepas gue menonton menit-menit terakhir dari “Akhirat: A Love Story”, gue berbahagia, meskipun dengan eyeliner yang udah beleber ke mana-mana.
Semakin gue merenungi kisahnya Timur dan Mentari, semakin gue yakin, bahwa kesedihan gak selalu termanifestasi dengan ekspresi depresif tingkat tinggi dan air mata yang meluber berdeburan. Begitu pula sebaliknya, percakapan yang dipenuhi haha-hihi dan banyak tawa juga belum tentu berarti bahagia. Nontonlah, mungkin lo akan paham yang gue maksud barusan.
Di film ini, “Akhirat: A Love Story”, Iponk dan gue menemani kalian sepanjang nonton, sedih, seneng, sedih, seneng bergantian sampai menit dan detik terakhir. Literally, sampai menit dan detik terakhir. Sampai tirai-tirai pintu dibuka lagi dan lampu bioskop nyala lagi, sampai kalian selesai nangis, kami setia menemani. Semoga kalian setia menikmati.
Dan, selamat nonton “Akhirat: A Love Story”.Tepat hari ini, 02.02.2022, “Akhirat: A Love Story” sudah tayang di Netflix. Buat yang gak kebagian nonton di bioskop beberapa bulan lalu, ini saatnya kamu nonton. Kemarin di Instagram juga sempet ada yang bilang udah nonton di bioskop beberapa kali tapi kepingin nonton lagi untuk kesekian kali, ya, silakan. Seneng sekali kalau banyak yang menantikan film ini. Ini untuk kalian yang pernah merasakan jatuh cinta, harus terpisah, mengalami kehilangan, namun menghargai pertemuan. Selamat terbuai dalam helai demi helai kenangan.
UNTUK TEMAN-TEMAN PERS / MEDIA,
Berikut ini press kit yang bisa diunduh, berisi informasi lengkap mengenai karya ini:
Canti Tachril berhasil bikin Saya bengong. Dengan cara yang terdengar effortless, Canti mengutarakan dua kata yang tepat menjelaskan apa yang Saya jalani selama kurang lebih tujuh tahun terakhir: mengejar ketenangan.
STOP KERJANYA. PASANG TELINGA. BUKA HATI.
Pertama kali Saya mendengar lagu ini adalah ketika Ivan Gojaya, alias Ivan Iponk, yang didapuk sebagai music produser dan mixing engineernya, sedang preview mix untuk dikirim ke studio mastering. Waktu itu, Saya duduk di sofa studio, nemenin Iponk kerja sembari ngurusin tulisan yang lagi Saya develop.
Awalnya, Saya terlarut dalam apa yang Saya kerjakan. Setiap nemenin Iponk di studio, Saya biasanya gak sengaja curi-curi dengar sepotong-sepotong saja dari lagu yang sedang beliau kerjain. Toh, Saya pun sibuk berkonsentrasi menyeimbangkan jari-jemari supaya kalaupun harus ketak-ketik keyboard laptop, gak terlalu berisik dan gak terlalu ngeganggu yang sedang mixing. Sampai akhirnya, pada ujung proses mixing, Iponk play satu lagu ini dari awal sampai selesai. Di situlah, …
Di situlah, tangan Saya berhenti bergerak. Tubuh kehilangan kontrol. Dari seluruh ujung kaki sampai ujung kepala, seakan-akan yang berfungsi cuma telinga sama otak. Kedua mata Saya perlahan menutup. Ada dingin yang hangat, panas yang sejuk, suhu yang sulit dijelaskan, mengalir dengan pelan-pelan seperti udara yang berbisik di depan liang telinga, “Stop kerjanya. Pasang telinga. Buka hati.”
Saya terdiam selama tiga menit dan lima puluh sekian detik. Lalu, air mata jatuh sendiri.
Sebuah Lagu Berjudul Sanubariku.
Lagu ini dimulai dengan permainan piano yang berani dari Juan Mandagie. Melanjutkan kerjasama yang sudah terjalin dengan baik pada produksi musik dan lagu untuk film Akhirat: A Love Story, Ivan Iponk menunjuk Juan Mandagie sebagai pilihan yang paling tepat untuk menerjemahkan lagu ini lewat piano dan aransemen strings. Juan Mandagie membuka “Sanubariku” dengan ketegasan yang semacam menyatakan bahwa ini sebuah balada.
