Tentang Eyang


Agustin Oendari adalah seorang penulis lagu dan penyanyi yang mengawali karier pada 2014 dengan menulis dan menyanyikan lagu Selamat Pagi Malam untuk film berjudul sama karya sutradara Lucky Kuswandi. Lagu tersebutlah yang pertama kali mempertemukan Oendari dengan pendengar setia yang terus mendukungnya hingga melalui beberapa rilisan untuk film-film lain, seperti Galih & Ratna, satu lagi karya sutradara Lucky Kuswandi, dan Susah Sinyal, karya sutradara Ernest Prakasa.

Rilisan-rilisan Oendari yang lain pun telah mendapat perhatian khusus dari berbagai streaming platform dan media, antara lain: LHSW yang sempat menjadi bagian dari banner utama aplikasi JOOX pada masa rilisnya dan juga disiarkan di berbagai media musik ternama, seperti Billboard Indonesia dan Pophariini; Bend Down dan Selamat Pagi Malam yang berada di deretan nominasi AMI Awards ke-22; dan beberapa lagu dalam album soundtrack Galih & Ratna yang mendapatkan kesempatan spesial JOOX Concert Galih & Ratna tahun 2017, seperti Hampir Sempurna, yang ditampilkan oleh Rendy Pandugo, Song Of Goodbye, yang ditampilkan oleh Ivan Gojaya yang juga adalah produser dari hampir seluruh karya Oendari, dan lagu-lagu lain yang ditampilkan oleh Oendari, seperti Nyatanya Sementara, Dari Rindu Kepada Rindu.

Selain terlibat dalam berbagai karya kolaboratif sebagai penyanyi atau penulis lagu, Oendari juga sempat berkiprah sebagai vocal director, bekerja bersama musisi dan produser ternama, antara lain Titiek Puspa, Dutacinta, Momo Geisha, Sheryl Sheinafia, dan Steve Lillywhite. Keterlibatan Oendari sebagai vocal director juga terdapat pada lagu Lathi (Weird Genius ft. Sara Fajira), Dunia (Mytha Lestari), A Million Stars (Album Kolaborasi Rising Stars), dan masih banyak lagi. Tahun 2021, Oendari dengan merilis album dari keterlibatannya di dalam sebuah film berjudul Akhirat: A Love Story.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Tentang Perjalanan Ziarah ke Turki


Agustin Oendari adalah seorang penulis lagu dan penyanyi yang mengawali karier pada 2014 dengan menulis dan menyanyikan lagu Selamat Pagi Malam untuk film berjudul sama karya sutradara Lucky Kuswandi. Lagu tersebutlah yang pertama kali mempertemukan Oendari dengan pendengar setia yang terus mendukungnya hingga melalui beberapa rilisan untuk film-film lain, seperti Galih & Ratna, satu lagi karya sutradara Lucky Kuswandi, dan Susah Sinyal, karya sutradara Ernest Prakasa.

Rilisan-rilisan Oendari yang lain pun telah mendapat perhatian khusus dari berbagai streaming platform dan media, antara lain: LHSW yang sempat menjadi bagian dari banner utama aplikasi JOOX pada masa rilisnya dan juga disiarkan di berbagai media musik ternama, seperti Billboard Indonesia dan Pophariini; Bend Down dan Selamat Pagi Malam yang berada di deretan nominasi AMI Awards ke-22; dan beberapa lagu dalam album soundtrack Galih & Ratna yang mendapatkan kesempatan spesial JOOX Concert Galih & Ratna tahun 2017, seperti Hampir Sempurna, yang ditampilkan oleh Rendy Pandugo, Song Of Goodbye, yang ditampilkan oleh Ivan Gojaya yang juga adalah produser dari hampir seluruh karya Oendari, dan lagu-lagu lain yang ditampilkan oleh Oendari, seperti Nyatanya Sementara, Dari Rindu Kepada Rindu.

Selain terlibat dalam berbagai karya kolaboratif sebagai penyanyi atau penulis lagu, Oendari juga sempat berkiprah sebagai vocal director, bekerja bersama musisi dan produser ternama, antara lain Titiek Puspa, Dutacinta, Momo Geisha, Sheryl Sheinafia, dan Steve Lillywhite. Keterlibatan Oendari sebagai vocal director juga terdapat pada lagu Lathi (Weird Genius ft. Sara Fajira), Dunia (Mytha Lestari), A Million Stars (Album Kolaborasi Rising Stars), dan masih banyak lagi. Tahun 2021, Oendari dengan merilis album dari keterlibatannya di dalam sebuah film berjudul Akhirat: A Love Story.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Tentang Pestapora Pertamaku


Agustin Oendari adalah seorang penulis lagu dan penyanyi yang mengawali karier pada 2014 dengan menulis dan menyanyikan lagu Selamat Pagi Malam untuk film berjudul sama karya sutradara Lucky Kuswandi. Lagu tersebutlah yang pertama kali mempertemukan Oendari dengan pendengar setia yang terus mendukungnya hingga melalui beberapa rilisan untuk film-film lain, seperti Galih & Ratna, satu lagi karya sutradara Lucky Kuswandi, dan Susah Sinyal, karya sutradara Ernest Prakasa.

Rilisan-rilisan Oendari yang lain pun telah mendapat perhatian khusus dari berbagai streaming platform dan media, antara lain: LHSW yang sempat menjadi bagian dari banner utama aplikasi JOOX pada masa rilisnya dan juga disiarkan di berbagai media musik ternama, seperti Billboard Indonesia dan Pophariini; Bend Down dan Selamat Pagi Malam yang berada di deretan nominasi AMI Awards ke-22; dan beberapa lagu dalam album soundtrack Galih & Ratna yang mendapatkan kesempatan spesial JOOX Concert Galih & Ratna tahun 2017, seperti Hampir Sempurna, yang ditampilkan oleh Rendy Pandugo, Song Of Goodbye, yang ditampilkan oleh Ivan Gojaya yang juga adalah produser dari hampir seluruh karya Oendari, dan lagu-lagu lain yang ditampilkan oleh Oendari, seperti Nyatanya Sementara, Dari Rindu Kepada Rindu.

Selain terlibat dalam berbagai karya kolaboratif sebagai penyanyi atau penulis lagu, Oendari juga sempat berkiprah sebagai vocal director, bekerja bersama musisi dan produser ternama, antara lain Titiek Puspa, Dutacinta, Momo Geisha, Sheryl Sheinafia, dan Steve Lillywhite. Keterlibatan Oendari sebagai vocal director juga terdapat pada lagu Lathi (Weird Genius ft. Sara Fajira), Dunia (Mytha Lestari), A Million Stars (Album Kolaborasi Rising Stars), dan masih banyak lagi. Tahun 2021, Oendari dengan merilis album dari keterlibatannya di dalam sebuah film berjudul Akhirat: A Love Story.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Tentang Si Coklat


Agustin Oendari adalah seorang penulis lagu dan penyanyi yang mengawali karier pada 2014 dengan menulis dan menyanyikan lagu Selamat Pagi Malam untuk film berjudul sama karya sutradara Lucky Kuswandi. Lagu tersebutlah yang pertama kali mempertemukan Oendari dengan pendengar setia yang terus mendukungnya hingga melalui beberapa rilisan untuk film-film lain, seperti Galih & Ratna, satu lagi karya sutradara Lucky Kuswandi, dan Susah Sinyal, karya sutradara Ernest Prakasa.

