Tentang Eyang


Agustin Oendari adalah seorang penulis lagu dan penyanyi yang mengawali karier pada 2014 dengan menulis dan menyanyikan lagu Selamat Pagi Malam untuk film berjudul sama karya sutradara Lucky Kuswandi. Lagu tersebutlah yang pertama kali mempertemukan Oendari dengan pendengar setia yang terus mendukungnya hingga melalui beberapa rilisan untuk film-film lain, seperti Galih & Ratna, satu lagi karya sutradara Lucky Kuswandi, dan Susah Sinyal, karya sutradara Ernest Prakasa.

Rilisan-rilisan Oendari yang lain pun telah mendapat perhatian khusus dari berbagai streaming platform dan media, antara lain: LHSW yang sempat menjadi bagian dari banner utama aplikasi JOOX pada masa rilisnya dan juga disiarkan di berbagai media musik ternama, seperti Billboard Indonesia dan Pophariini; Bend Down dan Selamat Pagi Malam yang berada di deretan nominasi AMI Awards ke-22; dan beberapa lagu dalam album soundtrack Galih & Ratna yang mendapatkan kesempatan spesial JOOX Concert Galih & Ratna tahun 2017, seperti Hampir Sempurna, yang ditampilkan oleh Rendy Pandugo, Song Of Goodbye, yang ditampilkan oleh Ivan Gojaya yang juga adalah produser dari hampir seluruh karya Oendari, dan lagu-lagu lain yang ditampilkan oleh Oendari, seperti Nyatanya Sementara, Dari Rindu Kepada Rindu.

Selain terlibat dalam berbagai karya kolaboratif sebagai penyanyi atau penulis lagu, Oendari juga sempat berkiprah sebagai vocal director, bekerja bersama musisi dan produser ternama, antara lain Titiek Puspa, Dutacinta, Momo Geisha, Sheryl Sheinafia, dan Steve Lillywhite. Keterlibatan Oendari sebagai vocal director juga terdapat pada lagu Lathi (Weird Genius ft. Sara Fajira), Dunia (Mytha Lestari), A Million Stars (Album Kolaborasi Rising Stars), dan masih banyak lagi. Tahun 2021, Oendari dengan merilis album dari keterlibatannya di dalam sebuah film berjudul Akhirat: A Love Story.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Tentang Perjalanan Ziarah ke Turki


Agustin Oendari adalah seorang penulis lagu dan penyanyi yang mengawali karier pada 2014 dengan menulis dan menyanyikan lagu Selamat Pagi Malam untuk film berjudul sama karya sutradara Lucky Kuswandi. Lagu tersebutlah yang pertama kali mempertemukan Oendari dengan pendengar setia yang terus mendukungnya hingga melalui beberapa rilisan untuk film-film lain, seperti Galih & Ratna, satu lagi karya sutradara Lucky Kuswandi, dan Susah Sinyal, karya sutradara Ernest Prakasa.

Rilisan-rilisan Oendari yang lain pun telah mendapat perhatian khusus dari berbagai streaming platform dan media, antara lain: LHSW yang sempat menjadi bagian dari banner utama aplikasi JOOX pada masa rilisnya dan juga disiarkan di berbagai media musik ternama, seperti Billboard Indonesia dan Pophariini; Bend Down dan Selamat Pagi Malam yang berada di deretan nominasi AMI Awards ke-22; dan beberapa lagu dalam album soundtrack Galih & Ratna yang mendapatkan kesempatan spesial JOOX Concert Galih & Ratna tahun 2017, seperti Hampir Sempurna, yang ditampilkan oleh Rendy Pandugo, Song Of Goodbye, yang ditampilkan oleh Ivan Gojaya yang juga adalah produser dari hampir seluruh karya Oendari, dan lagu-lagu lain yang ditampilkan oleh Oendari, seperti Nyatanya Sementara, Dari Rindu Kepada Rindu.

Selain terlibat dalam berbagai karya kolaboratif sebagai penyanyi atau penulis lagu, Oendari juga sempat berkiprah sebagai vocal director, bekerja bersama musisi dan produser ternama, antara lain Titiek Puspa, Dutacinta, Momo Geisha, Sheryl Sheinafia, dan Steve Lillywhite. Keterlibatan Oendari sebagai vocal director juga terdapat pada lagu Lathi (Weird Genius ft. Sara Fajira), Dunia (Mytha Lestari), A Million Stars (Album Kolaborasi Rising Stars), dan masih banyak lagi. Tahun 2021, Oendari dengan merilis album dari keterlibatannya di dalam sebuah film berjudul Akhirat: A Love Story.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Tentang Si Coklat


Agustin Oendari adalah seorang penulis lagu dan penyanyi yang mengawali karier pada 2014 dengan menulis dan menyanyikan lagu Selamat Pagi Malam untuk film berjudul sama karya sutradara Lucky Kuswandi. Lagu tersebutlah yang pertama kali mempertemukan Oendari dengan pendengar setia yang terus mendukungnya hingga melalui beberapa rilisan untuk film-film lain, seperti Galih & Ratna, satu lagi karya sutradara Lucky Kuswandi, dan Susah Sinyal, karya sutradara Ernest Prakasa.

Rilisan-rilisan Oendari yang lain pun telah mendapat perhatian khusus dari berbagai streaming platform dan media, antara lain: LHSW yang sempat menjadi bagian dari banner utama aplikasi JOOX pada masa rilisnya dan juga disiarkan di berbagai media musik ternama, seperti Billboard Indonesia dan Pophariini; Bend Down dan Selamat Pagi Malam yang berada di deretan nominasi AMI Awards ke-22; dan beberapa lagu dalam album soundtrack Galih & Ratna yang mendapatkan kesempatan spesial JOOX Concert Galih & Ratna tahun 2017, seperti Hampir Sempurna, yang ditampilkan oleh Rendy Pandugo, Song Of Goodbye, yang ditampilkan oleh Ivan Gojaya yang juga adalah produser dari hampir seluruh karya Oendari, dan lagu-lagu lain yang ditampilkan oleh Oendari, seperti Nyatanya Sementara, Dari Rindu Kepada Rindu.

Selain terlibat dalam berbagai karya kolaboratif sebagai penyanyi atau penulis lagu, Oendari juga sempat berkiprah sebagai vocal director, bekerja bersama musisi dan produser ternama, antara lain Titiek Puspa, Dutacinta, Momo Geisha, Sheryl Sheinafia, dan Steve Lillywhite. Keterlibatan Oendari sebagai vocal director juga terdapat pada lagu Lathi (Weird Genius ft. Sara Fajira), Dunia (Mytha Lestari), A Million Stars (Album Kolaborasi Rising Stars), dan masih banyak lagi. Tahun 2021, Oendari dengan merilis album dari keterlibatannya di dalam sebuah film berjudul Akhirat: A Love Story.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Tentang Dua Serigala


Agustin Oendari adalah seorang penulis lagu dan penyanyi yang mengawali karier pada 2014 dengan menulis dan menyanyikan lagu Selamat Pagi Malam untuk film berjudul sama karya sutradara Lucky Kuswandi. Lagu tersebutlah yang pertama kali mempertemukan Oendari dengan pendengar setia yang terus mendukungnya hingga melalui beberapa rilisan untuk film-film lain, seperti Galih & Ratna, satu lagi karya sutradara Lucky Kuswandi, dan Susah Sinyal, karya sutradara Ernest Prakasa.

