Tentang Si Coklat


Agustin Oendari adalah seorang penulis lagu dan penyanyi yang mengawali karier pada 2014 dengan menulis dan menyanyikan lagu Selamat Pagi Malam untuk film berjudul sama karya sutradara Lucky Kuswandi. Lagu tersebutlah yang pertama kali mempertemukan Oendari dengan pendengar setia yang terus mendukungnya hingga melalui beberapa rilisan untuk film-film lain, seperti Galih & Ratna, satu lagi karya sutradara Lucky Kuswandi, dan Susah Sinyal, karya sutradara Ernest Prakasa.

Rilisan-rilisan Oendari yang lain pun telah mendapat perhatian khusus dari berbagai streaming platform dan media, antara lain: LHSW yang sempat menjadi bagian dari banner utama aplikasi JOOX pada masa rilisnya dan juga disiarkan di berbagai media musik ternama, seperti Billboard Indonesia dan Pophariini; Bend Down dan Selamat Pagi Malam yang berada di deretan nominasi AMI Awards ke-22; dan beberapa lagu dalam album soundtrack Galih & Ratna yang mendapatkan kesempatan spesial JOOX Concert Galih & Ratna tahun 2017, seperti Hampir Sempurna, yang ditampilkan oleh Rendy Pandugo, Song Of Goodbye, yang ditampilkan oleh Ivan Gojaya yang juga adalah produser dari hampir seluruh karya Oendari, dan lagu-lagu lain yang ditampilkan oleh Oendari, seperti Nyatanya Sementara, Dari Rindu Kepada Rindu.

Selain terlibat dalam berbagai karya kolaboratif sebagai penyanyi atau penulis lagu, Oendari juga sempat berkiprah sebagai vocal director, bekerja bersama musisi dan produser ternama, antara lain Titiek Puspa, Dutacinta, Momo Geisha, Sheryl Sheinafia, dan Steve Lillywhite. Keterlibatan Oendari sebagai vocal director juga terdapat pada lagu Lathi (Weird Genius ft. Sara Fajira), Dunia (Mytha Lestari), A Million Stars (Album Kolaborasi Rising Stars), dan masih banyak lagi. Tahun 2021, Oendari dengan merilis album dari keterlibatannya di dalam sebuah film berjudul Akhirat: A Love Story.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Tentang Coming Back Stronger

Dua bulan terakhir ini, gue melepaskan diri dari media sosial. Kadang-kadang muncul sesekali di sana kalau dibutuhkan aja. Bulan Mei dan Juni lalu, banyak hal berat yang gue lalui. Gue yakin, gak cuma gue doang yang diam-diam stress dengan situasi saat ini. Gak cuma dua bulan terakhir, gue pun yakin banyak yang setuju, sepanjang tahun ini udah kelewat banyak kejadian yang melelahkan hati dan pikiran. Selama kurang lebih satu setengah tahun, seringkali energi kayak dikuras habis, menenangkan hati, bangkit lagi, terus jatuh lagi. Kayak digebukkin berkali-kali.

Sudah kurang lebih delapan bulan ini, gue kayak hidup di dua alam. Setidaknya, begitu Kamga menyebutnya. Kamga adalah salah satu teman baru yang gue kenal beberapa bulan terakhir, beliau ada di momen-momen pertama kebangunan spiritual gue terjadi, sekitar Oktober-November 2020. Gue dan Kamga memang gak sesering itu ngobrol, tapi terakhir kita sempat ngobrol di DM Instagram, akhir Mei lalu. Kamga sempat bertanya “Lo kenapa bulan Mei?” Di situ, gue akhirnya cerita.

Beberapa hal gue rasakan di bulan Mei. Gue sempat ada di situasi di mana gue gak bisa mengimbangi hal-hal yang spiritual dan yang material. Mulai sulit tidur, makin sering ngerasa dicolek-colek, tiba-tiba kepikiran hal-hal yang gak gue pahami tapi bisa gue rasakan emosinya, dan yang terbaru: punya firasat sebelum seseorang meninggal. Entah karena gue overwhelmed, atau jangan-jangan sebetulnya gue takut walaupun udah sering dibilangin untuk gak perlu takut, atau gue memang nubi banget aja jadi gak paham.