Rilisan-rilisan Oendari yang lain pun telah mendapat perhatian khusus dari berbagai streaming platform dan media, antara lain: LHSW yang sempat menjadi bagian dari banner utama aplikasi JOOX pada masa rilisnya dan juga disiarkan di berbagai media musik ternama, seperti Billboard Indonesia dan Pophariini; Bend Down dan Selamat Pagi Malam yang berada di deretan nominasi AMI Awards ke-22; dan beberapa lagu dalam album soundtrack Galih & Ratna yang mendapatkan kesempatan spesial JOOX Concert Galih & Ratna tahun 2017, seperti Hampir Sempurna, yang ditampilkan oleh Rendy Pandugo, Song Of Goodbye, yang ditampilkan oleh Ivan Gojaya yang juga adalah produser dari hampir seluruh karya Oendari, dan lagu-lagu lain yang ditampilkan oleh Oendari, seperti Nyatanya Sementara, Dari Rindu Kepada Rindu.

Selain terlibat dalam berbagai karya kolaboratif sebagai penyanyi atau penulis lagu, Oendari juga sempat berkiprah sebagai vocal director, bekerja bersama musisi dan produser ternama, antara lain Titiek Puspa, Dutacinta, Momo Geisha, Sheryl Sheinafia, dan Steve Lillywhite. Keterlibatan Oendari sebagai vocal director juga terdapat pada lagu Lathi (Weird Genius ft. Sara Fajira), Dunia (Mytha Lestari), A Million Stars (Album Kolaborasi Rising Stars), dan masih banyak lagi. Tahun 2021, Oendari dengan merilis album dari keterlibatannya di dalam sebuah film berjudul Akhirat: A Love Story.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Tentang Dua Serigala


Agustin Oendari adalah seorang penulis lagu dan penyanyi yang mengawali karier pada 2014 dengan menulis dan menyanyikan lagu Selamat Pagi Malam untuk film berjudul sama karya sutradara Lucky Kuswandi. Lagu tersebutlah yang pertama kali mempertemukan Oendari dengan pendengar setia yang terus mendukungnya hingga melalui beberapa rilisan untuk film-film lain, seperti Galih & Ratna, satu lagi karya sutradara Lucky Kuswandi, dan Susah Sinyal, karya sutradara Ernest Prakasa.

Rilisan-rilisan Oendari yang lain pun telah mendapat perhatian khusus dari berbagai streaming platform dan media, antara lain: LHSW yang sempat menjadi bagian dari banner utama aplikasi JOOX pada masa rilisnya dan juga disiarkan di berbagai media musik ternama, seperti Billboard Indonesia dan Pophariini; Bend Down dan Selamat Pagi Malam yang berada di deretan nominasi AMI Awards ke-22; dan beberapa lagu dalam album soundtrack Galih & Ratna yang mendapatkan kesempatan spesial JOOX Concert Galih & Ratna tahun 2017, seperti Hampir Sempurna, yang ditampilkan oleh Rendy Pandugo, Song Of Goodbye, yang ditampilkan oleh Ivan Gojaya yang juga adalah produser dari hampir seluruh karya Oendari, dan lagu-lagu lain yang ditampilkan oleh Oendari, seperti Nyatanya Sementara, Dari Rindu Kepada Rindu.

Selain terlibat dalam berbagai karya kolaboratif sebagai penyanyi atau penulis lagu, Oendari juga sempat berkiprah sebagai vocal director, bekerja bersama musisi dan produser ternama, antara lain Titiek Puspa, Dutacinta, Momo Geisha, Sheryl Sheinafia, dan Steve Lillywhite. Keterlibatan Oendari sebagai vocal director juga terdapat pada lagu Lathi (Weird Genius ft. Sara Fajira), Dunia (Mytha Lestari), A Million Stars (Album Kolaborasi Rising Stars), dan masih banyak lagi. Tahun 2021, Oendari dengan merilis album dari keterlibatannya di dalam sebuah film berjudul Akhirat: A Love Story.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Mimpi Semalam (19)


Agustin Oendari adalah seorang penulis lagu dan penyanyi yang mengawali karier pada 2014 dengan menulis dan menyanyikan lagu Selamat Pagi Malam untuk film berjudul sama karya sutradara Lucky Kuswandi. Lagu tersebutlah yang pertama kali mempertemukan Oendari dengan pendengar setia yang terus mendukungnya hingga melalui beberapa rilisan untuk film-film lain, seperti Galih & Ratna, satu lagi karya sutradara Lucky Kuswandi, dan Susah Sinyal, karya sutradara Ernest Prakasa.

Rilisan-rilisan Oendari yang lain pun telah mendapat perhatian khusus dari berbagai streaming platform dan media, antara lain: LHSW yang sempat menjadi bagian dari banner utama aplikasi JOOX pada masa rilisnya dan juga disiarkan di berbagai media musik ternama, seperti Billboard Indonesia dan Pophariini; Bend Down dan Selamat Pagi Malam yang berada di deretan nominasi AMI Awards ke-22; dan beberapa lagu dalam album soundtrack Galih & Ratna yang mendapatkan kesempatan spesial JOOX Concert Galih & Ratna tahun 2017, seperti Hampir Sempurna, yang ditampilkan oleh Rendy Pandugo, Song Of Goodbye, yang ditampilkan oleh Ivan Gojaya yang juga adalah produser dari hampir seluruh karya Oendari, dan lagu-lagu lain yang ditampilkan oleh Oendari, seperti Nyatanya Sementara, Dari Rindu Kepada Rindu.

Selain terlibat dalam berbagai karya kolaboratif sebagai penyanyi atau penulis lagu, Oendari juga sempat berkiprah sebagai vocal director, bekerja bersama musisi dan produser ternama, antara lain Titiek Puspa, Dutacinta, Momo Geisha, Sheryl Sheinafia, dan Steve Lillywhite. Keterlibatan Oendari sebagai vocal director juga terdapat pada lagu Lathi (Weird Genius ft. Sara Fajira), Dunia (Mytha Lestari), A Million Stars (Album Kolaborasi Rising Stars), dan masih banyak lagi. Tahun 2021, Oendari dengan merilis album dari keterlibatannya di dalam sebuah film berjudul Akhirat: A Love Story.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Alkisah Seorang Anak

“Tuhan, aku penasaran. Siapakah yang memilih bayi mana akan lahir dari rahim siapa?”