Rilisan-rilisan Oendari yang lain pun telah mendapat perhatian khusus dari berbagai streaming platform dan media, antara lain: LHSW yang sempat menjadi bagian dari banner utama aplikasi JOOX pada masa rilisnya dan juga disiarkan di berbagai media musik ternama, seperti Billboard Indonesia dan Pophariini; Bend Down dan Selamat Pagi Malam yang berada di deretan nominasi AMI Awards ke-22; dan beberapa lagu dalam album soundtrack Galih & Ratna yang mendapatkan kesempatan spesial JOOX Concert Galih & Ratna tahun 2017, seperti Hampir Sempurna, yang ditampilkan oleh Rendy Pandugo, Song Of Goodbye, yang ditampilkan oleh Ivan Gojaya yang juga adalah produser dari hampir seluruh karya Oendari, dan lagu-lagu lain yang ditampilkan oleh Oendari, seperti Nyatanya Sementara, Dari Rindu Kepada Rindu.

Selain terlibat dalam berbagai karya kolaboratif sebagai penyanyi atau penulis lagu, Oendari juga sempat berkiprah sebagai vocal director, bekerja bersama musisi dan produser ternama, antara lain Titiek Puspa, Dutacinta, Momo Geisha, Sheryl Sheinafia, dan Steve Lillywhite. Keterlibatan Oendari sebagai vocal director juga terdapat pada lagu Lathi (Weird Genius ft. Sara Fajira), Dunia (Mytha Lestari), A Million Stars (Album Kolaborasi Rising Stars), dan masih banyak lagi. Tahun 2021, Oendari dengan merilis album dari keterlibatannya di dalam sebuah film berjudul Akhirat: A Love Story.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Mimpi Semalam (19)


Agustin Oendari adalah seorang penulis lagu dan penyanyi yang mengawali karier pada 2014 dengan menulis dan menyanyikan lagu Selamat Pagi Malam untuk film berjudul sama karya sutradara Lucky Kuswandi. Lagu tersebutlah yang pertama kali mempertemukan Oendari dengan pendengar setia yang terus mendukungnya hingga melalui beberapa rilisan untuk film-film lain, seperti Galih & Ratna, satu lagi karya sutradara Lucky Kuswandi, dan Susah Sinyal, karya sutradara Ernest Prakasa.

Rilisan-rilisan Oendari yang lain pun telah mendapat perhatian khusus dari berbagai streaming platform dan media, antara lain: LHSW yang sempat menjadi bagian dari banner utama aplikasi JOOX pada masa rilisnya dan juga disiarkan di berbagai media musik ternama, seperti Billboard Indonesia dan Pophariini; Bend Down dan Selamat Pagi Malam yang berada di deretan nominasi AMI Awards ke-22; dan beberapa lagu dalam album soundtrack Galih & Ratna yang mendapatkan kesempatan spesial JOOX Concert Galih & Ratna tahun 2017, seperti Hampir Sempurna, yang ditampilkan oleh Rendy Pandugo, Song Of Goodbye, yang ditampilkan oleh Ivan Gojaya yang juga adalah produser dari hampir seluruh karya Oendari, dan lagu-lagu lain yang ditampilkan oleh Oendari, seperti Nyatanya Sementara, Dari Rindu Kepada Rindu.

Selain terlibat dalam berbagai karya kolaboratif sebagai penyanyi atau penulis lagu, Oendari juga sempat berkiprah sebagai vocal director, bekerja bersama musisi dan produser ternama, antara lain Titiek Puspa, Dutacinta, Momo Geisha, Sheryl Sheinafia, dan Steve Lillywhite. Keterlibatan Oendari sebagai vocal director juga terdapat pada lagu Lathi (Weird Genius ft. Sara Fajira), Dunia (Mytha Lestari), A Million Stars (Album Kolaborasi Rising Stars), dan masih banyak lagi. Tahun 2021, Oendari dengan merilis album dari keterlibatannya di dalam sebuah film berjudul Akhirat: A Love Story.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Tentang Sebuah Bulan April Yang Bersejarah

Bulan April 2022 adalah bulan yang bersejarah buat gue. Ada banyak kejadian penting, yang semoga saja gue inget sampai gue tua nanti. Empat di antaranya adalah ini.

I. Gokil, Gue Dilamar.

Sebut saja Saddam, salah satu teman kuliah gue yang paling pandai, super-logis, penuh perhitungan. Ah, gue sering membayangkan Saddam sebagai jurnal ilmiah berjalan. Gak pernah tuh ngomongin perasaan, kehidupan, percintaan dan tetek-bengeknya. Obrolan seru sama Saddam biasanya mengenai riset untuk berbagai bisnis yang dirintisnya. Namun, hari itu, lain cerita.

Pada satu sore yang random di Alam Sutera, gue dan Saddam sedang menantikan menu yang kami pesan. Kami kelaparan, belum makan siang. Mana matahari lagi lumayan biadab teriknya. Untuk mengalihkan perasaan gak nyaman, Saddam membuka obrolan. Betapa kaget gue, ketika hal pertama yang ditanyakan Saddam bukanlah pendapat gue mengenai pertumbuhan bisnisnya dia, melainkan: gimana perasaan gue setelah dua bulan jadi jomblo pasca empat tahun pacaran.

Ini kejadian beberapa tahun lalu. Pada masa itu, Saddam sedang merencanakan pernikahan. Begitu pula, teman-teman sebaya kami. Mereka semua lagi seru-serunya mencanangkan tanggal dan tempat nikahan, sementara gue … Huft, baru putus. Yang belum diketahui Saddam pada saat itu adalah gue gak cuma baru putus, tapi juga baru aja dipertemukan oleh seorang pria baru yang, menurut ukuran logika gue, sama sekali enggak ideal. Duh, pesanan kami enggak nongol-nongol. Ya udah, gue lanjut cerita. Saddam menyimak.

Dulu, seperti kebanyakan bocah perempuan lain di sekolah, gue sempat punya cita-cita menikah: umur dua lima, pakai gaun putih ekor panjang, bawa sebuket bunga, dan didandani dengan cantik sebelum akhirnya ketemu dengan lelaki di ujung altar yang kemudian bakal menyandang predikat suami. Namun, cita-cita itu ada jauh sebelum gue dua kali putus cinta di tengah ekspektasi untuk menikah, dan tentu jauh sebelum akhirnya Semesta mempertemukan gue dengan seorang lelaki yang sudah pernah menikah, sudah punya satu anak, dan tidak lagi percaya dengan pernikahan karena merasa pernah gagal.

Saddam kemudian bertanya, “Jadi, sekarang lo pacaran sama dia?” Pacar? Jadian aja gak pernah. Kejadian demi kejadian terjadi begitu aja. Di satu sisi, dengan segala fakta yang ada, hati gue bilang dia lelaki yang tepat. Ironisnya, pun dengan segala fakta yang ada, otak gue yang sederhana menyangkal dengan cepat. Pacar sekadar istilah paling mudah yang paling bisa menjelaskan dia itu sebenarnya apa, tapi kenyataan jauh lebih rumit daripada itu.