Tidak lama kemudian, ada suara yang menunjukkan diri. Itu Canti memulai ceritanya. Canti, yang tidak sempat berpijak, terhanyut dalam lamunan, dan menanti-nanti harapan yang hilang di khayalannya. Mendengarkan Canti bercerita tentang kerapuhan melalui lagu ini, rasanya kayak mendengarkan diri sendiri ketika menaikkan doa kepada Yang Maha Semesta. Kecil di hadapan yang Maha Besar.
Ketika dalam kesendirian dan penantian, apa yang harusnya terasa biasa-biasa saja, memang bisa terasa berbeda, seperti penggambaran Canti dalam bait yang ditulisnya. Biru langit ternyata bisa menciptakan pilu. Sunyi malam terasa menderu. Semuanya bisa tiba-tiba intens.
Tidak cuma melalui lirik, intensitas lagu yang bagi Saya terdengar seperti doa ini, pun digambarkan dengan riuh namun indah melalui aransemen strings yang diciptakan Juan Mandagie dan ditempatkan Ivan Iponk mulai dari bagian favorit Saya, berlanjut ketika lagu ini mencapai puncaknya, kemudian surut bersama dengan selesainya lagu ini. Strings quartet, yang terdiri dari Mario Lasar, Sean Jethro, Akira Desmond, dan Jonathan William Abraham, mengiringi khidmatnya kata demi kata yang dinyanyikan oleh Canti.
Gamaliel Tapiheru, yang didapuk sebagai vocal director untuk lagu ini, juga memegang peran yang sangat krusial dalam menciptakan aransemen vokal yang, – haduh, speechless – entah apa ada istilah lain yang lebih tepat selain: ajaib. (Omong-omong, Saya dan Iponk memang pernah ngobrol santai tentang Gamal. Kami sepakat bahwa Gamal adalah salah satu penyanyi yang suaranya sangat, hmmm, surgawi.)
Coba dengarkan sendiri melalui link ini: Canti Tachril – Sanubariku; semalam sudah rilis di semua Digital Streaming Platform dan masih Saya repeat sampai saat ini. Wah, intens banget nih lagu.
Dengar-dengar gosip was-wes-wos, lagu ini ditulis ketika Canti sedang dalam kondisi terisolasi dalam masa penyembuhannya dari Covid tahun 2021 lalu. Ah, kesendirian memang paling-paling. Paling apa? Paling bisa bikin orang menemukan kembali apa yang sebelumnya terlupa atau dikira gak ada.
Lantas, apa yang Canti temukan ketika menulis “Sanubariku” dalam kesendiriannya? Kelihatannya, sama seperti apa yang Saya cari-cari selama ini dan kemudian (kayaknya sudah) Saya temukan kurang lebih satu-dua tahun lalu.
Matahari Dan Perihal Mengejar Ketenangan.
Saya baru berkenalan dengan Canti ketika preliminary meeting lagu “Sanubari” diselenggarakan di studio. Sebelumnya, gak kenal sama sekali. Bahkan, dari obrolan hari itu, kami baru tau bahwa kami satu kampus pas kuliah. Tentu, Canti pun gak tau bahwa Saya punya keterikatan khusus dengan “matahari”. Dan, itulah kenapa bagian chorus lagu ini, di mana Canti menempatkan kata “matahari”, jadi spesial buat Saya. Kenapa?
Baiklah. Melompat mundur ke tahun 2020. Alkisah, pada suatu hari yang ditentukan oleh Semesta, bertemulah Saya dengan seorang … ah, sebut saja Si Om. Saya gak kenal Si Om. Si Om pun gak kenal Saya. Kami hanya dipertemukan oleh Waktu. Lalu, kenapa pertemuan yang random ini Saya ceritakan? Karena berkesan.
Sebelum ketemu Si Om, Saya gak merasa ada yang istimewa dari Matahari. Matahari terbit, membakar diri sehingga bumi kecipratan hangatnya, lalu terbenam. Itu sudah. Setiap hari. Apa istimewanya?
“Sepanjang hidup, hujan akan ada banyak. Namun, cuma butuh satu Matahari, semua akan terang lagi.”