Dalam obrolan singkat di DM tersebut, Kamga menyampaikan saran-saran yang gue pertimbangkan terus. Seperti sebelum-sebelumnya, semua saran Kamga selalu gue inget-inget, simply gue percaya sama Kamga. Yang paling gue inget, terakhir Kamga bilang, “Get well soon Botin manusia dua alam.

Dua alam. Udah mana sulit menetapkan diri di alam spiritual, ada banyak juga yang terjadi di alam material, ada banyak hal-hal nyata yang juga perlu gue urusin, gue pikirin, gue kerjain.

Karena satu dan lain hal, album gue (dan showcasenya) yang mestinya rilis bulan Mei, harus diundur, thanks to pandemi. Memang pandemi ini bikin gue belajar menyadari bahwa ada hal-hal yang memang di luar kendali dan gue dididik pelan-pelan untuk merelakan. Semacam harus lebih ya-udah-lah.

Selain itu, sejak pandemi dimulai dan gak tau kapan kelarnya, kehidupan gue jadi sangat domestik. Yang kenal baik sama gue, pasti akan bilang, “Lah, lo kan emang jarang ke mana-mana dari dulu.” Iya, sejak gue kerja di ROEMAHIPONK tujuh tahun lalu, gue memang jarang keluar karena kesibukan produksi seringkali menuntut gue untuk ada di studio terus. Plus, gue memang gak terlalu suka keramaian dan lebih sering memilih untuk menyendiri. Tapi, beda banget sih rasanya, antara gak keluar-keluar karena memang memilih untuk stay inside, dengan gak keluar-keluar karena paranoid sama situasi di luar sana.

Gue pun awalnya berpikir, menjadi domestik gak akan terlalu memengaruhi gue, tapi nyatanya enggak juga. Jenuh, ngerasa gak aman, ngerasa gak cukup baik karena ngerasa kerjaan selalu numpuk imbas dari gak ada bedanya lagi antara waktunya kerja sama waktunya libur, gak tau kapan prioritasin waktu untuk diri sendiri dan untuk kerjaan. Waktu semakin sulit diukur dan keseharian gue berputar di ruang yang sama, itu lagi itu lagi.


Baik perkara-perkara spiritual maupun material, gue belakangan jadi banyak cari tau, demi gue bisa lebih memahami gue kenapa dan gue harus apa. Artikel-artikel soal spiritual awakening gue baca. Artikel-artikel psikologi pun gue baca. Tips-tips menjaga stabilitas performa kerja gue kulik. Banyak istilah-istilah baru gue googling: clairaudience, clairsentience, burnout, clinical depression, anxiety problems, banyaklah. Dari yang gue baca, katanya gue pas untuk cobain diet, cobain puasa, cobain meditasi, coba berdoa lagi, baca alkitab lagi, coba exercise ini itu, coba relayout ruang kerja, coba cari hiburan dengan nonton, main game, hobi baru, apapun. Gue turutin sehari, dua hari, seminggu, sebulan, beberapa bulan. Kenapa gue gak ngerasa lebih baik? Kenapa setelah make efforts ini itu, gue malah ngerasa banyak gagalnya? Ini wajar apa enggak? Gak paham.

Tulisan apa ini. Isinya ngeluh semua. Padahal judulnya tentang coming back stronger. Gue nulis di sini, karena gak tau medium lain yang bisa menampung ini, karena gue tau: pada masa-masa kayak sekarang, siapa yang gak ngerasa kewalahan? Kalaupun ada yang tenang-tenang aja, berapa banding berapa dengan yang sebaliknya? Di sekeliling gue, yang gue temukan sih hampir semua orang lagi devastated. Gak mungkin tega gue tambah beban mereka dengan menumpahkan keluhan gue. Dan, gue nulis di sini, mungkin karena gue udah capek berusaha menghindarkan diri dari stress bacain angka-angka di berita. Cari positivity di layar handphone gak berhasil, malah berakhir dengan pikiran negatif: di luar sana banyak yang hidupnya udah kayak setrong lagi, kok gue ngerasa gue gak stronger-stronger juga. Digebukkin berkali-kali, gak stronger-stronger juga.