Pada sebuah hari yang acak, adalah seorang Anak.

Usianya delapan dan isi kepalanya penuh rasa penasaran.

Si Anak memandangi panci besar di atas tungku. Dari permukaan yang beriak-riak itu, meruap aroma lezat memenuhi ruangan. Si Anak dan perutnya yang lapar sudah tak sabar. Entah mungkin perut yang lapar mampu menciptakan nyali yang besar, Si Anak memberanikan dirinya menggenggam irus baja yang bahkan lebih panjang daripada lengannya. Dengan susah payah, diupayakannya menyendok didihan kaldu. Berat, tapi terlihat nikmat. Sepertinya tidak apa-apa, begitu pikirnya.

Setengah jalan kuah kaldu yang pekat itu menuju bibirnya, suara Sang Ibu terdengar memanggil namanya. Nyalinya tiba-tiba menciut. Begitu pula otot-otot lengan yang sedari tadi dikencangkannya, seketika kisut. Irus baja itu lepas dari genggaman. Sialnya, setengah panci tergolak karena tersangkut, tersenggol, goyah, tumpah karena kepanikannya. Masakan Ibu hancur. Kabur, begitu pikirnya.

Suara Sang Ibu mendekat. Si Anak berlari menjauh. Keluar menuju hutan belakang rumah. Sekencangnya Ia berlari, mencoba mencari tempat bersembunyi, sambil sesekali melihat ke belakang. Dari balik kisi-kisi jendela dapur, Si Anak sekilas melihatnya: tatap mata itu, tatap tajam Ibu sedang menusuk jantungnya saat ini. Si Anak takut sekali dimarahi. Lari, lari, lari, begitu pikirnya.

Kaki-kaki kecil itu melangkah tidak tentu arah. Tanpa disadarinya, seonggok batu kecil menghadang, Si Anak terantuk dan terjatuh tepat di lututnya. Gores-goresan di kulitnya perlahan berubah menjadi putih pucat. Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya darah segar merembes dari balik jaringan sobek itu. Sungguh malang, Si Anak yang belum pernah merasakan luka yang seperti itu, kini merinding ketakutan dan mulai menangis.

Sang Ibu datang dengan tenang. Menghampirinya tanpa kata, hanya dengan tatap mata tajam itu. Si Anak memberanikan diri melihat wajah Sang Ibu. Aneh sekali, tatap mata tajam yang tadinya dirasa menghunus, kini serasa menyejukkan hati. Setengah takut dimarahi, setengah lagi tenang karena kehadiran Sang Ibu. Lidahnya kelu, hanya satu kata yang keluar dari mulut Si Anak. Pelan, hampir tak terdengar, “Mah.”

“Biar Mamah basuh, nanti juga sembuh. Sekarang ayo makan. Pulanglah, Nak,” damai sekali hati Si Anak mendengarnya.

Sang Ibu menuntun Si Anak yang masih terisak tapi gengsi. Sesampainya di rumah, Sang Ibu membasuh luka dengan kasih sayangnya. Si Anak makan dengan lahapnya. Perih luka itu seperti berlalu dari pikirannya. Masakan Ibu memang tidak pernah mengecewakan, “Ah, hidupku indah sekali karena Mamah,” begitu pikirnya.

Pada suapan terakhir Si Anak, Sang Ibu bicara, “Ingat ya. Tidak perlu lari. Tidak perlu sembunyi. Ingat itu,” yang dijawab dengan anggukan Si Anak. Nasihat Sang Ibu akan teguh dan membeku di hatinya, begitu pikirnya.

Waktu terus bergulir. Hidup terus mengalir. Dan, beberapa ingatan manusia ternyata mudah luntur dan mencair.


Pada sebuah hari lain yang juga acak, Si Anak telah jadi pemuda yang tegap dan tampan.

Isi kepalanya masih penuh rasa penasaran, meskipun kini ditambah dengan berbagai pemberontakan.

Banyak hal berubah sejak Si Anak dan Sang Ibu semakin sering terlibat dalam satu demi satu perselisihan. Dan, tibalah malam itu, salah satu malam paling gulita. Adu mulut antara Si Anak dengan Sang Ibu begitu sengit. Makan malam yang disajikan Sang Ibu untuk Si Anak belum disentuh sama sekali, mendingin seraya jadi saksi pertengkaran keduanya.

Perkara pilihan hidup. Si Anak merasa berhak untuk menjelajah berbagai pilihan, tanpa menyadari bahwa Sang Ibu memberi arah atas dasar pengalaman. Jangankan teguh dan membeku di hati, nasihat-nasihat Sang Ibu kini tidak lagi terserap ke dalam pikiran Si Anak. Kebebasan, hanya itu yang diinginkannya.

Sang Ibu, yang telah ditempa oleh kerasnya kehidupan, sudah tau bahwa sekeras-kerasnya seonggok batu, tetesan air yang lembut pada akhirnya akan mampu melunakkannya. Maka, malam itu Sang Ibu berusaha sebisanya mempertahankan kelembutan ketika menghadapi Si Anak. Sebaliknya, kata-kata serampangan keluar dari mulut Si Anak. Asumsi menggila. Tajam, diikuti luka-luka dalam hati Sang Ibu. Menyakitkan. Sementara, Sang Ibu terus sabar. Si Anak, yang sedang berapi-api, justru semakin terbakar dengan sikap Sang Ibu, yang seakan tidak menganggap penting segala perlawanan yang dilakukannya.

Pada momen darahnya mencapai titik didih, Si Anak melayangkan tinju sekuat tenaga. Saklar lampu ruang makan yang tidak berdaya itu jadi sasaran kemudian merangsek ke dalam tembok. Seketika ruang makan gelap gulita. Sang Anak pergi, keluar dari rumah yang telah memelihara dan menumbuhkannya dengan urapan kasih sayang Sang Ibu. Akhirnya, kebebasan ada dalam genggaman, begitu pikirnya.

Di dalam gulita, Sang Ibu hanya diam tanpa suara. Dilepaskannya Si Anak pergi dengan segala api yang berkobar di dalam hatinya. Mungkin ini hanyalah masa kehidupan yang serupa terulang kembali meski keadaanya tak sama, di mana Si Anak berlari ke hutan, mencari persembunyian; di mana kemudian di tengah langkahnya, ia akan terjatuh dan memutuskan pulang. Mungkin inilah daur hidup yang mesti berputar, begitu pikir Sang Ibu.

Waktu terus bergulir. Hidup terus mengalir. Que sera sera, begitu kata pepatah lama.


Pada hari lain yang tentunya juga acak, Si Anak telah beranjak dewasa.