“Enggak tau. Yang jelas, gue udah gak berharap menikah. Now, I really think marriage is just not for me,” karena malas menjelaskan panjang lebar, hanya itu jawaban yang keluar dari mulut gue. Lagipula, pada saat itu, cita-cita gue waktu bocah tentang menikah umur dua lima memang udah samar banget, tinggal garis-garis tipis berbentuk hati yang sudah patah sana-sini.

Saddam terdiam lama sekali. Awkward, anjir. Saddam, jawablah. Apa kek. Beruntung, akhirnya pesanan kami keluar juga. Babang tukang iga ini entah obsesif soal timing apa pegimana, enggak ngerti. Namun, memang dasar bangkek. Sesaat sebelum suapan pertama, Saddam bilang sesuatu yang gue ingat sampai sekarang.

“I don’t know what’s best for you. Tapi, gue selalu pingin semua temen gue bahagia. Di doa gue, ya, ketemu dengan orang yang tepat, menikah, punya keluarga. Including you. Of course. You’re not easily forgotten.”

Buset. Santai banget doi ngomong. Gantian, gue yang terdiam. Lama banget, sampai akhirnya kita gak pernah ngobrolin itu lagi. Matahari sore mulai kalem, Alam Sutera berangsur sejuk, tapi hati gue tetep panas gak karu-karuan.

Bertahun-tahun berlalu, dan, ah, Semesta memang suka bercanda. Now, I’m 32 going 33. And, getting married. Awal April lalu, gue dilamar Si Pacar. Wah, gokil, doa Saddam kayaknya jadi kenyataan.

II. 333 dan perihal keyakinan.

“Aku mulai yakin mau hidup sama kamu,” adalah satu kalimat dari Si Pacar yang bikin gue hampir keselek lalapan. Tumben-tumbenan, di tengah makan pecel lele tiba-tiba dia romantis. Nah, pas dia romantis, gue malah bingung, “Kok bisa? Selama ini kan kamu bilang kamu gak akan bener-bener yakin?”

Waktu itu, beberapa hari lalu, jam sudah lewat jauh dari tengah malam. Kami berdua baru kelar dengan kerjaan masing-masing. Namun, karena dilanda rasa lapar, kami memutuskan ya-udahlah-makan-dulu sebelum bubaran. Alhasil, pecel lele Bu Dewor jadi pilihan: selalu siaga, selalu enak, dan selalu terpercaya. (Lalapnya juga enggak pelit. Makasih, Bu Dewor!)

Kami sering ngobrol pas lagi makan, terkecuali kalau makanannya enak banget, kami otomatis gagu. Biasanya ini yang terjadi setiap kali menyantap masakan Bu Dewor. Namun, kali itu, beda. Gue lagi seru cabut-cabutin daun kemangi, sambil sesekali gue cemil-cemil kalau ada yang kelihatan segar mengilap, ketika tiba-tiba Si Pacar bilang sekalimat mengagetkan, “Aku mulai yakin mau hidup sama kamu.”

Mana pernah gue nyangka kalimat itu bakal keluar dari mulut Si Pacar. Bertahun-tahun saling kenal, gue sudah sangat paham bahwa merasa yakin tidak pernah lagi jadi bagian dari sifat Si Pacar. Tidak pernah lagi, terutama setelah dia pernah seyakin kalimat “till-death-do-us-part” pada satu waktu kemudian dengan berat hati memutuskan untuk bercerai beberapa tahun kemudian.

Apakah ketidakyakinannya pernah bikin gue sedih? Hmmm. Sedih dan berkecil hati sudah bukan jadi perasaan yang relevan lagi buat gue. Sepertinya, gue udah melewati itu, entah karena terbiasa atau sekadar berlapang hati setelah belajar memahami. Itu semakin make sense setelah Si Pacar pernah bilang, “Malah seharusnya kamu curiga kalau dari awal aku bilang aku yakin mau hidup sama kamu.” Betul juga. Siapalah kita, bisa 100% yakin?

Pas gue tanya kenapa dia sekarang mulai yakin, Si Pacar bilang itu perihal waktu. Satu perihal yang terdengar sederhana, tapi di dalamnya terkandung samudera penuh makna. Dalam hitungan milidetik, ingatan gue dibawa ke awal kedekatan kami yang penuh kecemasan dan kebingungan. Kala itu, Si Pacar pernah bilang, “Percaya aja sama waktu.” Ternyata, ini yang dia maksud?

Obrolan tentang keyakinan ini ditutup oleh Sang Pacar dengan, “Ente gak pernah ngerasain cerai sih.” Ya, tentu aja gak pernah dong, Malih. Ujung-ujungnya kami berdua ngakak. Yah, begitulah. Hubungan kami memang seringkali diwarnai dengan dark jokes dan dark ngakak.

Sambil menghabiskan pecel lele termantap se-Asia Tenggara, gue tenggelam di dalam pikiran gue sendiri. Meskipun ada rasa kaget di situ, gue diselimuti perasaan bahagia. Mendengar Si Pacar, yang selama delapan tahun belakangan belum pernah bilang kalau dia betul-betul yakin bahwa gue orang yang tepat buat dia, melontarkan kalimat sakti itu … Rasanya, setengah beban gue lepas. Ringan. Pecel lele Bu Dewor pun semacam berkali lipat lebih enak daripada biasanya. Lagi di tengah bengong karena kesenengan (atau kekenyangan?), tiba-tiba, Si Pacar bertanya, “Jam berapa sekarang?”

Always-on display di hp gue menunjukkan angka yang tidak dibuat-buat, “3:33,” lalu kami berdua tatap-tatapan dan sama-sama merinding. Beberapa detik kemudian, tanpa janjian dan tanpa bicara apa-apa, kami berdua sama-sama ketawa. Untuk yang pernah atau sering ngulik soal Angel Numbers, pasti paham kenapa.

Ternyata, begini rasanya punya pacar setengah dukun. Eh, tunggu. Pacar? Tunangan.

Oh. That was one of the best nights. Ever. And, I know I can’t thank the Universe enough for my life. The good and the bad. The joy and the pain. No words will be enough for that.

III. TEMAN BARU.

Gue punya teman baru. Sebut saja Firman. Kami ketemu pertama kali dalam satu acara menjelang akhir tahun lalu. Beberapa waktu setelah selesainya acara tersebut, kami mulai mengobrol. Berawal dari obrolan remeh-temeh macam kisah seorang Pak RT bernama Syamsul, berlanjut ke diskusi asik tentang musik, bertukar Katla, sampai bertukar cerita. Pertemanan ini menarik.

Ini orang lucu banget. Bahkan, dalam berbagai kesempatan, gue sering merasa bahwa tanpa berniat ngelucu pun, Firman ini udah lucu banget. Entah udah berapa kali sepanjang beberapa bulan terakhir, gue sering ketawa sendiri pas baca kiriman Whatsapp dari Si Firman.

