Tentang Emoji

Gue lagi berusaha ngurang-ngurangin pake emoji. Kenapa?

Dulu, gue sempat berpikir, “Wah, gampang ya kalo cara komunikasi bisa dipermudah dengan emoji. Sesimpel gambar seuprit bisa menggambarkan ekspresi yang kompleks. Praktis.” Belakangan, gue mulai menyadari, “Kok kayaknya enggak semua ekspresi bisa diwakilin dengan emoji.” Either, they didn’t really express me very well or I didn’t really need them to. I’m not sure which one or both.

Jangankan emoji. Gue sendiri, kadang gak tau harus nunjukkin ekspresi yang kayak gimana ketika ngerasain perasaan-perasaan yang gue gak paham.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Tentang Cerita Di Balik Video Hujan Dan Matahari.

Kata Melek, “Jendela.”

Lalu, gue mencerna itu sebagai:

“Chintana, ke jendela. Liat satu titik di sana. Kamu yang tau titik itu di mana.”

“Ngomong ke satu titik itu aja, ketika harus menyampaikan lirik yang ditulis. Apa yang ditulis, bacain ke satu titik itu aja. Percayain ke titik itu semua yang ditanyakan. This little dot, sedang menceritakan sebuah perjalanan yang indah, yang akan kamu denger jawabannya.”

“Botin, tugasnya dengerin pas Chintana nyanyiin part dia. Kalau Chintana udah selesai nanya, itu waktunya Botin tunjukkin apa yang dia pahami dari jawaban yang sedang diberikan untuk Chintana.”

I really don’t know what that means, tapi itu yang gue cerna. OH! Ada satu lagi.

“Melek, baca ini berulang-ulang, terus. Pelan-pelan. Supaya bisa ngerasain makna di balik lagunya. Percaya, nanti akan ngerasain sesuatu yang mungkin bisa bikin air mata jatuh sendiri. Bahwa sebetulnya: kita semua gak pernah sendirian, selalu ada yang doain, percaya, Lek.”

This is what I call: Frequency Response.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Di Awan

Satu lagi #musikalisasipuisi atas karya mas #SalmanAristo yang setiap kata-katanya langsung terngiang-ngiang semalaman di telinga dari buku Puisi Pendek Biar Rindu Panjang. Silakan nikmati ini sebagai pengantar sebelum kamu baca seluruh isi bukunya di #Storial, tiga puluh lima lembar puisi yang bikin hangat hati.

Sudah, #dirumahaja tenang-tenang kalem-kalem membaca. Dengan menikmati puisi-puisi ini, kamu akan tau betapa Bahasa Indonesia itu bisa demikian indah. Klik aja link ini: http://bit.ly/storialpuisirindu. Semoga terbuai.

Oh iya, terima kasih Nur Zaman & Rocky Prabowo yang sudah membantuku bikin video ini. Terima kasih #roemahiponk dan terutama Pak Ivan Iponk yang sudah mengizinkanku berkarya di tengah pandemi. Khusus Pak Ivan, makasih selama ini mengajarkanku rekaman, mixing, dan mastering dengan sangat sabar walaupun seringkali ku lemot dan supergaptek. Semoga karya ini bisa lumayan bikin pakguru bangga. Lalu, terima kasih, kamu yang sudah mendengarkan dari kemarin-kemarin, kamu kukasihi.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Mendalami Teduh

Agustin Oendari x Salman Aristo – Mendalami Teduh

Sudah sekian lama gak bikin #musikalisasipuisi, yang biasa gue sebut dengan muspi. Terakhir waktu jaman sekolah, yang gak lain gak bukan adalah belasan tahun yang lalu. Beberapa minggu belakangan, gue diperkenalkan oleh teman kepada sebuah buku puisi yang dari mulai judul aja udah bikin penasaran dan senyum-senyum sendiri. Awalnya, gue hanya tau mas #SalmanAristo sebagai sineas. Nah, teman gue memperkenalkan kepada buku puisi yang ditulis Mas Aris dan baru rilis: Puisi Pendek Biar Rindu Panjang.