Entah sudah berapa tahun sejak Si Anak pergi dari rumah. Tidak pernah berhenti penasaran, namun kali ini kepalanya lebih banyak diisi dengan kebingungan.

Tahun-tahun kebebasan telah diraihnya. Api besar yang berkobar itu pun terus menemaninya. Telah semakin banyak kisah kehidupan tercipta di sepanjang langkah-langkahnya. Si Anak sudah mulai mengenal cinta dan membangun mimpi-mimpinya. Siang dan malam seperti tak ada batas, menemukan cinta membuatnya serasa menari-nari sampai tua.

Tak cuma cinta, tetapi juga cita-cita. Ternyata dunia seluas itu, memancar dalam rupa pemandangan yang indah-indah di sepanjang langkah-langkahnya. Sepasti langit yang luas, sedalam samudera paling misterius, dan selapang cakrawala semesta, begitu juga cita-cita terkembang di dalam hatinya. Si Anak berlari, berlari, berlari, berupaya mengejar hingga ke ujung-ujungnya.

Yang tidak pernah disangkanya adalah bencana-bencana datang di luar rencana. Kadangkala cinta tak segemas dan seromantis di film-film. Begitu pula dalam dunia yang luas ini, tidak cuma terkandung yang indah-indah saja, cita-cita bisa jadi sia-sia. Belantara kehidupan ternyata bisa sedemikian penuh dengan tipu muslihat anjing-anjing liar yang menyamarkan pilihan-pilihan kelam agar terlihat seperti kenikmatan yang benderang. Inikah harga dari kebebasan? Kebingungan mulai menggerogoti hatinya. Tangannya, oh, telah kotor.

Ketika Si Anak berada pada masa tergelapnya, kenangan-kenangan berhamburan. Kuah kaldu yang pekat dan harum itu. Irus baja yang panjang dan berat. Hutan belakang rumah. Batu yang membuatnya terantuk. Darah yang merembes di lututnya. Dan, sebuah suara pelan di hatinya, yang hampir tak terdengar, seperti dulu pernah keluar dari mulutnya, “Mah.”

Si Anak menangis. Berdoa di hadapan Tuhan-nya. Tumpah ruah segala rupa dari kepalanya: “Tuhan, aku penasaran. Siapakah yang memilih bayi yang mana akan lahir dari rahim siapa? Kalau saja Ibuku bisa memilih, kurasa wajar apabila dia tidak mau aku jadi anaknya.”

Di bawah atap langit yang sungguh terik, Si Anak menghapus air matanya, “Masa mudaku penuh luka, Mah. Tanganku melakukan banyak kesalahan. Aku jauh dari membanggakan.”

Pada masa yang sama, di tempat yang jauh, ternyata seorang Ibu pun sedang menangis. Berdoa di hadapan Tuhan-nya. Doanya sungguh sederhana: “Biarkan Tuhan memegang tanganmu. Pulanglah, Nak.”

Waktu terus bergulir. Hidup terus mengalir. Menakjubkan bagaimana ingatan manusia bisa kembali muncul ke permukaan pada saat-saat yang tak terduga.


Lagi-lagi pada hari yang acak, Si Anak mulai mencari-cari makna dari menjadi manusia.

Rasa penasaran kini mengarahkan pemahamannya, bahwa sepertinya menjadi dewasa ternyata bukan perkara kebebasan, bukan lagi soal api yang berkobar-kobar.

Cinta dan cita-cita, entah sudah berapa lama ditinggalkannya. Kini, Si Anak tidak punya apa-apa selain kesendirian. Sama seperti kaki-kaki kecil yang dulu pernah melangkah tidak tentu arah, Si Anak berlari-lari mencari tempat bersembunyi. Namun, kali ini, ia bukanlah dikejar oleh ketakutan dan tatap mata tajam seorang Ibu yang seakan menusuk jantungnya, melainkan dikejar oleh sesosok hantu: keraguan.

Apakah ia masih berharga? Apakah ia masih punya nilai? Apa gunanya di dunia? Begitu pikirnya.

Ya, Si Anak dihantui keraguan, walau pernah merasa benar dalam menentukan berbagai pilihan. Kini, rasa bersalah menggerogoti hatinya. Ia terlarut dalam pikiran. Tanpa keyakinan. Sepertinya tidak sanggup lagi untuk melanjutkan. Hatinya penuh kabut dan carut-marut. Pundaknya tidak lagi kuat menahan beban-beban yang tak kasat mata. Sementara itu, pelariannya, tak tau ujungnya ke mana. Apakah hanya menuju kehampaan, begitu pikirnya.

Tidak ada lagi nyala api. Kebebasan tidak lagi penting. Langkahnya, oh, telah gontai.

Si Anak kembali berada pada masa tergelapnya, kenangan-kenangan berhamburan. Masakan Sang Ibu yang teronggok dingin di atas meja makan malam itu. Pertengkaran sengit. Luapan amarah. Cengkeraman tinju. Dan, saklar yang merangsek ke dalam tembok.

Si Anak kembali menangis. Berdoa di hadapan Tuhan-nya. Tumpah ruah segala rupa dari kepalanya: “Tuhan, aku malu. Segala perlawanan yang kuhantamkan pada nasihat-nasihat Ibuku nyatanya sia-sia.”

Di bawah atap langit yang sungguh terik, Si Anak menghapus air matanya, “Masa mudaku penuh luka, Mah. Dan, pundakku penuh memar tertimpa segala beban. Hatiku apalagi, bentuknya sudah tak karuan.”

Pada masa yang sama, di tempat yang jauh, ternyata seorang Ibu pun sedang menangis. Berdoa di hadapan Tuhan-nya. Doanya sungguh sederhana: “Biarkan Tuhan mengangkat bebanmu. Pulanglah, Nak.”

Waktu terus bergulir. Hidup terus mengalir. Kadang kita bisa dibuat kagum dengan bagaimana cara Semesta menjawab doa-doa.


Pada hari yang acak yang telah ditentukan Semesta, Si Anak terdiam.

Ia tenggelam di dalam gaung kepedihan, terendam di dalam gaung kesedihan. Raganya seperti telah kehilangan nyawa. Bersandar pada siapa. Menangis lupa caranya. Semua ini untuk apa. Lelah demikian jelas terasa. Bertahun terus terluka. Kuatku ada batasnya, begitu pikirnya.

Dengan segala sisa daya yang dimilikinya, Si Anak mencoba kembali melangkah. Si Anak memutuskan hanya ada satu jalan untuk meneruskan daur hidupnya: pulang.

Rumah tua yang bijaksana itu masih tegak berdiri di sana. Di dalamnya tidak lagi ada aroma kuah kaldu, hanya tinggal aroma kenangan yang menguar ke segala arah. Saklar yang merangsek ke dalam tembok itu ternyata tidak pernah diperbaiki. Bukan lagi hidangan makan malam yang mendingin yang terhampar di meja, kini hanya setumpuk barang-barang bekas yang telah berdebu. Di antaranya tergolek lemas irus baja kuno yang tidak lagi menjalankan tugasnya. Dapur telah sepi. Tungku-tungku sepertinya telah lama padam.