Selain lucu, Firman punya kebiasaan berpikir dengan cepat. Sebaliknya, gue cenderung lebih lambat. Tidak jarang, obrolan kami melesat dari satu topik ke topik lainnya dengan sangat ringan. Tidak jarang pula, setelah obrolan-obrolan selesai, tinggallah gue berpikir sendirian dan ujung-ujungnya, “ya juga ya,” atau, “kenapa ya?” atau pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Perbedaan di antara gue dan Firman gak cuma itu. Banyak. Kami beda latar belakang, beda pola pikir, beda cara pandang terhadap banyak hal. Serasa hidup kami adalah dua polaritas yang berseberangan. Namun, itu yang bikin pertemanan ini jadi menarik buat gue. Belum lagi, usia Firman yang beberapa tahun lebih tua dengan koleksi pengalaman yang lebih banyak, petualangan hidupnya dari satu kota ke kota lain, plus pertemuannya dengan berbagai jenis manusia, berbagai jenis tragedi, berbagai jenis kebahagiaan … Wah, gue kayak menang banyak ketemu satu orang macam Firman karena gue jadi belajar banyak hal dalam waktu yang terbilang singkat.

Kehadiran Firman di dalam kehidupan gue kayaknya memang pas timingnya. Pasalnya, Firman, yang sudah menikah kurang lebih selama dua tahun dan sekarang sudah punya keluarga kecil yang manis, hampir pasti punya ingatan yang masih segar tentang bagaimana rasanya ketika mempersiapkan pernikahan – sesuatu yang sedang gue alami saat ini. Pada suatu malam yang (lagi-lagi) random, gak lama sebelum lamaran, gue bertanya apakah wajar kalau merasa cemas atau takut menjelang nikah. Gue pikir, jawabannya akan simpel, berupa wejangan atau tips en trik. Gak terduga, Firman melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya sederhana, tapi bikin gue berpikir keras.

Kayaknya Si Firman sadar kalau gue balelol ngejawab pertanyaan-pertanyaan sederhana itu. Ya, gimana gak balelol. Gue sudah lama berpikir untuk tidak menikah karena, ah, terlalu banyak yang terjadi selama bertahun-tahun yang bikin gue berpikir demikian. Namun, situasi berubah ketika akhir tahun lalu kami dapet restu dari orang tua masing-masing dan anak kesayangannya Si Pacar. Gak pake lama, arah hidup kebolak-balik dengan cepat. Gue kewalahan.

Nah, mungkin karena Si Firman sadar gue balelol, akhirnya Beliau mencoba menjelaskan dengan bercerita. Durasi ceritanya mah lumayan singkat, tapi isi ceritanya, wah, gawat. Ada perasaan terenyuh yang tersisa cukup panjang setelah dengar cerita Firman. Malam itu, gue jadi sadar bahwa mungkin Firman bisa jadi seperti Firman yang gue hormati sekarang karena udah ngalamin pendewasaan secara bertubi-tubi setelah serentetan persoalan pelik yang dialaminya.

Firman ini tuh orang apa malekat, hatinya lapang amat. Gue tau, banyak yang bilang bahwa Firman “rahangnya enteng” alias banyak omong doang. Alasan mereka: hidup gak semudah omongan belaka. Lah, emang! Kalau aja mereka tau cerita yang baru aja gue simak soal hidupnya Firman … Sekali-sekali, tanyalah Firman perihal melunturkan ego, perihal menata ulang hidup, dan banyak hal lainnya. Mungkin memang rahangnya enteng, tapi coba timbang pengalaman hidupnya.

Well, karena obrolannya semakin personal dan melahirkan semakin banyak pertanyaan, gue yang balelol ini akhirnya juga menjawab dengan bercerita. Entah energi apa yang mendorong gue pada saat itu, yang jelas gue tergerak untuk menceritakan kecemasan terbesar yang selama bertahun-tahun gue pendam sendiri dan menahan gue untuk melakukan ini-itu yang seharusnya bisa jadi kebahagiaan. Di seantero jagat raya, Firman adalah orang kedua yang gue ceritakan tentang hal ini.

Kelar cerita, gue nangis sejadi-jadinya. Bukan karena sedih, melainkan lega. Namun, insekyur turut melanda dan marahlah gue pada diri sendiri: “Agustin Oendari, kamu nyodorin piring kotor ke orang lain.” Lagi-lagi, entahlah Firman ini tuh orang apa malekat. Firman menenangkan dan meyakinkan gue bahwa enggak apa-apa cerita, harapannya: beban bisa berkurang. Firman pun berbelasungkawa ketika tau bahwa gue pernah kehilangan. Gak cuma itu, Firman sempat berpesan – nah, ini satu pesan yang gue rasa perlu gue ingat selalu:

“Kamu juga berhak untuk jalan terus. Bukan berhenti. Mencoba kembali, dengan seseorang yang sayang sama kamu, itu hak. Berbahagia, itu hak. Sebagaimana bersedih. Kan?”

Itu pesan sampe gue kasih bintang di Whatsapp. Buat Firman, mungkin itu pesan Whatsapp biasa. Buat gue, yang notabene sedang super-anxious, efeknya beda. Pesan dari Firman malam itu semacam satu pertanda Semesta: sudah cukup tujuh tahun patah hati dan sibuk mengobati; sudah, gakpapa, jalan terus aja. Pertanda yang mengantarkan gue mengarungi bulan April yang ternyata menyimpan banyak sekali kejutan.

Ah, kalau saja gue punya cara yang tepat untuk membalas kebaikan dan peran Firman yang hadir tepat saat gue butuh. Belakangan ini, gue sudah jarang bertukar kabar dengan Firman. Kelihatannya, Beliau sibuk. Jadi, yang bisa gue lakukan cuma menyampaikan doa dan permohonan baik kepada Semesta: semoga Firman selalu dijaga.

Oh. Firman tau takdirnya dari dulu adalah jadi seorang ayah, “Pengin banget jadi bapak yang benar.” Maka, itu pula yang jadi doa gue. Semoga Semesta memberikan usia yang cukup panjang, tenaga yang cukup banyak, dan kebijaksanaan seluas samudera bagi Firman untuk mewujudkan cita-citanya yang manis dan mulia.

IV. Lailatul Qadar Yang Penuh Kemurahan.

Wah, soal Lailatul Qadar ini kayaknya bakal panjang. Sayang sekali, entah karena lagi PMS atau energi gue habis setelah Sesi Roemahan, pinggang gue mulai pegal dan migrain gue makin parah. Oh! Untuk pertama kalinya setelah dua tahun vakum, semalam ROEMAHIPONK ngadain Sesi Roemahan lagi. Bahagia dan capeknya pol. Jadi, ya gitu. Gue terusin ini nanti ya. Bhai.

Ada baiknya bagian keempat ini ditulis di kisah yang terpisah dikarenakan … terlalu banyak yang aneh-aneh. Saking aneh-aneh, sampai sekarang gue masih belum memutuskan: mana yang bisa gue bagikan, mana yang enggak. Yodahlah. Lihat nanti. Lihat pertanda.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Kalau Yesus Tinggal Di Loteng Kamarku

Kadang, aku berpikir: bagaimana seandainya Yesus tinggal di loteng kamarku. Dia duduk di bawah genteng tua itu. Aku mendengarkan ketika dia sedang cerita. Kadang dia ngelucu, terus aku ketawa malu-malu. Kadang aku ngakak, ya gara-gara dia juga. Tapi, ada masanya, dia kedengeran sedih, seakan pernah ngerasain juga yang namanya kecewa.