Sejak gue mengalami pengalaman spiritual yang tidak gue pahami itu, gue memang jadi lebih memerhatikan tanda-tanda. Gue merasa setiap tanda sederhana yang gue sadari, menyimpan pesan mendalam yang perlu gue pelajari. Kalau ada yang pernah (atau sering) mengalami pengalaman yang kayak gue dan paham maksud kalimat barusan, mungkin paham juga ketika gue memutuskan untuk mengikuti tanda demi tanda, demi tau ujungnya apa.

Penelusuran gue membawa gue kepada pertanyaan: tracing back ke masa demi masa kehidupan yang sudah gue lewati, apa yang paling bikin gue lega? Gue udah sempet bercerita di salah satu tulisan di situs ini, bahwa belakangan ini gue sedang berusaha mengetahui apa yang gue cari dan apa yang perlu gue temukan. Lalu, ada satu tulisan gue dari tahun 2015 yang baru-baru ini muncul di antara tumpukan jurnal lama. Di situ tertulis soal lega. Sekarang gue baru berpikir ulang, ini bukan cuma soal lega, melainkan “Apa yang bisa bikin gue gak menyesal?”.

Tanda demi tanda membawa gue sampai di kesimpulan yang sedang gue coba saat ini, yaitu kembali ke apa yang gue nikmati dan gue percayai sejak kecil: menulis. Dari kecil, gue suka merekam kejadian-kejadian di depan mata, ataupun khayalan-khayalan di dalam kepala, ke dalam tulisan. Ketika menulis, ada romantisme yang gue temukan dan gue nikmati di dalam persahabatan gue dengan kata-kata.

Membaca atau mendengarkan kata-kata sudah jadi keseharian gue beberapa tahun terakhir. Terutama karena pekerjaan di balik layar produksi musik dan audio, yang bikin gue terbiasa soal itu. Oleh karena itu, kata-kata, (dan banyak hal lainnya dalam berbahasa) jadi penting banget buat gue. Belakangan, gue teringat bahwa kecintaan gue pada kata-kata kayaknya udah dari kecil.

Gue terbiasa mengamati cara orang-orang di sekitar gue berkomunikasi. Ketika gue denger satu kalimat, kepala gue jadi terlatih untuk merunut dan menghubungkannya dengan kemungkinan cerita besar yang menyelimuti kalimat sederhana tersebut. Ketika gue baca satu baris, gue merasakan kombinasi perasaan yang mungkin mengendap di dalam barisan kata-kata itu. Ketika gue mendengar intonasi, gue seperti menyelam ke dalam pikiran yang tidak gue kenali. Ketika menulis, itu semua kayak amplified.

Ini yang gue rasakan. Menulis membantu gue mengendalikan pikiran gue, karena ketika menulis gue harus merunut kejadian dan menghubungkan satu dengan yang lain. Menulis juga membantu gue memahami banyak hal yang sebelumnya cuma misteri, terutama ketika tulisan yang sedang dikembangkan melibatkan kilas balik jejak rekam kejadian demi kejadian yang pernah gue alami. Menulis melatih gue untuk memperkaya intonasi, menyeimbangkan antara keras dan lembut, kuat dan lemah, insist atau pasrah. Menulis mengajarkan gue untuk “pelan-pelan nanti juga sampai di tujuan”. Rasanya ini penting banget untuk selalu jadi pengingat buat gue di masa sekarang, di masa-masa stres.