Hutan itu masih sama, terlihat dari balik jendela. Namun, tidak ada lagi anak kecil yang berlari ketakutan mencari persembunyian. Dan, tidak ada lagi tatap tajam seorang Ibu yang dulu pernah menyejukkan hati.

“Mah, … kini aku sudah di rumah. Namun, engkau telah lebih dulu pulang.”

Si Anak kembali menangis. Berdoa di hadapan Tuhan-nya. Tumpah ruah segala rupa dari kepalanya: “Masa mudaku penuh luka. Namun, sungguh ajaib kurasa. Selalu saja ada yang memegang tanganku. Yang mengangkat bebanku. Sepertinya Dia juga yang menuntun langkahku kembali ke sini, kepadamu. Pulanglah, Mah, pulanglah dengan tenang.”

Atap langit begitu syahdu pada hari itu. Mendung menggelantung, sunyi mengepung, gerimis menuangkan rasa kabung. Si Anak menghapus air matanya ketika terdengar sebuah guntur yang lembut, seakan berkata kepadanya,

“Tidak perlu lari. Tidak perlu sembunyi.”


Awalnya, ingin kutuliskan Surat Penggemar untuk album ini, salah satu album yang dikerjakan Iponk, yang diam-diam sangat kunikmati sejak proses pembuatannya.

Namun, perasaanku terlalu campur aduk untuk menuliskannya dalam bentuk surat. Maka, kutuangkan langsung kata perkata tanpa tau ujungnya ini akan jadi seperti apa. Dan, beginilah jadinya.

Terima kasihku kepada Kang Donne atas sebuah album yang melahirkan banyak perenungan.


Agustin Oendari adalah seorang penulis lagu dan penyanyi yang mengawali karier pada 2014 dengan menulis dan menyanyikan lagu Selamat Pagi Malam untuk film berjudul sama karya sutradara Lucky Kuswandi. Lagu tersebutlah yang pertama kali mempertemukan Oendari dengan pendengar setia yang terus mendukungnya hingga melalui beberapa rilisan untuk film-film lain, seperti Galih & Ratna, satu lagi karya sutradara Lucky Kuswandi, dan Susah Sinyal, karya sutradara Ernest Prakasa.

Rilisan-rilisan Oendari yang lain pun telah mendapat perhatian khusus dari berbagai streaming platform dan media, antara lain: LHSW yang sempat menjadi bagian dari banner utama aplikasi JOOX pada masa rilisnya dan juga disiarkan di berbagai media musik ternama, seperti Billboard Indonesia dan Pophariini; Bend Down dan Selamat Pagi Malam yang berada di deretan nominasi AMI Awards ke-22; dan beberapa lagu dalam album soundtrack Galih & Ratna yang mendapatkan kesempatan spesial JOOX Concert Galih & Ratna tahun 2017, seperti Hampir Sempurna, yang ditampilkan oleh Rendy Pandugo, Song Of Goodbye, yang ditampilkan oleh Ivan Gojaya yang juga adalah produser dari hampir seluruh karya Oendari, dan lagu-lagu lain yang ditampilkan oleh Oendari, seperti Nyatanya Sementara, Dari Rindu Kepada Rindu.

Selain terlibat dalam berbagai karya kolaboratif sebagai penyanyi atau penulis lagu, Oendari juga sempat berkiprah sebagai vocal director, bekerja bersama musisi dan produser ternama, antara lain Titiek Puspa, Dutacinta, Momo Geisha, Sheryl Sheinafia, dan Steve Lillywhite. Keterlibatan Oendari sebagai vocal director juga terdapat pada lagu Lathi (Weird Genius ft. Sara Fajira), Dunia (Mytha Lestari), A Million Stars (Album Kolaborasi Rising Stars), dan masih banyak lagi. Tahun 2021, Oendari dengan merilis album dari keterlibatannya di dalam sebuah film berjudul Akhirat: A Love Story.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Nemenin Iponk Mixing Lagu Baru D’MASIV: “Sampai Mati Kan Kukejar”

Pagi itu, Saya nemenin Iponk kerja di studio. Jadwal mixing hari itu adalah salah satu materi album barunya D’MASIV. Sebetulnya, Saya sendiri sedang menyelesaikan tulisan ketika berada di studio. Namun, perhatian Saya teralih ketika mendengarkan lagu yang dikerjakan Iponk. Besar sekali dorongan untuk menuliskan ini.


Ini Saya, dari sudut pandang pendengar yang pernah ngerasain betapa hebatnya band-band Indonesia bisa semacam menemani Anak Remaja usia belasan melewati berbagai persimpangan jalan di kehidupannya. Mungkin saja jalur yang kemudian dipilihnya di persimpangan itu, menuju sebuah jalan dengan kebun mimpi yang berbunga-bunga di kiri-kanannya. Atau mungkin juga, jalur itu menuju sebuah lorong gelap, sunyi, dan entah ujungnya ke mana.

Sementara itu, tahun demi tahun berlalu. Waktu tidak kenal lelah dan Si Anak Remaja tidak lagi remaja. Tidak lagi berjalan, ia kini berlari. Kadang terjatuh, lalu bangkit lagi. Ternyata Waktu mengajarkannya bahwa setelah persimpangan yang satu, ada persimpangan yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Waktu pula yang mengajarkannya, bahwa Si Anak Remaja ini sebenarnya tidak pernah sendirian. Sadar ataupun tidak, band-band Indonesia, yang pernah membisikkan kata dan nada ke dalam pikirannya di berbagai persimpangan, terus mengepungnya dengan kenangan yang terngiang-ngiang. Betapa hebat.


Bagi Saya, menikmati keperkasaan band-band Indonesia itu seperti menikmati maraton estafet dari jarak yang dekat dan personal, seiring Saya terus menempuh perjalanan Saya sendiri melalui berbagai persimpangan. Dan, mendengarkan lagu ini seperti baru saja menyaksikan di depan mata, tongkat estafetnya kini berpindah ke tangan D’MASIV. Entah dari siapa, Saya sampai lupa. Saya sudah terlanjur terbawa angin perubahan yang terhembus dengan keras ketika D’MASIV melaju dari posisi siapnya saat lagu ini berkumandang. “Sampai Mati Kan Kukejar,” begitu kata D’MASIV, sambil menggenggam tongkat estafet di tangan mereka.