Di buku ini, ada 35 puisi pendek yang jadi penghiburan di kala gue cuma bisa #dirumahaja diserang kerinduan akan banyak hal yang sekarang harus berhilangan karena situasi gakjelas ini. Salah satu yang pertama kali langsung menarik perhatian gue adalah #MendalamiTeduh. Ini adalah interpretasi sederhana atas puisi pendek yang manis karya Mas Aris.

Kalau mau baca buku ini: ketik link ini aja http://bit.ly/storialpuisirindu Suasana merumah niscaya gak bakal ngebosenin kalau diisi sama kegiatan berfaedah semacam membaca buku. Selamat mendalami teduh!

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

20 Menit

Aku selalu tau kalau kamu datang. Hanya dengan merasakan hawa tubuhmu, mendengar derit kayu di bawah langkah kakimu. Iya, aku memang memerhatikan kamu sedari kamu masuk ke kedai. Tanpa perlu memandangi pun, aku bisa. Seperti biasanya.

Aku akan selalu memulai percakapan karena kamu malu-malu.

Adakah yang pernah bilang padamu bahwa kamu punya tulang pipi yang cantik menopang kedua bola matamu yang besar dan jernih. Atau hanya aku? Kalau kubilang demikian, kamu pasti cuma tersenyum. Semakin terlihat belulang yang memikat itu.

Bagaimana di kantor hari ini? Sepertinya kamu sibuk. Tidak biasanya kamu membawa laptopmu yang besar itu. Mungkin sebaiknya kamu mendengarkan saranku untuk membeli peranti yang lebih praktis.

Belakangan ini cuaca tidak tentu. Sebaiknya kamu cukup tidur dan tidak lupa makan yang banyak.

Apa yang kamu pikirkan? Kenapa sering sekali melihat keluar jendela? Ada apa di sana?

Oh iya, sesaat sebelum kamu masuk tadi, ada temanmu yang kerja di departemen keuangan itu, tapi tidak lama. Dia hanya beli kopi susu dan sepotong roti, mungkin untuk makan malam di jalan pulang. Dia pergi naik taksi. Sepertinya buru-buru.

Ah. Kopimu tumpah. Kemejamu jadi bernoda. Sudah, tidak apa-apa, kalau segera direndam ketika pulang nanti, nodanya pasti hilang. Jangan kuatir.

Aku punya ide. Suatu hari nanti kita liburan. Di pinggir pantai. Suara ombak. Teras yang berangin. Langit biru terang. Dan kita berdua duduk lama. Berdua saja. Hmmm. Sebetulnya, aku cuma menebak-nebak. Belakangan ini kamu sering melihat-lihat artikel tentang travelling.

Ah. Kamu sudah berkemas dan harus pergi. Aku memerhatikan kamu sejak tadi, sedari kamu masuk ke kedai. Tanpa perlu memandangi pun, aku bisa. Seperti biasanya. Setiap hari. Selama 20 menit. Setiap hari. Dan, setelahnya aku cuma akan tertinggal dengan berandai-andai.

Seandainya aku punya sedikit saja nyali untuk berkenalan dengan kamu.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Pagi Pada Lubuk Fatmawati

5:55 / Sapu lidi mendesis di antara batu-batu dan aspal yang sendu. Cemara yang tirus itu seperti menangis pelan-pelan, apalah sebabnya. Dedaun rela mengayun. Karat di bilah-bilah teralis jendela berkarib dengan dua burung biru. Ini pagi yang lembap. Ini pagi pada lubuk Fatmawati.

Mengapa aku masih hidup. Itu pertanyaan rutin yang biasa aku sampaikan selepas bangun pagi. Kepada siapa, entah. Mungkin kepada lusinan pigura yang memagari kenangan kita. Mungkin kepada sepasang lampu hias kesukaanmu di samping dipan. Mungkin kepada perkakas masak yang sudah tidak lagi terpakai. Atau mungkin kepada dua burung gereja yang beriap-riap di atap. Tanpa jawaban.