Kadang, aku berpikir: bagaimana seandainya Yesus tinggal di loteng kamarku. Dengan sabar, Dia tinggal di sudut yang sumpek itu. Aku mendengarkan ketika dia sedang cerita dan dia mendengarkan ketika aku nangis. Dia melihat aku ketika aku inget berdoa dan melihat juga ketika aku lupa. Dia tau setiap kali aku sedang bingung dan mencari-cari. Dan, ikut seneng ketika aku menemukan kembali semua yang kupercaya, semua yang kuyakini: tujuan, kasih sayang, dan cita-cita.

Kadang, aku berpikir: kalau saja, seandainya Yesus tinggal di loteng kamarku. Peluhnya mengalir dan dibiarkannya. Aku mendengarkan ketika dia sedang cerita. Dia mengingatkan saat aku lalai meminta maaf setiap kali aku yang salah. Dia menguraikan tentang mengampuni setiap kali aku mesti memaafkan. Dia menjelaskan panjang lebar mengenai waktu, mengenai masa lalu, mengenai masa depan, dan apa artinya berlapang dada.

Kayaknya, aku bakal ngerasa jadi orang yang paling beruntung sedunia kalau saja, seandainya Yesus tinggal di loteng kamarku.


Photo by Sami Aksu on Pexels.com
Photo by Sami Aksu on Pexels.com

Ditulis oleh seorang berdosa, yang di KTP-nya tertulis agama: Kristen, tapi baru kenalan sama yang namanya Yesus … yaaa, baru belakangan ini lah.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Tentang Sanubariku

Canti Tachril berhasil bikin Saya bengong. Dengan cara yang terdengar effortless, Canti mengutarakan dua kata yang tepat menjelaskan apa yang Saya jalani selama kurang lebih tujuh tahun terakhir: mengejar ketenangan.


STOP KERJANYA. PASANG TELINGA. BUKA HATI.

Pertama kali Saya mendengar lagu ini adalah ketika Ivan Gojaya, alias Ivan Iponk, yang didapuk sebagai music produser dan mixing engineernya, sedang preview mix untuk dikirim ke studio mastering. Waktu itu, Saya duduk di sofa studio, nemenin Iponk kerja sembari ngurusin tulisan yang lagi Saya develop.

Awalnya, Saya terlarut dalam apa yang Saya kerjakan. Setiap nemenin Iponk di studio, Saya biasanya gak sengaja curi-curi dengar sepotong-sepotong saja dari lagu yang sedang beliau kerjain. Toh, Saya pun sibuk berkonsentrasi menyeimbangkan jari-jemari supaya kalaupun harus ketak-ketik keyboard laptop, gak terlalu berisik dan gak terlalu ngeganggu yang sedang mixing. Sampai akhirnya, pada ujung proses mixing, Iponk play satu lagu ini dari awal sampai selesai. Di situlah, …

Di situlah, tangan Saya berhenti bergerak. Tubuh kehilangan kontrol. Dari seluruh ujung kaki sampai ujung kepala, seakan-akan yang berfungsi cuma telinga sama otak. Kedua mata Saya perlahan menutup. Ada dingin yang hangat, panas yang sejuk, suhu yang sulit dijelaskan, mengalir dengan pelan-pelan seperti udara yang berbisik di depan liang telinga, “Stop kerjanya. Pasang telinga. Buka hati.”

Saya terdiam selama tiga menit dan lima puluh sekian detik. Lalu, air mata jatuh sendiri.

Sebuah Lagu Berjudul Sanubariku.

Lagu ini dimulai dengan permainan piano yang berani dari Juan Mandagie. Melanjutkan kerjasama yang sudah terjalin dengan baik pada produksi musik dan lagu untuk film Akhirat: A Love Story, Ivan Iponk menunjuk Juan Mandagie sebagai pilihan yang paling tepat untuk menerjemahkan lagu ini lewat piano dan aransemen strings. Juan Mandagie membuka “Sanubariku” dengan ketegasan yang semacam menyatakan bahwa ini sebuah balada.

Tidak lama kemudian, ada suara yang menunjukkan diri. Itu Canti memulai ceritanya. Canti, yang tidak sempat berpijak, terhanyut dalam lamunan, dan menanti-nanti harapan yang hilang di khayalannya. Mendengarkan Canti bercerita tentang kerapuhan melalui lagu ini, rasanya kayak mendengarkan diri sendiri ketika menaikkan doa kepada Yang Maha Semesta. Kecil di hadapan yang Maha Besar.

Ketika dalam kesendirian dan penantian, apa yang harusnya terasa biasa-biasa saja, memang bisa terasa berbeda, seperti penggambaran Canti dalam bait yang ditulisnya. Biru langit ternyata bisa menciptakan pilu. Sunyi malam terasa menderu. Semuanya bisa tiba-tiba intens.

Tidak cuma melalui lirik, intensitas lagu yang bagi Saya terdengar seperti doa ini, pun digambarkan dengan riuh namun indah melalui aransemen strings yang diciptakan Juan Mandagie dan ditempatkan Ivan Iponk mulai dari bagian favorit Saya, berlanjut ketika lagu ini mencapai puncaknya, kemudian surut bersama dengan selesainya lagu ini. Strings quartet, yang terdiri dari Mario Lasar, Sean Jethro, Akira Desmond, dan Jonathan William Abraham, mengiringi khidmatnya kata demi kata yang dinyanyikan oleh Canti.

Gamaliel Tapiheru, yang didapuk sebagai vocal director untuk lagu ini, juga memegang peran yang sangat krusial dalam menciptakan aransemen vokal yang, – haduh, speechless – entah apa ada istilah lain yang lebih tepat selain: ajaib. (Omong-omong, Saya dan Iponk memang pernah ngobrol santai tentang Gamal. Kami sepakat bahwa Gamal adalah salah satu penyanyi yang suaranya sangat, hmmm, surgawi.)

Coba dengarkan sendiri melalui link ini: Canti Tachril – Sanubariku; semalam sudah rilis di semua Digital Streaming Platform dan masih Saya repeat sampai saat ini. Wah, intens banget nih lagu.

Canti Tachril – Sanubariku on Spotify

Dengar-dengar gosip was-wes-wos, lagu ini ditulis ketika Canti sedang dalam kondisi terisolasi dalam masa penyembuhannya dari Covid tahun 2021 lalu. Ah, kesendirian memang paling-paling. Paling apa? Paling bisa bikin orang menemukan kembali apa yang sebelumnya terlupa atau dikira gak ada.

Lantas, apa yang Canti temukan ketika menulis “Sanubariku” dalam kesendiriannya? Kelihatannya, sama seperti apa yang Saya cari-cari selama ini dan kemudian (kayaknya sudah) Saya temukan kurang lebih satu-dua tahun lalu.

Matahari Dan Perihal Mengejar Ketenangan.