Rasanya seperti berkejaran dengan Waktu. Berlari terus, D’MASIV. Titiknya terus bergerak. Waktu terus berdetak. Lintasannya entah bagaimana. Jalurnya mungkin akan membawa mereka berbelok ke mana, di mana, dengan cara apa. Entahlah, saya hanya penikmat, tau apa. Betul, penikmat, yang sepertinya akan betul-betul menikmati perjalanan ini.

Ini Saya, Oendari, yang sedang turut berlari bersama D’MASIV sambil menikmati rilisnya album terbaru mereka.


Agustin Oendari adalah seorang penulis lagu dan penyanyi yang mengawali karier pada 2014 dengan menulis dan menyanyikan lagu Selamat Pagi Malam untuk film berjudul sama karya sutradara Lucky Kuswandi. Lagu tersebutlah yang pertama kali mempertemukan Oendari dengan pendengar setia yang terus mendukungnya hingga melalui beberapa rilisan untuk film-film lain, seperti Galih & Ratna, satu lagi karya sutradara Lucky Kuswandi, dan Susah Sinyal, karya sutradara Ernest Prakasa.

Rilisan-rilisan Oendari yang lain pun telah mendapat perhatian khusus dari berbagai streaming platform dan media, antara lain: LHSW yang sempat menjadi bagian dari banner utama aplikasi JOOX pada masa rilisnya dan juga disiarkan di berbagai media musik ternama, seperti Billboard Indonesia dan Pophariini; Bend Down dan Selamat Pagi Malam yang berada di deretan nominasi AMI Awards ke-22; dan beberapa lagu dalam album soundtrack Galih & Ratna yang mendapatkan kesempatan spesial JOOX Concert Galih & Ratna tahun 2017, seperti Hampir Sempurna, yang ditampilkan oleh Rendy Pandugo, Song Of Goodbye, yang ditampilkan oleh Ivan Gojaya yang juga adalah produser dari hampir seluruh karya Oendari, dan lagu-lagu lain yang ditampilkan oleh Oendari, seperti Nyatanya Sementara, Dari Rindu Kepada Rindu.

Selain terlibat dalam berbagai karya kolaboratif sebagai penyanyi atau penulis lagu, Oendari juga sempat berkiprah sebagai vocal director, bekerja bersama musisi dan produser ternama, antara lain Titiek Puspa, Dutacinta, Momo Geisha, Sheryl Sheinafia, dan Steve Lillywhite. Keterlibatan Oendari sebagai vocal director juga terdapat pada lagu Lathi (Weird Genius ft. Sara Fajira), Dunia (Mytha Lestari), A Million Stars (Album Kolaborasi Rising Stars), dan masih banyak lagi. Tahun 2021, Oendari dengan merilis album dari keterlibatannya di dalam sebuah film berjudul Akhirat: A Love Story.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Tentang Sebuah Bulan April Yang Bersejarah

Bulan April 2022 adalah bulan yang bersejarah buat gue. Ada banyak kejadian penting, yang semoga saja gue inget sampai gue tua nanti. Empat di antaranya adalah ini.

I. Gokil, Gue Dilamar.

Sebut saja Saddam, salah satu teman kuliah gue yang paling pandai, super-logis, penuh perhitungan. Ah, gue sering membayangkan Saddam sebagai jurnal ilmiah berjalan. Gak pernah tuh ngomongin perasaan, kehidupan, percintaan dan tetek-bengeknya. Obrolan seru sama Saddam biasanya mengenai riset untuk berbagai bisnis yang dirintisnya. Namun, hari itu, lain cerita.

Pada satu sore yang random di Alam Sutera, gue dan Saddam sedang menantikan menu yang kami pesan. Kami kelaparan, belum makan siang. Mana matahari lagi lumayan biadab teriknya. Untuk mengalihkan perasaan gak nyaman, Saddam membuka obrolan. Betapa kaget gue, ketika hal pertama yang ditanyakan Saddam bukanlah pendapat gue mengenai pertumbuhan bisnisnya dia, melainkan: gimana perasaan gue setelah dua bulan jadi jomblo pasca empat tahun pacaran.

Ini kejadian beberapa tahun lalu. Pada masa itu, Saddam sedang merencanakan pernikahan. Begitu pula, teman-teman sebaya kami. Mereka semua lagi seru-serunya mencanangkan tanggal dan tempat nikahan, sementara gue … Huft, baru putus. Yang belum diketahui Saddam pada saat itu adalah gue gak cuma baru putus, tapi juga baru aja dipertemukan oleh seorang pria baru yang, menurut ukuran logika gue, sama sekali enggak ideal. Duh, pesanan kami enggak nongol-nongol. Ya udah, gue lanjut cerita. Saddam menyimak.

Dulu, seperti kebanyakan bocah perempuan lain di sekolah, gue sempat punya cita-cita menikah: umur dua lima, pakai gaun putih ekor panjang, bawa sebuket bunga, dan didandani dengan cantik sebelum akhirnya ketemu dengan lelaki di ujung altar yang kemudian bakal menyandang predikat suami. Namun, cita-cita itu ada jauh sebelum gue dua kali putus cinta di tengah ekspektasi untuk menikah, dan tentu jauh sebelum akhirnya Semesta mempertemukan gue dengan seorang lelaki yang sudah pernah menikah, sudah punya satu anak, dan tidak lagi percaya dengan pernikahan karena merasa pernah gagal.

Saddam kemudian bertanya, “Jadi, sekarang lo pacaran sama dia?” Pacar? Jadian aja gak pernah. Kejadian demi kejadian terjadi begitu aja. Di satu sisi, dengan segala fakta yang ada, hati gue bilang dia lelaki yang tepat. Ironisnya, pun dengan segala fakta yang ada, otak gue yang sederhana menyangkal dengan cepat. Pacar sekadar istilah paling mudah yang paling bisa menjelaskan dia itu sebenarnya apa, tapi kenyataan jauh lebih rumit daripada itu.

“Enggak tau. Yang jelas, gue udah gak berharap menikah. Now, I really think marriage is just not for me,” karena malas menjelaskan panjang lebar, hanya itu jawaban yang keluar dari mulut gue. Lagipula, pada saat itu, cita-cita gue waktu bocah tentang menikah umur dua lima memang udah samar banget, tinggal garis-garis tipis berbentuk hati yang sudah patah sana-sini.

Saddam terdiam lama sekali. Awkward, anjir. Saddam, jawablah. Apa kek. Beruntung, akhirnya pesanan kami keluar juga. Babang tukang iga ini entah obsesif soal timing apa pegimana, enggak ngerti. Namun, memang dasar bangkek. Sesaat sebelum suapan pertama, Saddam bilang sesuatu yang gue ingat sampai sekarang.

“I don’t know what’s best for you. Tapi, gue selalu pingin semua temen gue bahagia. Di doa gue, ya, ketemu dengan orang yang tepat, menikah, punya keluarga. Including you. Of course. You’re not easily forgotten.”

