Tentang Pengalaman Spiritual

Peringatan sebelum membaca: Hati-hati, tulisan ini aneh. Begitu pula penulisnya.


Photo by Luis Dalvan on Pexels.com

Gue pun masih jet lag dan belum paham bener ini tuh apa. Kenapa ketika kenalan atau ngobrol sama orang, gue beberapa kali mendengar pesan-pesan yang tidak gue mengerti yang bunyinya kayak di belakang kepala. Kenapa waktu dengerin curhatan, kadang ada perasaan-perasaan yang intens yang tiba-tiba muncul. Kenapa gue dipertemukan dengan wajah-wajah dari masa silam. Atau paling enggak, rasanya kayak dari masa silam. Atau firasat, yang rasanya kayak dari masa depan. Entahlah, belakangan ini, kadang rasanya waktu gak relevan lagi untuk jadi sekadar besaran dari pengukuran.

Omong-omong soal relevansi, sama kayak agama. Setelah beberapa kali melalui pengalaman yang sifatnya spiritual, pikiran-pikiran gue mengenai agama kayak diajak untuk berevolusi. Beberapa hal yang gue pegang teguh, akhirnya patah. Beberapa hal yang gue pikir klise, ternyata nyata. Beberapa hal yang sebelumnya gue percaya gak percaya, akhirnya gue percaya. Yang gue pikir gak ada, ternyata ada. Isi itu kosong. Dan, kosong mungkin sebetulnya isi. Gak taulah. Aneh.

Tapi, walaupun di sini gue nyentil soal agama dan seakan mempertanyakan relevansinya di kehidupan dan alam pemikiran gue, bukan berarti gue gak menghargai hal-hal tentang agama. Banyak banget intisari yang gue serap ketika belajar agama yang gue rasa berharga untuk jadi bekal dalam berkehidupan. Ini juga yang membuat gue semakin menghargai teman-teman dan sahabat yang mempelajari dan mendalami agama, apalagi yang mengalirkannya ke dalam kehidupan nyata dengan ngasih dampak yang segar buat sekitar. Buat gue, mereka kayak Malekat.

Pengalaman-pengalaman spiritual belakangan ini, meskipun seringkali menghanyutkan ke dalam naik-turunnya kebingungan dan bahkan kecemasan, selalu mengembalikan gue kepada dua pertanyaan besar yang seringkali gue tanyakan dalam hati. Apa yang gue cari? Dan, apa yang harus gue temukan?

Apa yang gue cari? Ini pertanyaan simpel, pendek, tapi sejujurnya gue seringkali gagap ketika harus menjawab. Padahal, kalo dipikir-pikir, opsi jawaban kan ada banyak. Uang? Popularitas? Kekuasaan atas sesuatu? Atau apalah, banyak kan? Nah, ini aneh nih. Belum lama ini, pas lagi beresin tumpukan jurnal lama, gue nemu satu tulisan tertanggal 10 September 2015. Begini bunyinya:


Sepanjang hidup, aku berusaha mencari lega. Selama itu pula, aku belajar menyadari, bahwa seringkali kelegaan ada dalam kesederhanaan. Indah dan agung.

Aku lega setiap kali pagi datang kembali. Dan, embun, butir demi butir, masih rela jatuh ke pucuk-pucuk pohon lalu mengalir ke pangkuan tanah. Aku juga lega saat tanah menjemputnya dengan sukacita. Malam memisahkan. Pagi mempertemukan. Maka terpujilah Tuhan, atau dengan istilah apapun namanya kau sebutkan. 

Aku lega setiap kali kembang-kembang mekar kembali. Putik dan helai-helai benang sari bergelora lagi di ujung ranting yang kupikir telah kering dan tangkai yang kupikir telah lunglai. Aku lega karena meski terpatahkan satu, telah tumbuh kembali satu, mungkin aja akan jadi seribu.

Aku lega setiap kali bayi-bayi lahir ke dunia dan para ibu berbahagia. Aku pun lega saat tiba waktunya bagi yang melepaskan diri mereka satu persatu tanpa beban setelah berjuang panjang di medan kehidupan.

Aku lega setiap kali aku menikmati kesempatan untuk melihat wajah-wajah dari semua yang kusayang. Ada yang kekal di sana. Terekam dan tidak hilang. Hela napas mereka, senyuman kecil saat mereka terlelap di tengah mimpi indah. Pelukan-pelukan yang singkat namun cukup untuk menjembatani kerinduan.

Sederhana, bukan? Sekarang bercerminlah ke langit dan lihatlah. Keindahan dan keagungan memantul di wajahmu. Itu cukup.


Itu. Tulisan macam apa itu. Waktu menulis itu, gue gak yakin gue sendiri paham maknanya. Sekarang pun, entah. Tapi, untuk sementara waktu, mungkin tulisan ini bisa menjawab dua pertanyaan tadi. Apa yang gue cari? Mungkin kelegaan. Apa yang harus gue temukan? Mungkin kesederhanaan

Sekian dulu tentang pengalaman spiritual sayah sebelum lebih aneh lagi. Omong-omong, kalau beneran ngerasa ini tulisan yang aneh, gue udah wanti-wanti dari awal ya, namun ya namun lo masih baca sampe sini, beb. Ya mau gimana.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.