Saya baru berkenalan dengan Canti ketika preliminary meeting lagu “Sanubari” diselenggarakan di studio. Sebelumnya, gak kenal sama sekali. Bahkan, dari obrolan hari itu, kami baru tau bahwa kami satu kampus pas kuliah. Tentu, Canti pun gak tau bahwa Saya punya keterikatan khusus dengan “matahari”. Dan, itulah kenapa bagian chorus lagu ini, di mana Canti menempatkan kata “matahari”, jadi spesial buat Saya. Kenapa?

Baiklah. Melompat mundur ke tahun 2020. Alkisah, pada suatu hari yang ditentukan oleh Semesta, bertemulah Saya dengan seorang … ah, sebut saja Si Om. Saya gak kenal Si Om. Si Om pun gak kenal Saya. Kami hanya dipertemukan oleh Waktu. Lalu, kenapa pertemuan yang random ini Saya ceritakan? Karena berkesan.

Sebelum ketemu Si Om, Saya gak merasa ada yang istimewa dari Matahari. Matahari terbit, membakar diri sehingga bumi kecipratan hangatnya, lalu terbenam. Itu sudah. Setiap hari. Apa istimewanya?

“Sepanjang hidup, hujan akan ada banyak. Namun, cuma butuh satu Matahari, semua akan terang lagi.”

Itu kalimat Si Om yang Saya ingat sampai sekarang. Awalnya, Saya sok ngerti, tanpa betul-betul paham apa makna terdalam dari kalimat sesederhana itu. Lah, ternyata dalem banget. Si Om sempat menceritakan dengan sangat singkat: satu sosok istimewa yang dia ibaratkan seperti matahari. Sebut saja dia Si Pemuda.


Alkisah dalam alkisah, Si Pemuda ini pernah membela seorang perempuan yang dianggap oleh masyarakat sebagai perempuan cela. Padahal tanpa ikatan emosional, tanpa hubungan romantis apa-apa. Kenal pun enggak.

Perempuan cela yang cemas dan tersakiti secara mental itu hampir diamuk warga karena kedapatan berzinah. Si Pemuda, yang kebetulan lewat di daerah tersebut, pas tau situasi yang sedang terjadi, langsung merangsek ke tengah kerumunan warga yang sudah hampir merajam perempuan itu. Si Pemuda berdiri di tengahnya dan menghalangi Perempuan itu dari amukan warga. Si Pemuda menulis sesuatu di tanah, dan bilang, “Siapa yang merasa hidupnya paling bener, gak ada dosa, gak pernah bikin salah, silakan jadi yang pertama ngelempar batu.”

Setelah satu kalimat singkat itu, keributan mereda lalu perlahan bubar. Sang Perempuan bingung. Si Pemuda hanya bilang pada Perempuan itu, “Udah. Elo pergi. Mulai sekarang, jangan aneh-aneh lagi,” Gak semua orang paham sama kelakuan Si Pemuda. Namun, Saya rasa, hampir pasti hidup Perempuan itu gak sama lagi setelah kejadian hari itu. Lama gak kedengeran lagi, tau-tau ada kabar: Si Pemuda itu dihukum mati karena kesalahan orang lain.


Si Om kedengarannya sangat mengagumi sosok Si Pemuda. Pahlawan sejati, baginya. Melihat kekaguman yang sebesar itu dan bagaimana Si Om mengibaratkan Si Pemuda itu seperti matahari, … ah, hidup Saya pun gak sama lagi. Iyalah, wong akhirnya, sampai ada satu lagu yang khusus Saya tuliskan mengenai ini. Namun, baiklah, Saya ceritakan lain waktu.

Belakangan, setiap Saya mulai cemas karena banyak perintilan dalam hidup, Saya teringat Si Om, teringat Si Pemuda, dan teringat Matahari. Sambil berharap bahwa, sama seperti terhadap Perempuan dalam cerita itu, akan ada sosok yang datang tepat waktu, memeluk kecemasan Saya dengan rela dan mengubahnya menjadi ketenangan.

Entah apa yang sebenarnya sedang dirasakan Canti ketika menuliskan bagian chorus dari lagu “Sanubariku” dan menempatkan kata matahari di situ. Saya gak tau. Namun, ketika Canti menutupnya dengan “Dalam kehilangan, kaulah tempatku pulang,” Saya teringat Si Pemuda. Di situlah, Saya menitikkan air mata.

DUARR! ADA VIDEO KLIPNYA.

Saya gak akan cerita lebih banyak lagi karena tulisan ini kayaknya udah panjang banget. Singkatnya, setelah apa yang Saya alami ketika pertama kali mendengar lagu “Sanubariku”, video klipnya bikin Saya merinding. Silakan nonton aja sendiri, selamat mengejar ketenangan, dan semoga menemukan tempat pulang. Ini:

Canti – Sanubariku (Official Music Video)

“Sanubariku” / Performed by Canti Tachril / Music Producer: Ivan Gojaya / Vocal Director/Producer: Gamaliel Tapiheru / Songwriter: Canti Tachril / Piano & Strings Arrangement: Juan Mandagie / Violin 1: Mario Lasar / Violin 2: Sean Jethro / Viola: Akira Desmond / Violoncello: Jonathan William Abraham / Strings Engineer: Michael Septian Wahyudi / Mixed by: Ivan Gojaya at ROEMAHIPONK Music Studio / Mastered by: Chris Gehringer at Sterlingsound / All tracks recorded & produced at ROEMAHIPONK Music Studio

“Sanubariku” Music Video by Pincster / Talent: Canti Tachril, Aldafi Adnan, Mario Lasar, Jonathan William Abraham, Juan Mandagie / Produced by: Christabel Fortunatus / Directed by: Rein Maychaelson / Line Producer: Lisa Victory / Director of Photography: Leontius Tito / Choreographed by: Davit Fitrik / Make-up Artist: Dorothea Toemon / Hairdo: Yasmin Raudatul Jannah / Wardrobe: Fadillah Putri Yunidar / Dress: Jeffry Tan


Di tengah menulis ini, Banten digoyang gempa. Ya ampun. Betapa kita memang kecil di hadapan yang Maha Besar. Digoyang dikit langsung ketar-ketir. Ya udah, berdoa aja. Semoga semua dilindungi oleh Yang Maha Semesta.

UNTUK TEMAN-TEMAN PERS / MEDIA,

Berikut ini press kit yang bisa diunduh, berisi informasi lengkap mengenai karya ini:

[PRESSKIT] Canti Tachril Menapaki Karier LEWAT LAGU Sanubariku

Agustin Oendari adalah seorang penulis lagu dan penyanyi yang mengawali karier pada 2014 dengan menulis dan menyanyikan lagu Selamat Pagi Malam untuk film berjudul sama karya sutradara Lucky Kuswandi. Lagu tersebutlah yang pertama kali mempertemukan Oendari dengan pendengar setia yang terus mendukungnya hingga melalui beberapa rilisan untuk film-film lain, seperti Galih & Ratna, satu lagi karya sutradara Lucky Kuswandi, dan Susah Sinyal, karya sutradara Ernest Prakasa.