Itu kalimat Si Om yang Saya ingat sampai sekarang. Awalnya, Saya sok ngerti, tanpa betul-betul paham apa makna terdalam dari kalimat sesederhana itu. Lah, ternyata dalem banget. Si Om sempat menceritakan dengan sangat singkat: satu sosok istimewa yang dia ibaratkan seperti matahari. Sebut saja dia Si Pemuda.
Alkisah dalam alkisah, Si Pemuda ini pernah membela seorang perempuan yang dianggap oleh masyarakat sebagai perempuan cela. Padahal tanpa ikatan emosional, tanpa hubungan romantis apa-apa. Kenal pun enggak.
Perempuan cela yang cemas dan tersakiti secara mental itu hampir diamuk warga karena kedapatan berzinah. Si Pemuda, yang kebetulan lewat di daerah tersebut, pas tau situasi yang sedang terjadi, langsung merangsek ke tengah kerumunan warga yang sudah hampir merajam perempuan itu. Si Pemuda berdiri di tengahnya dan menghalangi Perempuan itu dari amukan warga. Si Pemuda menulis sesuatu di tanah, dan bilang, “Siapa yang merasa hidupnya paling bener, gak ada dosa, gak pernah bikin salah, silakan jadi yang pertama ngelempar batu.”
Setelah satu kalimat singkat itu, keributan mereda lalu perlahan bubar. Sang Perempuan bingung. Si Pemuda hanya bilang pada Perempuan itu, “Udah. Elo pergi. Mulai sekarang, jangan aneh-aneh lagi,” Gak semua orang paham sama kelakuan Si Pemuda. Namun, Saya rasa, hampir pasti hidup Perempuan itu gak sama lagi setelah kejadian hari itu. Lama gak kedengeran lagi, tau-tau ada kabar: Si Pemuda itu dihukum mati karena kesalahan orang lain.
Si Om kedengarannya sangat mengagumi sosok Si Pemuda. Pahlawan sejati, baginya. Melihat kekaguman yang sebesar itu dan bagaimana Si Om mengibaratkan Si Pemuda itu seperti matahari, … ah, hidup Saya pun gak sama lagi. Iyalah, wong akhirnya, sampai ada satu lagu yang khusus Saya tuliskan mengenai ini. Namun, baiklah, Saya ceritakan lain waktu.
Belakangan, setiap Saya mulai cemas karena banyak perintilan dalam hidup, Saya teringat Si Om, teringat Si Pemuda, dan teringat Matahari. Sambil berharap bahwa, sama seperti terhadap Perempuan dalam cerita itu, akan ada sosok yang datang tepat waktu, memeluk kecemasan Saya dengan rela dan mengubahnya menjadi ketenangan.
Entah apa yang sebenarnya sedang dirasakan Canti ketika menuliskan bagian chorus dari lagu “Sanubariku” dan menempatkan kata matahari di situ. Saya gak tau. Namun, ketika Canti menutupnya dengan “Dalam kehilangan, kaulah tempatku pulang,” Saya teringat Si Pemuda. Di situlah, Saya menitikkan air mata.
DUARR! ADA VIDEO KLIPNYA.
Saya gak akan cerita lebih banyak lagi karena tulisan ini kayaknya udah panjang banget. Singkatnya, setelah apa yang Saya alami ketika pertama kali mendengar lagu “Sanubariku”, video klipnya bikin Saya merinding. Silakan nonton aja sendiri, selamat mengejar ketenangan, dan semoga menemukan tempat pulang. Ini:
“Sanubariku” / Performed by Canti Tachril / Music Producer: Ivan Gojaya / Vocal Director/Producer: Gamaliel Tapiheru / Songwriter: Canti Tachril / Piano & Strings Arrangement: Juan Mandagie / Violin 1: Mario Lasar / Violin 2: Sean Jethro / Viola: Akira Desmond / Violoncello: Jonathan William Abraham / Strings Engineer: Michael Septian Wahyudi / Mixed by: Ivan Gojaya at ROEMAHIPONK Music Studio / Mastered by: Chris Gehringer at Sterlingsound / All tracks recorded & produced at ROEMAHIPONK Music Studio
“Sanubariku” Music Video by Pincster / Talent: Canti Tachril, Aldafi Adnan, Mario Lasar, Jonathan William Abraham, Juan Mandagie / Produced by: Christabel Fortunatus / Directed by: Rein Maychaelson / Line Producer: Lisa Victory / Director of Photography: Leontius Tito / Choreographed by: Davit Fitrik / Make-up Artist: Dorothea Toemon / Hairdo: Yasmin Raudatul Jannah / Wardrobe: Fadillah Putri Yunidar / Dress: Jeffry Tan
Di tengah menulis ini, Banten digoyang gempa. Ya ampun. Betapa kita memang kecil di hadapan yang Maha Besar. Digoyang dikit langsung ketar-ketir. Ya udah, berdoa aja. Semoga semua dilindungi oleh Yang Maha Semesta.