Bau pucuk melati dan uap teh hangat selalu membentuk kepul-kepul yang beraroma tubuhmu. Setelah teh manis ini, apabila sudah tidak gerimis, aku akan menyapu halaman. Pagi ini sepi, langit seperti mati. Mendung menggelantung. Abu-abu.

Anak-anak kecil lahir ke dunia dan semakin banyak. Karyawan bank yang tinggal di ujung jalan sana, anak keduanya sudah lahir. Kemarin, mereka baru saja merayakan sebulanannya. Istrinya mengantar nasi kuning dengan rendang dan seloyang kue cokelat. Semoga si anak pertama, bocah yang adatnya buruk itu, semoga saja tidak mendengki pada adiknya.

Sementara, yang mati pun juga bertambah. Salah satu tetangga kita mati dan anak-anak mereka akan menjual rumahnya. Kalau tidak salah, kepada pasangan muda yang akan membongkar total rumah tua itu. Berarti, jika tidak salah ingat, tersisa rumah kita saja yang setia kepada jaman. Aku bangga pada kayu yang mengisi kusen pintu, ambang jendela, dan seisi rumah kayu kita –– bilah-bilah hidup yang selalu menyimpan ingatan-ingatan dari yang hidup –– ketimbang pelat-pelat celup yang dingin. Bagiku tidak terasa seperti rumah. Semoga anak-anak kita tidak sembrono.

Bunga-bunga mulai ada lagi. Seperti kertas warna-warni. Aku lelah dan merasa malas menyiram bunga. Untunglah musim hujan sudah tiba kembali.

Beras tinggal sedikit. Mungkin, hari ini aku harus ke pasar. Mungkin, aku juga akan membeli buah dan sayur. Aku susah buang air belakangan ini. Aku akan berjalan kaki ke sana, karena terakhir kali membayar ojek, uang kembalianku dibawa kabur tiga puluh ribu. Betapa hidup di Jakarta sungguh mahal.

Aku rindu semur sapi yang harum dengan daging sengkel yang empuk. Hanya kamu yang bisa memasak dengan sempurna. Kolesterolku memang tidak bertambah baik, namun aku rindu sekali masakanmu. Dan, karena kamu, aku bisa bedakan sapi yang diolah betul dan yang tidak. Dan, aku paham benar, selera bukan hanya tergugah karena bumbu-bumbu dan gajih. Tidak, bukan hanya itu. Kamu pun paham.

Enam tiga puluh. Aku harus bergegas mandi dan ke pasar.


Kemarin, tersiar kabar bahwa Kakek Fatmawati – begitu waga setempat menyebutnya – meninggal karena jatuh di kamar mandi. Jenazahnya ditemukan kurang lebih sehari setelah perkiraan waktu kematian. Kepergian Kakek Fatmawati menyusul mendiang istrinya, Nenek Fatmawati, yang telah mendahuluinya beberapa tahun silam.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Kakek

Aku teringat Kakek.

Penampilan Kakek selalu sederhana. Kemeja tangan pendek, celana agak kedodoran yang buatnya nyaman dipakai, tidak lupa ikat pinggang cokelat muda yang selalu memeluk tubuh tegapnya yang menua. Kakek selalu mengenakan sendal dengan sedikit serpihan tanah dan debu di kakinya, dan jam kulit tua menggelang di tangannya.

Kami bertemu setiap Sabtu sore. Di kedai yang sama. Pesan hidangan yang itu-itu juga. Dan duduk di sudut favoritnya: di sofa merah darah dekat cermin yang bersebelahan dengan jendela tua berukuran besar mengarah ke langit.

Tidak banyak yang kami kerjakan di kedai. Biasanya, ritual Sabtu kami dimulai dengan Aku yang tiba lebih dahulu dan memesankan makanan, kemudian Kakek yang datang belakangan langsung mengambil bacaan, lalu masing-masing membaca koran akhir pekan selama setengah jam sebelum menyantap hidangan yang sudah agak dingin sambil membicarakan hal-hal yang baru kami baca. Ini bisa saja soal macam-macam dan selalu berakhir ngalor-ngidul. Namun, justru bagian yang ngalor-ngidul ini yang menarik, karena biasanya berujung soal keluarga.