Rilisan-rilisan Oendari yang lain pun telah mendapat perhatian khusus dari berbagai streaming platform dan media, antara lain: LHSW yang sempat menjadi bagian dari banner utama aplikasi JOOX pada masa rilisnya dan juga disiarkan di berbagai media musik ternama, seperti Billboard Indonesia dan Pophariini; Bend Down dan Selamat Pagi Malam yang berada di deretan nominasi AMI Awards ke-22; dan beberapa lagu dalam album soundtrack Galih & Ratna yang mendapatkan kesempatan spesial JOOX Concert Galih & Ratna tahun 2017, seperti Hampir Sempurna, yang ditampilkan oleh Rendy Pandugo, Song Of Goodbye, yang ditampilkan oleh Ivan Gojaya yang juga adalah produser dari hampir seluruh karya Oendari, dan lagu-lagu lain yang ditampilkan oleh Oendari, seperti Nyatanya Sementara, Dari Rindu Kepada Rindu.

Selain terlibat dalam berbagai karya kolaboratif sebagai penyanyi atau penulis lagu, Oendari juga sempat berkiprah sebagai vocal director, bekerja bersama musisi dan produser ternama, antara lain Titiek Puspa, Dutacinta, Momo Geisha, Sheryl Sheinafia, dan Steve Lillywhite. Keterlibatan Oendari sebagai vocal director juga terdapat pada lagu Lathi (Weird Genius ft. Sara Fajira), Dunia (Mytha Lestari), A Million Stars (Album Kolaborasi Rising Stars), dan masih banyak lagi. Tahun 2021, Oendari dengan merilis album dari keterlibatannya di dalam sebuah film berjudul Akhirat: A Love Story.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

We Never Really Die

Bila aku mati, aku mungkin saja tidak pergi ke surga. Atau tidak juga ke neraka. Aku mungkin hanya tidur, tidur yang sangat panjang, sangat lama. Dan, bila aku bangun, mungkin aku telah menjadi bentuk yang berbeda.

Aku mungkin jadi mimpi. Mimpimu, yang terkenang-kenang, melayang di dalam tidurmu. Aku mungkin jadi cucuran air keran yang jatuh di tanganmu ketika kau bangun pagi dan menggosok gigi. Cucuran air yang leleh, yang mengingatkanmu tentang kita ketika berbagi hujan bersama. Kita juga berbagi terik bersama, dan di situ juga mungkin aku ada. Aku mungkin jadi bias-bias matahari yang menembus jendela kamarmu melalui sela-sela batang perdu.

Aku mungkin tidak pergi ke surga ataupun neraka, nanti ketika aku mati. Namun, aku bisa jadi apa saja dan tetap mencintai kamu dan semua ingatan tentang kamu.


Kehilangan adalah keniscayaan bila kau sedemikian lama memelihara rasa sayang. Namun, kenangan akan menghangatkan hatimu, saat jarak terlanjur menghangatkan pelupuk matamu.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Tentang Coming Back Stronger

Dua bulan terakhir ini, gue melepaskan diri dari media sosial. Kadang-kadang muncul sesekali di sana kalau dibutuhkan aja. Bulan Mei dan Juni lalu, banyak hal berat yang gue lalui. Gue yakin, gak cuma gue doang yang diam-diam stress dengan situasi saat ini. Gak cuma dua bulan terakhir, gue pun yakin banyak yang setuju, sepanjang tahun ini udah kelewat banyak kejadian yang melelahkan hati dan pikiran. Selama kurang lebih satu setengah tahun, seringkali energi kayak dikuras habis, menenangkan hati, bangkit lagi, terus jatuh lagi. Kayak digebukkin berkali-kali.

Sudah kurang lebih delapan bulan ini, gue kayak hidup di dua alam. Setidaknya, begitu Kamga menyebutnya. Kamga adalah salah satu teman baru yang gue kenal beberapa bulan terakhir, beliau ada di momen-momen pertama kebangunan spiritual gue terjadi, sekitar Oktober-November 2020. Gue dan Kamga memang gak sesering itu ngobrol, tapi terakhir kita sempat ngobrol di DM Instagram, akhir Mei lalu. Kamga sempat bertanya “Lo kenapa bulan Mei?” Di situ, gue akhirnya cerita.

Beberapa hal gue rasakan di bulan Mei. Gue sempat ada di situasi di mana gue gak bisa mengimbangi hal-hal yang spiritual dan yang material. Mulai sulit tidur, makin sering ngerasa dicolek-colek, tiba-tiba kepikiran hal-hal yang gak gue pahami tapi bisa gue rasakan emosinya, dan yang terbaru: punya firasat sebelum seseorang meninggal. Entah karena gue overwhelmed, atau jangan-jangan sebetulnya gue takut walaupun udah sering dibilangin untuk gak perlu takut, atau gue memang nubi banget aja jadi gak paham.

Dalam obrolan singkat di DM tersebut, Kamga menyampaikan saran-saran yang gue pertimbangkan terus. Seperti sebelum-sebelumnya, semua saran Kamga selalu gue inget-inget, simply gue percaya sama Kamga. Yang paling gue inget, terakhir Kamga bilang, “Get well soon Botin manusia dua alam.

Dua alam. Udah mana sulit menetapkan diri di alam spiritual, ada banyak juga yang terjadi di alam material, ada banyak hal-hal nyata yang juga perlu gue urusin, gue pikirin, gue kerjain.

Karena satu dan lain hal, album gue (dan showcasenya) yang mestinya rilis bulan Mei, harus diundur, thanks to pandemi. Memang pandemi ini bikin gue belajar menyadari bahwa ada hal-hal yang memang di luar kendali dan gue dididik pelan-pelan untuk merelakan. Semacam harus lebih ya-udah-lah.

Selain itu, sejak pandemi dimulai dan gak tau kapan kelarnya, kehidupan gue jadi sangat domestik. Yang kenal baik sama gue, pasti akan bilang, “Lah, lo kan emang jarang ke mana-mana dari dulu.” Iya, sejak gue kerja di ROEMAHIPONK tujuh tahun lalu, gue memang jarang keluar karena kesibukan produksi seringkali menuntut gue untuk ada di studio terus. Plus, gue memang gak terlalu suka keramaian dan lebih sering memilih untuk menyendiri. Tapi, beda banget sih rasanya, antara gak keluar-keluar karena memang memilih untuk stay inside, dengan gak keluar-keluar karena paranoid sama situasi di luar sana.

Gue pun awalnya berpikir, menjadi domestik gak akan terlalu memengaruhi gue, tapi nyatanya enggak juga. Jenuh, ngerasa gak aman, ngerasa gak cukup baik karena ngerasa kerjaan selalu numpuk imbas dari gak ada bedanya lagi antara waktunya kerja sama waktunya libur, gak tau kapan prioritasin waktu untuk diri sendiri dan untuk kerjaan. Waktu semakin sulit diukur dan keseharian gue berputar di ruang yang sama, itu lagi itu lagi.