UNTUK TEMAN-TEMAN PERS / MEDIA,
Berikut ini press kit yang bisa diunduh, berisi informasi lengkap mengenai karya ini:
Agustin Oendari adalah seorang penulis lagu dan penyanyi yang mengawali karier pada 2014 dengan menulis dan menyanyikan lagu Selamat Pagi Malam untuk film berjudul sama karya sutradara Lucky Kuswandi. Lagu tersebutlah yang pertama kali mempertemukan Oendari dengan pendengar setia yang terus mendukungnya hingga melalui beberapa rilisan untuk film-film lain, seperti Galih & Ratna, satu lagi karya sutradara Lucky Kuswandi, dan Susah Sinyal, karya sutradara Ernest Prakasa.
Rilisan-rilisan Oendari yang lain pun telah mendapat perhatian khusus dari berbagai streaming platform dan media, antara lain: LHSW yang sempat menjadi bagian dari banner utama aplikasi JOOX pada masa rilisnya dan juga disiarkan di berbagai media musik ternama, seperti Billboard Indonesia dan Pophariini; Bend Down dan Selamat Pagi Malam yang berada di deretan nominasi AMI Awards ke-22; dan beberapa lagu dalam album soundtrack Galih & Ratna yang mendapatkan kesempatan spesial JOOX Concert Galih & Ratna tahun 2017, seperti Hampir Sempurna, yang ditampilkan oleh Rendy Pandugo, Song Of Goodbye, yang ditampilkan oleh Ivan Gojaya yang juga adalah produser dari hampir seluruh karya Oendari, dan lagu-lagu lain yang ditampilkan oleh Oendari, seperti Nyatanya Sementara, Dari Rindu Kepada Rindu.
Selain terlibat dalam berbagai karya kolaboratif sebagai penyanyi atau penulis lagu, Oendari juga sempat berkiprah sebagai vocal director, bekerja bersama musisi dan produser ternama, antara lain Titiek Puspa, Dutacinta, Momo Geisha, Sheryl Sheinafia, dan Steve Lillywhite. Keterlibatan Oendari sebagai vocal director juga terdapat pada lagu Lathi (Weird Genius ft. Sara Fajira), Dunia (Mytha Lestari), A Million Stars (Album Kolaborasi Rising Stars), dan masih banyak lagi. Tahun 2021, Oendari dengan merilis album dari keterlibatannya di dalam sebuah film berjudul Akhirat: A Love Story.
kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?
Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.
Saya menulis ini di dalam kesendirian malam, hanya berteman “Bintang di Surga”.
Dulu, sebuah album berjudul “Bintang di Surga” milik Peterpan terjual jutaan kopi dan menyabet penghargaan sana-sini. Lagu-lagunya diputer di mana-mana. Radio, televisi, angkot, sampai warnet. Saya sendiri gak pernah beli album fisiknya Peterpan. Bukannya apa, gak punya duit. Namun, memang sehebat itu Peterpan, sampai Saya, yang gak punya albumnya aja, terpapar lagunya dari mana-mana.
Saya, yang pada jaman itu masih anak bocah, gak ngerti sama sekali ketika denger lirik “Bintang di Surga”. Namun, memang patut diakui, Boriel adalah jagoan perihal menulis lagu dan dianugerahi dengan gaya nyanyi yang cuma punya doski. Di bawah terik matahari Jakarta, dengan bersimbah keringat yang aromanya biadab, Saya pulang sekolah jalan kaki sambil humming-humming sendiri. Ah, apalah itu terik matahari kalau kepala sudah terlampau penuh oleh auman Ariel Peterpan, maungnya Bandung.