Buset. Santai banget doi ngomong. Gantian, gue yang terdiam. Lama banget, sampai akhirnya kita gak pernah ngobrolin itu lagi. Matahari sore mulai kalem, Alam Sutera berangsur sejuk, tapi hati gue tetep panas gak karu-karuan.

Bertahun-tahun berlalu, dan, ah, Semesta memang suka bercanda. Now, I’m 32 going 33. And, getting married. Awal April lalu, gue dilamar Si Pacar. Wah, gokil, doa Saddam kayaknya jadi kenyataan.

II. 333 dan perihal keyakinan.

“Aku mulai yakin mau hidup sama kamu,” adalah satu kalimat dari Si Pacar yang bikin gue hampir keselek lalapan. Tumben-tumbenan, di tengah makan pecel lele tiba-tiba dia romantis. Nah, pas dia romantis, gue malah bingung, “Kok bisa? Selama ini kan kamu bilang kamu gak akan bener-bener yakin?”

Waktu itu, beberapa hari lalu, jam sudah lewat jauh dari tengah malam. Kami berdua baru kelar dengan kerjaan masing-masing. Namun, karena dilanda rasa lapar, kami memutuskan ya-udahlah-makan-dulu sebelum bubaran. Alhasil, pecel lele Bu Dewor jadi pilihan: selalu siaga, selalu enak, dan selalu terpercaya. (Lalapnya juga enggak pelit. Makasih, Bu Dewor!)

Kami sering ngobrol pas lagi makan, terkecuali kalau makanannya enak banget, kami otomatis gagu. Biasanya ini yang terjadi setiap kali menyantap masakan Bu Dewor. Namun, kali itu, beda. Gue lagi seru cabut-cabutin daun kemangi, sambil sesekali gue cemil-cemil kalau ada yang kelihatan segar mengilap, ketika tiba-tiba Si Pacar bilang sekalimat mengagetkan, “Aku mulai yakin mau hidup sama kamu.”

Mana pernah gue nyangka kalimat itu bakal keluar dari mulut Si Pacar. Bertahun-tahun saling kenal, gue sudah sangat paham bahwa merasa yakin tidak pernah lagi jadi bagian dari sifat Si Pacar. Tidak pernah lagi, terutama setelah dia pernah seyakin kalimat “till-death-do-us-part” pada satu waktu kemudian dengan berat hati memutuskan untuk bercerai beberapa tahun kemudian.

Apakah ketidakyakinannya pernah bikin gue sedih? Hmmm. Sedih dan berkecil hati sudah bukan jadi perasaan yang relevan lagi buat gue. Sepertinya, gue udah melewati itu, entah karena terbiasa atau sekadar berlapang hati setelah belajar memahami. Itu semakin make sense setelah Si Pacar pernah bilang, “Malah seharusnya kamu curiga kalau dari awal aku bilang aku yakin mau hidup sama kamu.” Betul juga. Siapalah kita, bisa 100% yakin?

Pas gue tanya kenapa dia sekarang mulai yakin, Si Pacar bilang itu perihal waktu. Satu perihal yang terdengar sederhana, tapi di dalamnya terkandung samudera penuh makna. Dalam hitungan milidetik, ingatan gue dibawa ke awal kedekatan kami yang penuh kecemasan dan kebingungan. Kala itu, Si Pacar pernah bilang, “Percaya aja sama waktu.” Ternyata, ini yang dia maksud?

Obrolan tentang keyakinan ini ditutup oleh Sang Pacar dengan, “Ente gak pernah ngerasain cerai sih.” Ya, tentu aja gak pernah dong, Malih. Ujung-ujungnya kami berdua ngakak. Yah, begitulah. Hubungan kami memang seringkali diwarnai dengan dark jokes dan dark ngakak.

Sambil menghabiskan pecel lele termantap se-Asia Tenggara, gue tenggelam di dalam pikiran gue sendiri. Meskipun ada rasa kaget di situ, gue diselimuti perasaan bahagia. Mendengar Si Pacar, yang selama delapan tahun belakangan belum pernah bilang kalau dia betul-betul yakin bahwa gue orang yang tepat buat dia, melontarkan kalimat sakti itu … Rasanya, setengah beban gue lepas. Ringan. Pecel lele Bu Dewor pun semacam berkali lipat lebih enak daripada biasanya. Lagi di tengah bengong karena kesenengan (atau kekenyangan?), tiba-tiba, Si Pacar bertanya, “Jam berapa sekarang?”

Always-on display di hp gue menunjukkan angka yang tidak dibuat-buat, “3:33,” lalu kami berdua tatap-tatapan dan sama-sama merinding. Beberapa detik kemudian, tanpa janjian dan tanpa bicara apa-apa, kami berdua sama-sama ketawa. Untuk yang pernah atau sering ngulik soal Angel Numbers, pasti paham kenapa.

Ternyata, begini rasanya punya pacar setengah dukun. Eh, tunggu. Pacar? Tunangan.

Oh. That was one of the best nights. Ever. And, I know I can’t thank the Universe enough for my life. The good and the bad. The joy and the pain. No words will be enough for that.

III. TEMAN BARU.

Gue punya teman baru. Sebut saja Firman. Kami ketemu pertama kali dalam satu acara menjelang akhir tahun lalu. Beberapa waktu setelah selesainya acara tersebut, kami mulai mengobrol. Berawal dari obrolan remeh-temeh macam kisah seorang Pak RT bernama Syamsul, berlanjut ke diskusi asik tentang musik, bertukar Katla, sampai bertukar cerita. Pertemanan ini menarik.

Ini orang lucu banget. Bahkan, dalam berbagai kesempatan, gue sering merasa bahwa tanpa berniat ngelucu pun, Firman ini udah lucu banget. Entah udah berapa kali sepanjang beberapa bulan terakhir, gue sering ketawa sendiri pas baca kiriman Whatsapp dari Si Firman.

Selain lucu, Firman punya kebiasaan berpikir dengan cepat. Sebaliknya, gue cenderung lebih lambat. Tidak jarang, obrolan kami melesat dari satu topik ke topik lainnya dengan sangat ringan. Tidak jarang pula, setelah obrolan-obrolan selesai, tinggallah gue berpikir sendirian dan ujung-ujungnya, “ya juga ya,” atau, “kenapa ya?” atau pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Perbedaan di antara gue dan Firman gak cuma itu. Banyak. Kami beda latar belakang, beda pola pikir, beda cara pandang terhadap banyak hal. Serasa hidup kami adalah dua polaritas yang berseberangan. Namun, itu yang bikin pertemanan ini jadi menarik buat gue. Belum lagi, usia Firman yang beberapa tahun lebih tua dengan koleksi pengalaman yang lebih banyak, petualangan hidupnya dari satu kota ke kota lain, plus pertemuannya dengan berbagai jenis manusia, berbagai jenis tragedi, berbagai jenis kebahagiaan … Wah, gue kayak menang banyak ketemu satu orang macam Firman karena gue jadi belajar banyak hal dalam waktu yang terbilang singkat.