Pada masa sulit, tulisan bisa jadi medium untuk gue menuangkan beban yang perlu dilepas sebentar dari kepala gue. Gue gak menemukan kesenangan yang sama, yang gue dapatkan dari menulis, pada hal yang lain: liburan selalu asyik, tapi ya udah, beda tempat beda suasana, terus udah; nonton selalu seru, karena menginspirasi, tapi terus udah; game, buat gue gak menarik. Tulisan, selalu pas. Tulisan selalu menerima gue apa adanya. Apapun yang mau gue ceritakan, jadilah. Dengan demikian, lega banget ketika beban satu-satu lepas dalam bentuk tulisan. Rasanya ini juga yang jadi alasan gue kembali ke sini, menulis blog lagi.

Di sebuah tulisan Tentang Theoresia Rumthe, gue menulis tentang sebuah kalimat yang pernah berhasil menyelamatkan gue dari bahayanya pikiran gue sendiri: “Menulislah dan jangan bunuh diri.” Tujuh tahun lalu, gue membaca kalimat Theoresia Rumthe ini, tapi gue gak yakin gue mengerti artinya. Kayaknya baru sekarang gue mulai paham.

Di lingkungan gue, topik bunuh diri bukan topik yang dibicarakan secara buka-bukaan. Namun, kalau mau jujur, topik bunuh diri bukan gak pernah mampir di pikiran gue. Beruntung gue dikelilingi oleh orang-orang yang menjagai gue, minimal lewat doa dan nasihat pengingat, sejauh ini gue selalu kembali kepada kewarasan gue. Theoresia Rumthe adalah salah satunya, yang pernah hadir dengan sebuah pengingat, “Menulislah dan jangan bunuh diri.” Sampe sekarang, masih gue ingat. Dan, gue lakukan.

Untuk kalian yang membaca sampai sini, sekiranya sedang berada di situasi yang kurang lebih sama kayak gue: mumet, rumit, gagal paham, overthinking, atau semacam itu; well, tos, semangat ya. Gue doakan kalian menemukan cara untuk menguapkan semua beban, satu-satu supaya lebih ringan. Mungkin caranya adalah menulis, kayak gue. Mungkin juga bukan. Apapun bentuknya, semoga ketika diperlukan, kalian dipertemukan dengan pengingat sederhana yang bisa bikin kalian kuat lagi.

kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Tentang Menulis Lagu: Lirik Dulu Atau Melodi Dulu?

Video YouTube yang gue bagikan di dalam tulisan ini dirilis tepat setahun lalu, pas pandemi baru dimulai. Tepatnya, pas gue lagi bingung mau ngapain karena gak bisa ke mana-mana juga. Akhirnya, gue memutuskan untuk berbagi pengalaman soal menulis lagu, dan jadilah.

Buat yang sudah nonton dan bahkan membagikannya di berbagai platform lain, terima kasih! Seneng sekali kalau apa yang gue bagikan bisa mencerahkan siapapun yang tercerahkan. Di sini, gue akan membagikan kembali, sambil nambahin apa-apa yang belum sempat terrekam di dalam video.


Dari antara kalian yang sedang membaca tulisan ini, ada yang lagi mau nulis lagu tapi bingung mau mulai dari mana atau lagi di tengah proses songwriting tapi stuck? Atau, mungkin dari antara kalian ada produser yang lagi cari lagu buat artisnya? Ini dia, salah satu pertanyaan yang paling sering gue dapatkan:

Menulis lagu: lirik dulu atau melodi dulu?

Di video ini, gue akan share approach gue dalam menulis lagu, yang mungkin bisa membantu dalam proses songwriting. Gimana? Udah siap? Silakan ditonton, siapa tau ada yang belum nonton atau mau nonton lagi:

Menulis Lagu: Lirik Dulu Atau Melodi Dulu?

Selama yang dikerjakan bukan instrumental records, ada dua elemen utama di dalam songwriting. Pertama, musical elements, di dalamnya ada nada dan rhythm. Kedua, writing elements, di dalamnya ada bahasa dan penyampaian. Keduanya bersifat complimentary. Kalau nggak ada lirik, ya berarti instrumental. Kalau gak ada musik, ya berarti speech aja. Oke, sekarang lupain dulu kedua elemen itu, karena ada satu lagi elemen penting yang belum gue sebut, yaitu: lo mau ngomongin apa sih? Alias topik.

Topik.