Omong-omong, sampai sekarang, itu auman gak berubah. Tetap ganas.
Bintang di Surga berikan cerita.
Buat Saya, gak cuma nama yang adalah doa. Setelah makin banyak menulis lagu, Saya pun kini percaya bahwa lagu adalah doa. Dan, yang menyanyikannya terus adalah pendoa yang setia, termasuk Saya.
Saya baru punya album fisik “Bintang di Surga” beberapa belas tahun setelah albumnya rilis. Bahkan, setelah lebih dulu menikmati album “Suara Lainnya”, yang sukses bikin Saya jatuh cinta dan penasaran pada band Bandung yang pada waktu itu menyandang nama Ariel, Uki, Lukman, Reza, David.
CD “Bintang di Surga” baru Saya miliki kemudian, dihadiahi seorang sahabat pada hari ulang tahun Saya yang entah keberapa, Saya juga lupa. Sebut saja Abram Lembono, karena memang itu namanya. Entah beberapa bulan lamanya, dua lagu dari album ini Saya repeat terus untuk menemani nyetir. Salah satunya adalah “Bintang di Surga”. Satu lagi juga ajaib, tapi, ah, Saya bahas nanti saja. Karena, saat ini, Saya jadi punya keterikatan yang lebih spesial sama lagu “Bintang di Surga”. Kenapa?
Karena, nyatanya, Bintang di Surga memang telah memberikan cerita. Setidaknya, buat Saya.
Tidak ingat tahun berapa, tapi semua memang dimulai dari Abram Lembono, yang memberikan Saya CD “Bintang di Surga” yang lama bersemayam di CD player mobil pertama Saya, yang menemani Saya bolak-balik Jakarta-Karawaci selama bertahun-tahun. Seperti yang sudah Saya bilang, track “Bintang di Surga” adalah salah satu lagu di album tersebut yang memang Saya repeat terus sepanjang perjalanan untuk mengiringi Saya nyanyi-nyanyi, sampai akhirnya bunyinya meleyot dan, mau tidak mau, CD tersebut pensiun.
Tidak lama setelah itu, Abram Lembono memperkenalkan Saya dengan sahabatnya dari SMA. Namanya Ivan Gojaya, yang kini sering Saya sebutkan namanya dalam banyak tulisan dengan sebutan Iponk. Mereka sama-sama sekolah di Bandung, lalu merantau ke Karawaci pas kuliah. Kami berkenalan kemudian mengerjakan proyek musik bersama untuk beberapa tahun berikutnya. Band. Salah satu referensi utamanya: Peterpan. Namun, proyek tersebut mangkrak di tengah jalan. Bubar. Kehidupan kami bertiga terpisah ke jalan masing-masing. Abram pindah ke Jakarta. Iponk semakin sibuk dengan studionya. Dan, Saya, ya gitu-gitu aja.
Lalu, tibalah tahun 2014. Saya kembali dipertemukan dengan Iponk oleh satu proyek film layar lebar yang terbilang tiba-tiba. Pada tahun yang sama, Abram Lembono juga tiba-tiba hadir kembali dengan membawa satu proyek dari Musica Studio’s, proyeknya Eyang Titiek Puspa. Entah kenapa, kami bertiga dikumpulkan kembali oleh hidup. Sebagian dari kita mungkin menyebutnya dengan istilah: kebetulan.
Bersama EyangYa kapan lagi, kan?Bersama NOAH
Dalam proyek Eyang Titiek, Saya menjadi salah satu penulis di dalam salah satu lagu Duta Cinta berjudul “Lagu untuk Bunda”, lagu di mana Abram juga menjadi salah satu komposernya. Selain lagu tersebut, ada banyak lagu lain dalam proyek satu album di mana Iponk menjadi produsernya. Pada hari penandatanganan kontrak di Musica, ternyata sedang ada rekaman Noah dan ada Ariel di sana. “Kapan lagi ketemu Ariel NOAH, foto lah,” demikian pikir Saya. Maka, terukirlah dalam sejarah pribadi Saya: pada suatu hari di tahun 2015, Agustin Oendari, yang pagi itu belum mandi, berfoto dengan Ariel NOAH. Hanya sebatas itu, satu centang untuk bucket list Saya yang super sederhana. Done.