Soal-soal keluarga, baik yang baik ataupun yang buruk, yang berupa fakta ataupun gosip, selalu membuat obrolan kami tenang dan hangat, bahkan sampai bikin kami lupa sedang berada di tempat umum. Kalau sudah puas ngobrol, Kakek selalu ketiduran. Dia selalu ketiduran (atau memilih tempat duduk di sudut berangin di depan jendela ini memang bagian dari rencananya untuk tidur di situ, entahlah) sambil bertopang dagu di tangan kanan yang digelantungi jam, diiringi bunyi detiknya yang seperti air mengalir. Kakek tertidur, dan aku selalu terlena memerhatikannya. Serasa kembali ke masa kecil. Serasa kembali jadi cucu kesayangannya yang masih bocah.


Dulu sekali, Kakek sering tertidur saat menjagai Aku bermain. Di kursi kayunya yang mungkin setua usianya, Kakek selalu ketiduran. Namun, bukanlah Kakek kalau tak sigap, mungkin karena dia seorang pensiunan prajurit yang serba siap. Kakek pasti terbangun begitu ada suara keras, takut kalau-kalau Aku jatuh atau cidera. Iya, Kakek selalu terbangun walau cuma mengintip lewat sudut matanya. Dan, dulu, ini sungguh hiburan yang menyenangkan buatku setiap sore. Sengaja membuat suara-suara keras supaya bisa ngebangunin Kakek hanya demi memastikan bahwa Kakek pasti menjagai Aku.

Kamu tau, dan kurasa semua orang yang pernah punya masa kecil pun tau, bahwa sesungguhnya waktulah yang paling lekas “mendewasakan” manusia. Setidaknya kurasa demikian. Setelah menjalani beberapa masa di dalam hidupku, Aku bukan lagi cucu kecilnya yang dijagai tiap sore. Aku tidak lagi tinggal dengan Kakek. Ritual tiap sore di teras rumah, akhirnya hanya tergantikan dengan ritual seminggu sekali setiap akhir pekan di kopitiam langganan. Atas nama kesibukan. Iya, Aku sibuk berkehidupan, dan Kakek pun sibuk menua.


Saat ini, di sini, Aku teringat Kakek. Aku merindukan Kakek, si pensiunan prajurit yang sering ketiduran. Rindu sekali padanya.

Hari ini, penampilannya tidak sesederhana biasa. Sebagai ganti kostum santainya, Kakek gagah sekali dengan setelan hitam-hitam, plus kemeja abu-abu dan dasi yang sungguh bergaya. Hari ini, Kakek tidak pakai sendal. Kakek pakai pantofel paling maskulin dan paling mengilap. Kakek tertidur, tapi kali ini bukan di teras rumah ataupun di kedai langganan. Tidak juga dengan pose andalannya. Kali ini, Kakek tertidur dengan rapi di peti pribadinya, di hadapan puluhan jemaat, sebilah salib, dua batang lilin di atas meja, harumnya karangan bunga, dan seorang pendeta botak.

Biasanya Kakek tertidur dengan diiringi bunyi detik-detik waktu yang seperti air mengalir, bunyi dari jam kulit tua yang kini menggelang di tanganku. Namun, saat ini, bunyi kuartet alat musik gesek yang sedang mengalun memainkan sebuah himne tradisional yang judulnya saja aku lupa, bagiku terdengar seperti ombak yang bergulung ringan membawa Kakek ke tengah pusaran sumber kehidupan, jauh di sana, entah di mana.

Aku sudah mencoba berbagai cara: menjatuhkan kunci mobil, menyenggol kaki kursi, menjejakkan hak sepatu, sampai batuk keras-keras. Seperti biasa, seharusnya Kakek pasti tau kalau Akulah yang sengaja membuat suara-suara ketika Kakek sedang lelap sore-sore seperti ini. Akan tetapi, Aku tidak bisa terlalu berisik di sini karena ibadah kedukaan masih berlangsung. Padahal, Aku sungguh mengharap-harap, kapan Kakek akan mengintip kecil dari sudut matanya, sebelum Kakek kembali kepada bumi, besok pagi.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.