Gue berkeyakinan bahwa sama seperti proses penciptaan di bidang-bidang seni yang lain, menulis itu adalah proses perubahan bentuk dari ide jadi karya. Dari sesuatu yang gak ada wujudnya, kemudian dibahasakan dan dikemas sehingga jadi ada dan jadi nyata. Dari sesuatu yang tadinya cuma ada di dalam kepala, jadi lagu. Nah, ide apa sih yang ingin lo tuangkan jadi lagu?

Setiap kali ada artist yang dateng ke sini untuk menggunakan jasa songwriting di roemahiponk, hal pertama yang akan gue lakukan adalah: ngobrol. Kenapa? Karena gue butuh topik. Gue butuh tau: “lo mau ngomongin apa sih di lagu lo?

Durasi lagu umumnya cuma dua sampai lima menitan. Sedangkan topik ada banyak banget. Cinta, kehidupan, persahabatan, politik, alam semesta, banyak. Coronavirus bisa dijadiin topik. Sarapan tadi pagi juga bisa dijadiin topik. Sampe gosip tetangga sebelah pun bisa kita jadiin topik, kalo emang kepingin. Apapun bisa jadi topik.

Terus, gimana cara nentuin topik yang tepat untuk lagu yang akan kita tulis? Okay, gue gak bicara benar dan salah, tapi setidaknya ini yang gue dapat berdasarkan pengalaman selama beberapa tahun ke belakang yang mungkin bisa membantu teman-teman dalam proses songwriting.

Satu: what’s your goal?

Ini tentang tujuan kita bikin karya. Menurut gue, semua tujuan yang mungkin ada di dalam kepala kita, sah-sah aja selama gak menyalahi hak, harkat, dan martabat orang lain.

Tujuannya pingin viral? Cuma iseng pingin punya koleksi lagu pribadi? Atau pingin menghibur orang lain dengan karya? Atau malah berniat raise awareness tertentu lewat musik, sah-sah aja. Silakan. Yang jelas, setelah kita menentukan ini, kemungkinan besar pertanyaan yang selanjutnya akan lebih mudah untuk dijawab.

Dua: target audience?

Kalau kita udah bisa menjelaskan kita itu musisi macam apa, pasti akan lebih gampang untuk membayangkan siapa kira-kira yang akan mendengarkan lagu kita nanti.

Menentukan dengan pasti, kayaknya sih sulit, apalagi untuk musisi baru yang akan rilis lagu untuk pertama kali. Walaupun teknologi udah berkembang banget dan memungkinkan musisi untuk tau performance analytics lewat berbagai platform, kadang ada pendengar-pendengar yang muncul di luar perkiraan atau target range, yang tentunya juga perlu untuk diapresiasi. Dan, balik lagi, target audience bukan segalanya, melainkan hanya satu aspek dari sekian banyak aspek yang perlu dipertimbangkan ketika kita menentukan arah dalam berkarya. It’s an important thing, but it’s not everything.

Tiga: cerita, gaya bahasa, dan pilihan kata.

Kalau udah tau kita akan memperkenalkan diri sebagai musisi yang seperti apa, dan tau siapa yang akan kita ajak “bicara” lewat musik, berikutnya adalah: Cerita apa yang ingin disampaikan?

Gimana penyampaian yang tepat supaya cerita tersebut bisa sampai dengan selamat? Dan, diksi macam apa yang bisa membuat ceritanya menetap di hati para audiens dan pada akhirnya lagunya menetap di dalam pikiran mereka?

Awalnya, ketika pertama kali mencoba pola berpikir semacam ini, gue merasa dibatasi dan gak bebas ketika menulis. Namun, setelah berkali-kali coba, gue malah jadi merasa bahwa pola berpikir semacam ini justru membukakan ruang imajinasi yang luas tanpa bikin gue nyasar ke mana-mana karena ada koridor-koridor yang jelas ketika menentukan mau nulis apa dengan cara yang gimana. Alhasil, makin hari, gue bisa makin efisien ketika bikin lagu karena makin khatam.