Proyek Eyang Titiek berlangsung lebih lama daripada dugaan Saya. Kirain setelah sealbum kelar, udah. Ternyata, lanjut terus ke tahun-tahun berikutnya. Dan, kirain, Saya gak akan ketemu lagi dengan NOAH, ataupun Ariel. Ternyata, Mas Teddy, A&R Musica mempertemukan kami kembali. Lagi-lagi, Saya gak betul-betul ingat proyeknya apa, karena waktu itu, semua berjalan dengan cepat. Yah, hal-hal seru memang seringkali terasa berjalan dengan cepat. Dan, lagi-lagi, sebagian dari kita mungkin menyebutnya dengan istilah: kebetulan.
Pada akhirnya, proyek Eyang Titiek surut seiring berlalunya tahun demi tahun. Abram pun melanjutkan pendidikan keluar negeri. Tersisa Saya dan Iponk yang sampai saat ini bekerja bersama, Saya dan Eyang yang tetap berteman sampai sekarang, dan rekan-rekan Duta Cinta yang selalu bikin rindu. Namun, sudah barang tentu, perjalanan kami dengan Musica terpisah ke jalan masing-masing. Yep. Rasanya, selesai di situ. Sampai pada satu ketika …
Sekitar pergantian tahun 2021 ke 2022 yang lalu, Mas Teddy menghubungi Iponk perihal rencana NOAH merilis kembali album Bintang di Surga. Betapa sebuah panggilan telepon sederhana bisa sedemikian mengagetkan.
Bersinggungan lagi dengan Musica, dengan Mas Teddy, dengan NOAH, dengan Ariel, adalah sesuatu yang di luar dugaan kami. Kirain setelah proyek Eyang Titiek kelar, udah. Ternyata, … ah, hidup memang aneh.
Saya jadi berpikir, jangan-jangan, apa yang sebagian dari kita sebut sebagai kebetulan, mungkin bukan kebetulan. Jangan-jangan, itu adalah cerita yang diberikan oleh Bintang di Surga, yang Saya nyanyikan sepanjang perjalanan Jakarta-Karawaci; yang tanpa sadar sudah jadi doa yang Saya panjatkan. On repeat.
Oh! Tadi Saya sempat bilang bahwa ada satu lagu lagi di album “Bintang di Surga” yang menurut Saya juga ajaib. Masih ingat? Lagu itu adalah “Di Belakangku”. Hmm, sebagian dari kita mungkin menyebutnya dengan istilah: kebetulan.
Cerita, dan kasih yang setia, dan cahaya nyata.
Meskipun album ini adalah bagian dari proyek bertajuk Second Chance, apakah berarti “Bintang di Surga” yang kali ini merupakan upaya Noah mengulang cerita kesuksesan Peterpan? Menurut Saya, enggak. Noah menciptakan cerita kesuksesan baru, di alam yang baru, meskipun dengan lagu yang lama. And, it turns out: spectacular.
Mungkin cerita kesuksesan Noah yang kali ini adalah salah satu cerita yang diberikan Surga, seperti yang telah dirapalkan oleh Boriel di dalam liriknya. Seperti yang Saya percaya, siapapun yang menyanyikannya terus, pada suatu waktu yang misterius, akan menemukannya: cerita, kasih yang setia, dan cahaya nyata.
UNTUK TEMAN-TEMAN PERS / MEDIA,
Berikut ini press kit yang bisa diunduh, berisi informasi lengkap mengenai karya ini:
Agustin Oendari adalah seorang penulis lagu dan penyanyi yang mengawali karier pada 2014 dengan menulis dan menyanyikan lagu Selamat Pagi Malam untuk film berjudul sama karya sutradara Lucky Kuswandi. Lagu tersebutlah yang pertama kali mempertemukan Oendari dengan pendengar setia yang terus mendukungnya hingga melalui beberapa rilisan untuk film-film lain, seperti Galih & Ratna, satu lagi karya sutradara Lucky Kuswandi, dan Susah Sinyal, karya sutradara Ernest Prakasa.