Baik perkara-perkara spiritual maupun material, gue belakangan jadi banyak cari tau, demi gue bisa lebih memahami gue kenapa dan gue harus apa. Artikel-artikel soal spiritual awakening gue baca. Artikel-artikel psikologi pun gue baca. Tips-tips menjaga stabilitas performa kerja gue kulik. Banyak istilah-istilah baru gue googling: clairaudience, clairsentience, burnout, clinical depression, anxiety problems, banyaklah. Dari yang gue baca, katanya gue pas untuk cobain diet, cobain puasa, cobain meditasi, coba berdoa lagi, baca alkitab lagi, coba exercise ini itu, coba relayout ruang kerja, coba cari hiburan dengan nonton, main game, hobi baru, apapun. Gue turutin sehari, dua hari, seminggu, sebulan, beberapa bulan. Kenapa gue gak ngerasa lebih baik? Kenapa setelah make efforts ini itu, gue malah ngerasa banyak gagalnya? Ini wajar apa enggak? Gak paham.

Tulisan apa ini. Isinya ngeluh semua. Padahal judulnya tentang coming back stronger. Gue nulis di sini, karena gak tau medium lain yang bisa menampung ini, karena gue tau: pada masa-masa kayak sekarang, siapa yang gak ngerasa kewalahan? Kalaupun ada yang tenang-tenang aja, berapa banding berapa dengan yang sebaliknya? Di sekeliling gue, yang gue temukan sih hampir semua orang lagi devastated. Gak mungkin tega gue tambah beban mereka dengan menumpahkan keluhan gue. Dan, gue nulis di sini, mungkin karena gue udah capek berusaha menghindarkan diri dari stress bacain angka-angka di berita. Cari positivity di layar handphone gak berhasil, malah berakhir dengan pikiran negatif: di luar sana banyak yang hidupnya udah kayak setrong lagi, kok gue ngerasa gue gak stronger-stronger juga. Digebukkin berkali-kali, gak stronger-stronger juga.

Sejak gue mengalami pengalaman spiritual yang tidak gue pahami itu, gue memang jadi lebih memerhatikan tanda-tanda. Gue merasa setiap tanda sederhana yang gue sadari, menyimpan pesan mendalam yang perlu gue pelajari. Kalau ada yang pernah (atau sering) mengalami pengalaman yang kayak gue dan paham maksud kalimat barusan, mungkin paham juga ketika gue memutuskan untuk mengikuti tanda demi tanda, demi tau ujungnya apa.

Penelusuran gue membawa gue kepada pertanyaan: tracing back ke masa demi masa kehidupan yang sudah gue lewati, apa yang paling bikin gue lega? Gue udah sempet bercerita di salah satu tulisan di situs ini, bahwa belakangan ini gue sedang berusaha mengetahui apa yang gue cari dan apa yang perlu gue temukan. Lalu, ada satu tulisan gue dari tahun 2015 yang baru-baru ini muncul di antara tumpukan jurnal lama. Di situ tertulis soal lega. Sekarang gue baru berpikir ulang, ini bukan cuma soal lega, melainkan “Apa yang bisa bikin gue gak menyesal?”.

Tanda demi tanda membawa gue sampai di kesimpulan yang sedang gue coba saat ini, yaitu kembali ke apa yang gue nikmati dan gue percayai sejak kecil: menulis. Dari kecil, gue suka merekam kejadian-kejadian di depan mata, ataupun khayalan-khayalan di dalam kepala, ke dalam tulisan. Ketika menulis, ada romantisme yang gue temukan dan gue nikmati di dalam persahabatan gue dengan kata-kata.

Membaca atau mendengarkan kata-kata sudah jadi keseharian gue beberapa tahun terakhir. Terutama karena pekerjaan di balik layar produksi musik dan audio, yang bikin gue terbiasa soal itu. Oleh karena itu, kata-kata, (dan banyak hal lainnya dalam berbahasa) jadi penting banget buat gue. Belakangan, gue teringat bahwa kecintaan gue pada kata-kata kayaknya udah dari kecil.

Gue terbiasa mengamati cara orang-orang di sekitar gue berkomunikasi. Ketika gue denger satu kalimat, kepala gue jadi terlatih untuk merunut dan menghubungkannya dengan kemungkinan cerita besar yang menyelimuti kalimat sederhana tersebut. Ketika gue baca satu baris, gue merasakan kombinasi perasaan yang mungkin mengendap di dalam barisan kata-kata itu. Ketika gue mendengar intonasi, gue seperti menyelam ke dalam pikiran yang tidak gue kenali. Ketika menulis, itu semua kayak amplified.

Ini yang gue rasakan. Menulis membantu gue mengendalikan pikiran gue, karena ketika menulis gue harus merunut kejadian dan menghubungkan satu dengan yang lain. Menulis juga membantu gue memahami banyak hal yang sebelumnya cuma misteri, terutama ketika tulisan yang sedang dikembangkan melibatkan kilas balik jejak rekam kejadian demi kejadian yang pernah gue alami. Menulis melatih gue untuk memperkaya intonasi, menyeimbangkan antara keras dan lembut, kuat dan lemah, insist atau pasrah. Menulis mengajarkan gue untuk “pelan-pelan nanti juga sampai di tujuan”. Rasanya ini penting banget untuk selalu jadi pengingat buat gue di masa sekarang, di masa-masa stres.

Pada masa sulit, tulisan bisa jadi medium untuk gue menuangkan beban yang perlu dilepas sebentar dari kepala gue. Gue gak menemukan kesenangan yang sama, yang gue dapatkan dari menulis, pada hal yang lain: liburan selalu asyik, tapi ya udah, beda tempat beda suasana, terus udah; nonton selalu seru, karena menginspirasi, tapi terus udah; game, buat gue gak menarik. Tulisan, selalu pas. Tulisan selalu menerima gue apa adanya. Apapun yang mau gue ceritakan, jadilah. Dengan demikian, lega banget ketika beban satu-satu lepas dalam bentuk tulisan. Rasanya ini juga yang jadi alasan gue kembali ke sini, menulis blog lagi.

Di sebuah tulisan Tentang Theoresia Rumthe, gue menulis tentang sebuah kalimat yang pernah berhasil menyelamatkan gue dari bahayanya pikiran gue sendiri: “Menulislah dan jangan bunuh diri.” Tujuh tahun lalu, gue membaca kalimat Theoresia Rumthe ini, tapi gue gak yakin gue mengerti artinya. Kayaknya baru sekarang gue mulai paham.

Di lingkungan gue, topik bunuh diri bukan topik yang dibicarakan secara buka-bukaan. Namun, kalau mau jujur, topik bunuh diri bukan gak pernah mampir di pikiran gue. Beruntung gue dikelilingi oleh orang-orang yang menjagai gue, minimal lewat doa dan nasihat pengingat, sejauh ini gue selalu kembali kepada kewarasan gue. Theoresia Rumthe adalah salah satunya, yang pernah hadir dengan sebuah pengingat, “Menulislah dan jangan bunuh diri.” Sampe sekarang, masih gue ingat. Dan, gue lakukan.

Untuk kalian yang membaca sampai sini, sekiranya sedang berada di situasi yang kurang lebih sama kayak gue: mumet, rumit, gagal paham, overthinking, atau semacam itu; well, tos, semangat ya. Gue doakan kalian menemukan cara untuk menguapkan semua beban, satu-satu supaya lebih ringan. Mungkin caranya adalah menulis, kayak gue. Mungkin juga bukan. Apapun bentuknya, semoga ketika diperlukan, kalian dipertemukan dengan pengingat sederhana yang bisa bikin kalian kuat lagi.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.