Satu, dua, dan tiga udah? Sekarang, kita masuk ke pertimbangan yang lebih spesifik dan lebih tajam. Di luar dari semua hal tadi, ada beberapa prinsip yang selalu gue pegang dalam menulis lagu. yang sifatnya eminen dan harga mati. Salah satu yang akan gue bahas di dalam video ini adalah ini:

Berimajinasi Itu Gratis.

Let’s say, ada penyanyi cewek, usia 20an awal, datang ke sini untuk songwriting session. Penyanyi ini punya keinginan untuk bikin karya yang bisa dinikmati audiens lewat earphone ketika lagi sendirian, dan udah punya target pendengar setia dengan range usia yang sama. Kepribadiannya romantic dan sentimental.

Topik lagu yang diinginkan adalah tentang patah hati dan susah move on. Pas gue didapuk untuk nulis lagu ini, mungkin aja gue atau penyanyinya sama-sama lagi gak patah hati dan happy-happy aja. Means, gue gak bisa mengandalkan kejadian yang aktual untuk nulis lagu ini. Terus, harus gimana?

Opsi pertama, cari topik lain. Atau, kalau tetep mau stay di topik ini, opsi kedua, manfaatkanlah imajinasi, karena berimajinasi itu gratis.

Secara gampang, gue bisa aja mulai menulis dari lirik “aku masih mencintaimu, sungguh sulit bagiku untuk melupakanmu”. Buat gue ini klise. Boring. Overused. Ditinjau dari makna, bener, karena lagunya tentang itu. Tapi, this could be better.

Instead of nulis kalimat tadi, mungkin gue akan lebih memilih untuk memulai dengan, “setiap malam masih kubaca lagi chat kita, kata demi kata” atau kalau butuh lebih casual, mungkin gue akan memilih untuk menulis, “kaosmu yang buluk itu, masih selalu kupakai saat aku rindu”. Dari satu makna yang kurang lebih sama: sama-sama patah hati dan gak bisa move on, bisa muncul ekspresi yang berbeda-beda. Muncul dari mana? Imajinasi. Gratis.

Itu cuma contoh kecil gimana memanfaatkan imajinasi yang sama sekali gratis untuk mengembangkan satu topik yang sederhana. Masih ada beberapa prinsip lain yang mungkin akan gue bagikan di video lain, dan contoh tadi, baru dari segi penulisan lirik doang.

Tentunya, ketika menulis lagu, gak boleh lupa bahwa ada hal-hal teknis lain yang perlu diperhatikan selain penulisan lirik. Semakin banyak menulis, semakin banyak juga gue menemukan tantangan-tantangan teknis: struktur lagu, kompromi dengan jumlah syllables, melody pattern, rhythm pattern, dan banyak hal lainnya.

Nah, gue mendapati bahwa ketika gue sudah lebih dulu yakin dengan apa yang ingin disampaikan dan bagaimana cara penyampaiannya, tantangan-tantangan teknis itu jadi lebih ringan untuk dilalui. Paling enggak, setiap kali ada kebingungan, gue tinggal balik aja ke pertanyaan-pertanyaan tadi dan berpegang sama jawaban-jawabannya.

Well, kalau ini semua adalah hal yang baru buat yang sedang atau baru memulai menulis lagu, silakan cobain. Mungkin awalnya akan ngerasa ribet, sulit, f*cked up. Wajar aja sih. Tapi, gue yakin perjalanan menulis lagu akan selalu makin seru. Bahkan, kalau nanti tiba-tiba ada yang menemukan cara lain yang juga asik untuk dicoba, silakan share aja di kolom komen.

Yang penting, rajin-rajinlah mencoba.

Kalo ditanya pilih quality atau quantity? Dalam hal menulis lagu, gue akan pilih quantity. Maksudnya, daripada berkutat di satu lagu yang sama dan berharap langsung sempurna, lebih baik berusaha menulis sebanyak mungkin. Kenapa Karena kita bisa mengembangkan standar atas quality setelah jatuh bangun berkali-kali.