Rilisan-rilisan Oendari yang lain pun telah mendapat perhatian khusus dari berbagai streaming platform dan media, antara lain: LHSW yang sempat menjadi bagian dari banner utama aplikasi JOOX pada masa rilisnya dan juga disiarkan di berbagai media musik ternama, seperti Billboard Indonesia dan Pophariini; Bend Down dan Selamat Pagi Malam yang berada di deretan nominasi AMI Awards ke-22; dan beberapa lagu dalam album soundtrack Galih & Ratna yang mendapatkan kesempatan spesial JOOX Concert Galih & Ratna tahun 2017, seperti Hampir Sempurna, yang ditampilkan oleh Rendy Pandugo, Song Of Goodbye, yang ditampilkan oleh Ivan Gojaya yang juga adalah produser dari hampir seluruh karya Oendari, dan lagu-lagu lain yang ditampilkan oleh Oendari, seperti Nyatanya Sementara, Dari Rindu Kepada Rindu.
Selain terlibat dalam berbagai karya kolaboratif sebagai penyanyi atau penulis lagu, Oendari juga sempat berkiprah sebagai vocal director, bekerja bersama musisi dan produser ternama, antara lain Titiek Puspa, Dutacinta, Momo Geisha, Sheryl Sheinafia, dan Steve Lillywhite. Keterlibatan Oendari sebagai vocal director juga terdapat pada lagu Lathi (Weird Genius ft. Sara Fajira), Dunia (Mytha Lestari), A Million Stars (Album Kolaborasi Rising Stars), dan masih banyak lagi. Tahun 2021, Oendari dengan merilis album dari keterlibatannya di dalam sebuah film berjudul Akhirat: A Love Story.
kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?
Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.
Bila aku mati, aku mungkin saja tidak pergi ke surga. Atau tidak juga ke neraka. Aku mungkin hanya tidur, tidur yang sangat panjang, sangat lama. Dan, bila aku bangun, mungkin aku telah menjadi bentuk yang berbeda.
Aku mungkin jadi mimpi. Mimpimu, yang terkenang-kenang, melayang di dalam tidurmu. Aku mungkin jadi cucuran air keran yang jatuh di tanganmu ketika kau bangun pagi dan menggosok gigi. Cucuran air yang leleh, yang mengingatkanmu tentang kita ketika berbagi hujan bersama. Kita juga berbagi terik bersama, dan di situ juga mungkin aku ada. Aku mungkin jadi bias-bias matahari yang menembus jendela kamarmu melalui sela-sela batang perdu.
Aku mungkin tidak pergi ke surga ataupun neraka, nanti ketika aku mati. Namun, aku bisa jadi apa saja dan tetap mencintai kamu dan semua ingatan tentang kamu.
Kehilangan adalah keniscayaan bila kau sedemikian lama memelihara rasa sayang. Namun, kenangan akan menghangatkan hatimu, saat jarak terlanjur menghangatkan pelupuk matamu.
kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?
Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.
Udah move on belom? Kalo belom, meningan jangan baca tulisan ini. Namun, kalau masih bandel juga, ya udah. Hati deg-degan, tangan keringetan, keinget-inget mantan, tanggung sendiri ya.
“Kita Tak Bisa Kemana-mana Lagi” adalah film pendek yang bercerita tentang sepasang mantan kekasih, Gigi (yang diperankan oleh Sheila Dara Aisha) & Nino (yang diperankan oleh Rolando Octavio), yang bakal segera menikah dengan pasangan masing-masing.
Pada satu malam, mereka berdua melakukan perjalanan dengan mobil dan ketika mereka sampai di tujuan akhir, mereka sama-sama gak kepingin keluar dari mobil itu segera. Kenapa tuh? Ya udah, nonton dulu lah. Baru kita lanjut cerita lagi.
Kita Tak Bisa Ke Mana-mana Lagi – Official Short Film (2021)
Sebelum Lanjut Cerita,
Mari mundur sejenak ke awal tahun 2021.
Tepatnya, bulan Januari. Bertepatan dengan harinya gue ngerilis lagu Tenang Dan Bersabarlah, secara tiba-tiba, gue diperkenalkan oleh seorang teman, kepada seorang produser film, namanya Hannan. Hari itu kenalan, hari itu juga Hannan dengerin satu album perdana yang sedang gue persiapkan, termasuk di dalamnya ada lagu Tenang Dan Bersabarlah. Bukannya ge-er, tapi yang gue inget dari hari itu, kayaknya lagu ini meninggalkan kesan buat Hannan. Tapi, ah, mungkin aja aku cuma ge-er, Bund.