Kehadiran Firman di dalam kehidupan gue kayaknya memang pas timingnya. Pasalnya, Firman, yang sudah menikah kurang lebih selama dua tahun dan sekarang sudah punya keluarga kecil yang manis, hampir pasti punya ingatan yang masih segar tentang bagaimana rasanya ketika mempersiapkan pernikahan – sesuatu yang sedang gue alami saat ini. Pada suatu malam yang (lagi-lagi) random, gak lama sebelum lamaran, gue bertanya apakah wajar kalau merasa cemas atau takut menjelang nikah. Gue pikir, jawabannya akan simpel, berupa wejangan atau tips en trik. Gak terduga, Firman melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya sederhana, tapi bikin gue berpikir keras.

Kayaknya Si Firman sadar kalau gue balelol ngejawab pertanyaan-pertanyaan sederhana itu. Ya, gimana gak balelol. Gue sudah lama berpikir untuk tidak menikah karena, ah, terlalu banyak yang terjadi selama bertahun-tahun yang bikin gue berpikir demikian. Namun, situasi berubah ketika akhir tahun lalu kami dapet restu dari orang tua masing-masing dan anak kesayangannya Si Pacar. Gak pake lama, arah hidup kebolak-balik dengan cepat. Gue kewalahan.

Nah, mungkin karena Si Firman sadar gue balelol, akhirnya Beliau mencoba menjelaskan dengan bercerita. Durasi ceritanya mah lumayan singkat, tapi isi ceritanya, wah, gawat. Ada perasaan terenyuh yang tersisa cukup panjang setelah dengar cerita Firman. Malam itu, gue jadi sadar bahwa mungkin Firman bisa jadi seperti Firman yang gue hormati sekarang karena udah ngalamin pendewasaan secara bertubi-tubi setelah serentetan persoalan pelik yang dialaminya.

Firman ini tuh orang apa malekat, hatinya lapang amat. Gue tau, banyak yang bilang bahwa Firman “rahangnya enteng” alias banyak omong doang. Alasan mereka: hidup gak semudah omongan belaka. Lah, emang! Kalau aja mereka tau cerita yang baru aja gue simak soal hidupnya Firman … Sekali-sekali, tanyalah Firman perihal melunturkan ego, perihal menata ulang hidup, dan banyak hal lainnya. Mungkin memang rahangnya enteng, tapi coba timbang pengalaman hidupnya.

Well, karena obrolannya semakin personal dan melahirkan semakin banyak pertanyaan, gue yang balelol ini akhirnya juga menjawab dengan bercerita. Entah energi apa yang mendorong gue pada saat itu, yang jelas gue tergerak untuk menceritakan kecemasan terbesar yang selama bertahun-tahun gue pendam sendiri dan menahan gue untuk melakukan ini-itu yang seharusnya bisa jadi kebahagiaan. Di seantero jagat raya, Firman adalah orang kedua yang gue ceritakan tentang hal ini.

Kelar cerita, gue nangis sejadi-jadinya. Bukan karena sedih, melainkan lega. Namun, insekyur turut melanda dan marahlah gue pada diri sendiri: “Agustin Oendari, kamu nyodorin piring kotor ke orang lain.” Lagi-lagi, entahlah Firman ini tuh orang apa malekat. Firman menenangkan dan meyakinkan gue bahwa enggak apa-apa cerita, harapannya: beban bisa berkurang. Firman pun berbelasungkawa ketika tau bahwa gue pernah kehilangan. Gak cuma itu, Firman sempat berpesan – nah, ini satu pesan yang gue rasa perlu gue ingat selalu:

“Kamu juga berhak untuk jalan terus. Bukan berhenti. Mencoba kembali, dengan seseorang yang sayang sama kamu, itu hak. Berbahagia, itu hak. Sebagaimana bersedih. Kan?”

Itu pesan sampe gue kasih bintang di Whatsapp. Buat Firman, mungkin itu pesan Whatsapp biasa. Buat gue, yang notabene sedang super-anxious, efeknya beda. Pesan dari Firman malam itu semacam satu pertanda Semesta: sudah cukup tujuh tahun patah hati dan sibuk mengobati; sudah, gakpapa, jalan terus aja. Pertanda yang mengantarkan gue mengarungi bulan April yang ternyata menyimpan banyak sekali kejutan.

Ah, kalau saja gue punya cara yang tepat untuk membalas kebaikan dan peran Firman yang hadir tepat saat gue butuh. Belakangan ini, gue sudah jarang bertukar kabar dengan Firman. Kelihatannya, Beliau sibuk. Jadi, yang bisa gue lakukan cuma menyampaikan doa dan permohonan baik kepada Semesta: semoga Firman selalu dijaga.

Oh. Firman tau takdirnya dari dulu adalah jadi seorang ayah, “Pengin banget jadi bapak yang benar.” Maka, itu pula yang jadi doa gue. Semoga Semesta memberikan usia yang cukup panjang, tenaga yang cukup banyak, dan kebijaksanaan seluas samudera bagi Firman untuk mewujudkan cita-citanya yang manis dan mulia.

IV. Lailatul Qadar Yang Penuh Kemurahan.

Wah, soal Lailatul Qadar ini kayaknya bakal panjang. Sayang sekali, entah karena lagi PMS atau energi gue habis setelah Sesi Roemahan, pinggang gue mulai pegal dan migrain gue makin parah. Oh! Untuk pertama kalinya setelah dua tahun vakum, semalam ROEMAHIPONK ngadain Sesi Roemahan lagi. Bahagia dan capeknya pol. Jadi, ya gitu. Gue terusin ini nanti ya. Bhai.

Ada baiknya bagian keempat ini ditulis di kisah yang terpisah dikarenakan … terlalu banyak yang aneh-aneh. Saking aneh-aneh, sampai sekarang gue masih belum memutuskan: mana yang bisa gue bagikan, mana yang enggak. Yodahlah. Lihat nanti. Lihat pertanda.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Melihat Api Bekerja


Aku telah melihat api bekerja dan Aku mengaguminya.

Sungguh anggun, Ia bergerak membakar semua yang dilaluinya.

Menciptakan hangat yang tidak dibuat-buat.

Semua mata tertuju padanya, begitu pula Aku memandangnya.

Dia menyambar dengan gagah.

Dan, Aku kehilangan daya.


Psst … Suaranya.

Diam dan dengarlah.

Bayangkan kebanggaan, pertunjukannya sungguh akbar.

Bayangkan kepuasan, ada bara meletup di ujung kebesarannya.

Bayangkan kesedihan, semua dihancurkannya jadi abu.

Dia menyambar dengan gagah.

Dan, Aku kehilangan daya.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.