Bikin satu, ngerasa gak puas, gak usah ragu untuk simpen dulu dan beralih ke yang kedua. Buat gue, that’s totally fine. Kita selalu bisa balik ke yang pertama kapanpun kita mau dengan kemampuan yang udah bertambah dan dengan cara-cara atau approach yang lebih mutakhir.

Tenang aja, kalian gak sendirian, dan memang menulis lagu gak harus selalu sendirian. banyak top hits di dunia ini yang ditulis rame-rame oleh dua, tiga, lima, tujuh orang. Kita selalu bisa hire co-writers lain. ROEMAHIPONK juga menyediakan jasa songwriting untuk membantu dalam proses berpikir ketika menulis lagu, entah cuma sekadar konsultasi doang, atau ikutan berkontribusi dalam bentuk tulisan.

Dan, kalo mau tau tips-tips songwriting yang lain, silakan subscribe channel ROEMAHIPONK dan nyalain aja notifikasinya, niscaya kalian gak bakal ketinggalan video-video berikutnya.


Jadi, balik ke pertanyaan semula, lirik dulu atau melodi dulu?

Untuk pertanyaan ini, gue selalu mengawali jawaban gue dengan: BEBAS. Ketika menulis lagu, gak pernah ada keharusan memulai dari lirik dulu atau melodi dulu. Ngobrol aja dulu.

Semoga bermanfaat, semoga mencerahkan, selamat bereksplorasi.
kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.

Catatan

Hari ini gue dikaruniai banyak banget waktu luang. Ini langka. Sebagai bukti kelangkaan, saat ini dengan begitu leluasa, gue bisa mampir dan menulis di sini, setelah sekian lama. Banyak hal terjadi dalam rentang waktu, yang kalau dirunut sejak terakhir gue menulis di sini, satu tahun, kira-kira. Sebetulnya, dalam setahun ini, gue lumayan sering merekam hal-hal personal dalam keseharian gue lewat tulisan tangan. Tapi, rasanya males aja merangkum ulang dan masukkin catatan-catatan itu kemari. Selain karena memang gue tidak sempat mengalokasikan waktu untuk itu, gue tidak merasa ada signifikansi yang cukup menjadi alasan menulis kembali catatan harian pribadi di sini. Anehnya, setelah gue baca-baca lagi kertas-kertas setumpuk itu, rasanya lega juga, terekam di situ bahwa seringkali, gue bisa waras. Rasanya juga syukur, ada kenangan tentang kekasih, ada kenangan tentang kawan, ada kenangan-kenangan yang bisa disimpan. Rasanya pun bangga, banyak hal sudah gue lewati: sukses ataupun tidak; mudah ataupun sulit; senang ataupun sedih.

Gue jadi berpikir, bahwa mungkin:

Ada baiknya manusia sering-sering merekam jejak jalan pikirannya sendiri.

Supaya ketika dilihatnya lagi, bisa disyukurinya bila perjalanan itu panjang dan menyenangkan. Dan, kalau perjalanan itu pernah melalui rimba-rimba dan samudera yang rumit dan gelap, setidaknya ia telah memahami lebih dalam, ia telah melihat lebih banyak, ia bisa menjalani lebih kuat, ia bisa melalui lebih tangkas, untuk segala yang akan datang pada masa depan. Mungkin ada baiknya manusia sering-sering merekam jejak pikirannya sendiri. Supaya ia bisa mengingat. Karena buat gue, manusia, yang lahirnya sendiri-sendiri itu, akan mati sendiri-sendiri pula. Dan, kalau kesendirian itu tiba pada satu masa, ketika kawan sudah tidak lagi ada, dan kekasih tidak lagi di sana, hanya satu yang mampu lestari dan setia: kenangan-kenangan, dalam catatan-catatan perjalanan.

 

catatan
kepingin tau lebih banyak tentang Oendari?

Silakan subscribe blog ini, dengarkan musiknya, atau follow Oendari melalui media sosial.

Atau sampaikan yang ingin kamu katakan kepada Oendari. Tulis suratmu!

Go back

Your message has been sent.

Warning
Warning
Warning
Warning.