Gak berapa lama setelah perkenalan hari itu, Hannan cerita bahwa dia sedang merampungkan sebuah film pendek. Hannan pun bertanya, apakah lagu Tenang Dan Bersabarlah boleh jadi bagian dari film pendek tersebut. Wah, ternyata kege-eranku berbuah manis. Makin ge-er lah aku, Bund. Dan, ya tentu bolehlah!
Lama berselang, pandemi makin ngehits, gue pun makin sibuk dengan rilisan bertubi-tubi. Kalau tau dan masih inget, selama empat bulan pertama tahun 2021, gue merilis satu lagu setiap bulannya. Situasi semakin pelik ketika memasuki tengah tahun. Puncaknya adalah bulan Mei.
Bulan Mei 2021 adalah sebuah bulan yang sulit, di mana hampir setiap hari gue ketemu dengan berita duka. Mulai dari duka orang-orang yang gue gak terlalu kenal, sampai duka yang menjalar ke lingkaran yang terdekat. Otak mulai gak kuat dipapar media sosial dan hati mulai gak tahan menerima berbagai pesan. Maka, rehatlah gue dari dunia maya dan membiarkan diri gue gak denger update apa-apa. Instagram dan Whatsapp lagi jarang-jarangnya gue buka.
Baru ketika memasuki bulan September, gue sekrol ratusan pesan yang masuk dan cek satu-satu. Dari antara pesan-pesan tersebut, terseliplah berita bahwa film ini ternyata udah tayang. Gue tonton sampe abis, sampe durasi paling ujung, lalu DUARRR!
Padahal niatnya mah mau narsis aja. “Nonton ah, gue mau tau lagu gue muncul di mana.” Tau-tau, gue malah keasyikan mengagumi aktingnya Sheila Dara Aisha & Rolando Octavio, yang berhasil bikin gue bertanya-tanya: ini dua-duanya emang mantan beneran di dunia nyata apa gimana sik? Mulai dari luwesnya obrolan bertema nostalgia, adegan adu kentut yang super-relatable, sampe berantemnya pun, … hih, kok kayak beneran!
Kesederhanaan yang terasa di film ini, yang gue yakin direncanakan dan dilakukan dengan cara yang gak sederhana, bikin gue terlena nonton sampe ujung cerita. Sampai akhirnya gue menemukan lagu Tenang Dan Bersabarlah hadir di momen aku-kamu yang … uhuk-uhuk … yaudahlah lo tonton aja sendiri.
Bang Fazrie Permana ini tinggalnya di mana, kayaknya gue harus sungkem sama bapak sutradara sekaligus penulis naskah. Selamat, Bang, filmnya berhasil membuatku ter-uhuk-uhuk. Dan, selamat juga kepada masing-masing nama di balik produksi film ini, kalian semua keren!
Dan, untuk Hannan, gue ingin mengucapkan terima kasih karena lagu Tenang Dan Bersabarlah diperkenankan untuk hadir di film “Kita Tak Bisa Kemana-mana Lagi” (bersanding dengan satu lagu dari musisi sekeren Matter Halo pula, “Kamulah Yang Terindah”, mimpi apa aku, Bund). Gak cuma itu, Tenang Dan Bersabarlah ditempatkan di bagian yang, buat gue, sangat berkesan. Oh iya! Satu lagi. Terima kasih, atas sebuah pesan manis yang pernah Hannan sampaikan:
“… Kenapa aku memilih lagu Tenang dan Bersabarlah sebagai ending film kami … Karena, pada dasarnya, hidup tentang sebuah perjalanan dan proses. … Film ini berbicara tentang mencoba mengikhlaskan sesuatu yg bukan untuk kita. … Saat pertama kali mendengar lagu Botin ini, bahkan sebelum dirilis, salah satunya adalah (tentang) hal itu. … Dan, lagu ini juga memberikan penekanan untuk itu, untuk bisa tenang dan bersabar pada saat perjalanan mengikhlaskan. …”
Hannan Cinthya
Ngomong-ngomong,
Baru sadar. Iya juga ya. Mengikhlaskan adalah sebentuk perjalanan. Supaya paham, tontonlah: “Kita Tak Bisa Kemana-mana Lagi“.
kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?
Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.